Sertifikasi RSPO (Rountable Sustainable Palm Oil) yang merupakan sertifikasi dengan maksud memverifikasi pelaksanaan kebun sawit berkelanjutan, ternyata justru membuat sawit makin tidak berkelanjutan. Sertifikasi RSPO justru meningkatkan emisi karbon dan merugikan perekonomian sehingga bertentangan dengan maksud sustainability itu sendiri.
Studi yang dilakukan Yusuf Basiron dan Foong-Khew Yew (2016) yang berjudul : The Burden of RSPO Certification Costs On Malaysian Palm Oil Industry and National Economy, membuktikan bahwa sertifikasi RSPO menciptakan kerugian ekonomi dan meningkatkan emisi karbon. Study yang dimuat dalam Journal of Palm Oil, Environment and Health, menemukan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk mensertifikasi 5.9 juta hektar kebun sawit Malaysia adalah RM 851 juta. Biaya tersebut mencakup biaya keanggotaan RSPO, biaya pre-certification, certification dan biaya corrective action. Sementara insentif yang diperoleh dari penjualan minyak sawit yang tersertifikasi CSPO/CSPKO hanya sekitar RM 93 juta, sehingga menciptakan kerugian ekonomi akibat sertifikasi RSPO adalah sebesar RM 758 juta per tahun. Rendahnya insentif tersebut karena konsumen minyak sawit belum bersedia membayar harga premium minyak sawit berkelanjutan. Hal ini terkonfirmasi oleh fakta bahwa dari 11 juta ton CSPO/CSPKO yang dihasilkan tahun 2014 yang lalu, hanya terjual sekitar 45 persen.
Selain merugikan perekonomian, sertifikasi RSPO juga dinilai meningkatkan emisi karbon. Dalam proses sertifikasi RSPO melibatkan banyak aktifitas dan ahli termasuk dari luar negeri yang semuanya menggunakan energi fosil. Padahal, perbaikan lingkungan atau pengurangan emisi karbon tidak terjadi dengan sertifikasi tersebut karena proses sertifikasi hanya membandingkan antara apa yang telah dilakukan pengelola kebun dengan apa yang menjadi standar RSPO. Dengan menghitung jejak karbon (carbon footprint) yakni emisi karbon dari bahan bakar fosil yang dihabiskan dalam pelaksanaan sertifikasi RSPO tersebut diperoleh emisi karbondioksida sebesar 81.4 Kg CO2 untuk setiap ton CPO yang disertifikasi.
Jika metode Basiron dkk (2016) tersebut digunakan untuk menilai kebun sawit Indonesia maka potensi kerugian ekonomi sertifikasi RSPO untauk 10 juta hektar kebun sawit Indonesia adalah sekitar Rp 4.2 triliun per tahun. Kerugian ekonomi sebesar ini tentu bukan sedikit. Jika kerugian ekonomi tersebut digunakan untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia maka sekitar satu juta orang penduduk terbebas dari kemiskinan setiap tahun.
Kenaikan emisi karbon yang terjadi akibat sertifikasi RSPO untuk 32 juta ton CPO Indonesia mencapai 2.6 juta ton CO2. Kenaikan emisi karbon akibat sertifikasi RSPO ini tentu bertentangan dengan maksud dan tujuan sertifikasi minyak sawit berkelanjutan yang antara lain menurunkan emisi karbon. Bertolak belakang juga dengan upaya internasional yang menurunkan emisi karbon di setiap negara. Selain itu, kenaikan emisi karbon akibat sertifikasi RSPO tersebut juga kontra dengan upaya Pemerintah RI yang menargetkan penurunan emisi karbon dengan atau tanpa bantuan internasional.
Jika kehadiran sertifikasi RSPO justru menghasilkan kerugian ekonomi dan lingkungan, bukan untuk memberikan perbaikan baik ekonomi maupun lingkungan, lantas untuk apa sertifikasi RSPO? Salahkah pandangan selama ini bahwa sertifikasi keberlanjutan itu hanya akal-akalan saja untuk “memeras” industri sawit Indonesia dan Malaysia? Potensi bisnis sertifikasi sawit ternyata begitu besar membuat banyak lembaga sertifikator muncul. Selain RSPO, ada European Sustainabile Palm Oil (ESPO) dan tidak tertutup kemungkinan IPOP juga akan berubah menjadi lembaga sertifikator dengan motif yang sama.
Barangkali sudah saatnya dalam MEA, Indonesia dan Malaysia mengambil sikap bahwa sustainability YES sebagai bagian dari tata kelola pembangunan perkebunan sawit. Namun NO Certification sustainability kecuali para lembaga sertifikator terbukti mampu meyakinkan konsumen untuk membayar harga premium minyak sawit tersertifikasi berkelanjutan. Diluar minyak sawit masih ada 16 jenis minyak nabati dunia yang selama ini masyarakat konsumen dunia tidak pernah menuntut sertifikasi sustainability.
Sumber : Indonesiakita.or.id