
Moratorium Sawit Hadiahi Krisis Energi?
Jika moratorium kebun sawit dilakukan di Indonesia saat ini, maka pemerintah merencanakan krisis energi menjelang 100 tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 2045
Langkah Pemerintahan Jokowi-JK saat ini yang sedang melaksanakan peralihan evolusioner kebijakan energi nasional dari energi fosil tak terbarui (non renewable energy) kepada energi terbarukan (renewable energy) sangat tepat (on the right track). Energi fosil (Solar, Premium, Avtur, dll) sebagai energi tak dapat diperbarui suatu saat akan habis. Diproyeksikan menjelang tahun 2050 cadangan energi fosil dunia akan habis. Selain itu, energi fosil juga tidak ramah lingkungan, penyumbang sekitar 70 persen emisi karbon dunia, penyebab pemanasan global.
Langkah awal kebijakan energi nasional tersebut sudah dimulai. Implementasi mandatori biodiesel sawit dari tahun lalu sebesar 15 persen (B-15) dan tahun 2016 ini sebesar 20 persen (B-20) dan mulai tahun 2020 naik menjadi B-30 merupakan bagian penting dari peralihan kebijakan tersebut. Kebijakan penggantian solar fosil dengan biodiesel sawit tersebut dapat mengurangi sekitar 60 persen emisi karbon dan ketergantungan Indonesia pada impor solar.
Selain menghasilkan biodiesel, sawit juga menghasilkan biopremium/bioethanol dari biomas sawit. Biopremium sawit dapat menggantikan premium fosil yang kita konsumsi saat ini. Memang pengganti premium yakni bioetanol, dapat dihasilkan dari berbagai sumber. Namun yang paling siap adalah dari biomas sawit karena selain sudah dihasilkan dalam jumlah besar juga penggunaanya tidak bersaing dengan biodiesel maupun untuk pangan.
Berdasarkan proyeksi, menuju tahun 2045 (ketika 100 tahun NKRI) Indonesia memerlukan solar sekitar 90 juta kilo liter dan premium, sekitar 85 juta kilo liter. Jika 60 persen saja dari kebutuhan solar diganti dengan biodiesel (B-60) maka untuk biodiesel sawit saja, memerlukan CPO sekitar 54 juta ton. Sementara untuk kebutuhan bahan pangan (minyak goreng, mentega,specialty fat, dll) dan non pangan (sabun, shampo, pelumas, dll) diluar biodiesel, Indonesia diproyeksikan memerlukan sekitar 30 juta ton CPO pada tahun 2045. Sehingga untuk kebutuhan Indonesia (tanpa ekspor) saja diperlukan sekitar 84 juta ton CPO.
Jika peningkatan produktivitas sawit melalui replanting, perbaikan varietas, kultur teknis, dll berhasil dilakukan maka produktivitas rata-rata sawit nasional yang dapat dicapai adalah naik dari sekitar 3.8 ton saat ini menjadi 6 ton per hektar TM tahun 2045. Sehingga jika luas sawit Indonesia tetap seluas 11 juta hektar (luas TM 9 juta hektar) maka produksi CPO nasional tahun 2045 diperkirakan hanya maksimum mencapai 54 juta ton. Ini berarti Indonesia akan kekurangan CPO sebesar 30 juta ton pada tahun 2045.
Dengan luas kebun sawit 11 juta hektar saat ini baru mampu menghasilkan biomas (dalam bentuk bahan kering) sekitar 182 juta ton, jika diolah untuk menghasilkan bioethanol dapat menghasilkan sekitar 27 juta kilo liter bioethanol. Jika produktivitas naik menjadi 6 ton minyak tahun 2045 maka produksi biomas sawit diproyeksikan menjadi 273 juta ton atau setara dengan 45 juta kilo liter bioethanol. Sehingga tahun 2045 Indonesia juga mengalami kekurangan biopremium sebesar 40 juta kilo liter.
Tahun 2045 yakni saat 100 tahun NKRI tidak lama lagi, hanya kurang dari 30 tahun lagi. Atau kurang lebih satu siklus kebun sawit lagi. Sebagaimana diperkirakan diatas, tahun 2045 energi fosil dunia termasuk di Indonesia akan habis, sehingga kekurangan CPO berarti juga kekurangan energi biodiesel dan kekurangan biopremium, yang keduanya akan menciptakan krisisi energi. Jika Pemerintah saat ini memberlakukan moratorium ekspansi sawit, akan sama artinya mempersiapkan “hadiah” krisis energi pada ulang tahun 100 tahun NKRI tahun 2045.
Jika tidak ingin menghadiahi krisis energi untuk 100 tahun NKRI, Indonesia memerlukan setidaknya 15 juta hektar TM sawit. Agar sustainable memerlukan 5 juta hektar TBM sehingga total yang diperlukan setidaknya sekitar 20 juta hektar kebun sawit. Artinya ekspansi sawit harus dilakukan sejak sekarang sampai tercapai luas ideal sekitar 20 juta hektar. Tentu bukan dengan konversi hutan alam melainkan memanfaatkan lahan yang telah rusak (degraded land).
Target luas kebun sawit ideal Indonesia tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan dengan luas kebun kedelai Amerika Serikat dan Brazil. Menurut Oil World (2015) luas kebun kedelai Amerika Serikat saat ini yakni 33.4 juta hektar. Sementara kebun kedelai Brazil seluas 33.3 juta hektar dan masih ekspansi kedepan.
Source : Sawit.or.id