
Kampanye Anti Sawit : Praktek Busuk Bisnis Minyak Nabati Barat
Bagi yang sering berselancar di media sosial seperti situs atau web, barangkali banyak menjumpai berita-berita, pernyataan, serta gambar yang menjelek-jelekkan minyak sawit yang dilakukan oleh jejaring LSM anti sawit, baik di luar negeri maupun di Indonesia. Untuk membangun citra buruk minyak sawit di pasar global, para LSM anti sawit sering menuduh perkebunan kelapa sawit terkait kerusakan lingkungan.
Kampanye anti sawit bukanlah hal yang baru. Semenjak awal tahun 80’an kampanye ini sudah dilakukan. Pada tahun 1981 produsen minyak kedelai (American Soybean Association) yang merupakan pesaing utama minyak sawit telah melancarkan kampanye anti sawit dengan tudinganbahwa minyak nabati tropis (minyak kelapa, minyak sawit) mengandung kolesterol. Namun tudingan itu kemudian dapat ditepis karena secara ilmiah kelapa sawit tidak menghasilkan kolesterol. Kolesterol hanya dihasilkan dalam tubuh hewan dan manusia.Setelah gagal dengan tudingan kolesterol, pada tahun 1990-an minyak sawit kembali dituding sebagai penyebab penyakit jantung dan pembuluh darah. Tuduhan ini pun kandas setelah para ahli gizi dan ahli kesehatan termasuk ahli dari negara barat membuktikan bahwa tudingan tersebut tidak benar. Bahkan sebaliknya kandung vitamin A dan vitamin E yang banyak dalam minyak sawit berpotensi mencegah penyakit jantung dan pembuluh darah.
Tidak berhenti disitu saja, pada tahun 2000-an sampai sekarang, kampanye anti sawit mengusung tuduhan baru yaitu perkebunan kelapa sawit merusak lingkungan dan penyebab pemanasan global. Tuduhan ini juga membuat kita tertawa karena negara-negara barat menyembunyikan kesalahan masa lalunya dan borok masa kini. Dulu waktu pembangunannya, mereka menghabiskan seluruh hutannya (deforestasi) termasuk dengan satwa-satwa didalamnya. Alhasil satwa-satwa sub tropis yang dulu dikenal melalui buku-buku Sejarah Dunia saat ini sudah tidak ada lagi (punah) dan tinggal kenangan.
Tuduhan penyebab pemanasan global juga menyembunyikan borok masa kininya. Sebagaimana diumumkan oleh Badan-Badan Dunia (IEA, FAO, IPPC, dll) dalam laporan setiap tahun, secara jelas menyajikan data bahwa penyebab utama pemanasan global adalah akibat emisi gas rumah kaca dari konsumsi bahan bakar fosil (minyak bumi, batubara, dll) yang pengkonsumsi terbesarnya adalah negara-negara bagian barat. Sebaliknya semua tanaman termasuk kelapa sawit adalah penyelamat lingkungan (menyerap gas rumah kaca karbondioksida). Apalagi biodiesel dari minyak sawit digunakan untuk mengganti solar, maka akan menyumbang pada penurunan emisi gas rumah kaca global.
Indonesia masih jauh lebih baik dari negara-negara barat. Meskipun masih sedang membangun, moralitas Indonesia masih jauh lebih baik dari negara-negara barat yang sekarang menjadi negara maju. Saat ini kita masih punya hutan primer terluas di Asia-Afika. Kita juga memiliki hutan lindung dan hutan konservasi seluas 40.4 juta hektar yang terus kita pertahankan sebagai tempat satwa termasuk orang utan, mawas, harimau, dll dan tempat tumbuh jutaan jenis flora. Lahan untuk perkebunan atau pertanian, industri, pemukiman, yang disediakan pemerintah adalah di luar hutan lindung dan hutan konservasi tersebut.
Jadi, tuduhan-tuduhan terhadap minyak sawit tersebut hanya sebagai tameng menutup borok sendiri dan sekaligus melindungi minyak nabati mereka (minyak kedelai, minyak bunga matahari, rapeseed dan lainnya) yang kalah saing dengan minyak sawit. Bagaimana tidak, lebih dari 100 tahun minyak kedelai merajai dunia, tiba-tiba pada tahun 2006 digeser dan dikalahkan oleh minyak sawit khususnya dari Indonesia. Tidak terima kalah dari minyak sawit, produsen minyak kedelai dan rape tersebut menggunakan cara-cara tidak terpuji, yakni melancarkan kampanye hitam terhadap minyak sawit dan meminjam tangan LSM baik di luar negeri maupun di Indonesia. Ironisnya LSM-LSM anti sawit di Indonesia yang juga warga negara indonesia ikut melancarkan kampanye hitam produsen minyak nabati barat tersebut.
Source : Indonesiakita.or.id