
Amnesty Tenurial Kebun Sawit Di Kawasan Hutan
Amnesty tenurial nasional urgen dilakukan untuk mengakhiri konflik dan ketidakpastian tenurial yang telah menghambat investasi dan penerimaan negara
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklaim banyak kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan. Berapa luas dan dimana saja, tak jelas hanya perkiraan-perkiraan saja. Pemerintah memperkirakan sekitar 1 juta hektar. Apakah benar atau tidak seluas itu, tak seorangpun tahu termasuk Pemerintah itu sendiri. Yang jelas pelaku perkebunan apalagi petani sawit protes keras jika disebut kebunnya di kawasan hutan.

Masalah kita sejak dahulu selalu ada ketidakjelasan batas-batas kawasan hutan di lapangan. Diatas peta kertas memang mudah melihatnya, namun dilapangan tidak jelas dan pemerintah sendiri tidak pernah membuat batas-batas yang jelas. Belum lagi kebijakan atau peraturan kawasan hutan yang berubah-ubah. Di lapangan, masyarakat lokal bahkan pemerintah daerah hanya melihat bahwa kawasan hutan itu ada hutannya. Jika tidak ada hutannya, itu bukan hutan.
Namun menurut Statistik Kehutanan 2017 berkata lain. Kawasan hutan terdiri atas Berhutan dan Tak Berhutan, Jika didasarkan pada konsep Berhutan, tercatat luas hutan sekitar 98 juta hektar. Namun jika didasarkan pada konsep Berhutan dan Tak Berhutan, luas kawasan hutan mencapai sekitar 126 juta hektar. Jika konsep kawasan hutan Berhutan dan Tak Berhutan, maka seluruh provinsi Riau (termasuk kota-kota) tercatat sebagai kawasan hutan. Boleh jadi dengan konsep kawasan hutan ini (Berhutan dan Tak Berhutan) dijadikan patokan, maka bisa saja ada kebun-kebun sawit yang berada di kawasan hutan. Bahkan kota-kota pun termasuk kantor-kantor pemerintah banyak di kawasan hutan.
Lantas, apakah dibiarkan terus kekacauan tersebut berlangsung? Itu semua kesalahan kolektif bersama sejak dari dahulu. Kita tidak perlu lagi mencari siapa yang salah apalagi saling menyalahkan. Hal yang penting adalah mencari solusi yang terbaik bagi bangsa ini kedepan.
Pertama, kawasan hutan berhutan yang luasnya sekitar 98 juta hektar (lebih dari 50 persen luas daratan) dipertahankan, dibuat batasnya di lapangan dan dijadikan hutan lindung dan hutan konservasi. Kawasan hutan Berhutan tersebut tampaknya dapat dipastikan memang benar-benar hutan karena datanya diperoleh dari citra satelit. Sebagaimana diuraikan dalam Statistik Kehutanan, informasi citra satelit yang digunakan dapat membedakan mana vegetasi hutan dengan vegetasi bukan hutan. Jika ini dilakukan, luas hutan masih jauh diatas syarat minimum hutan yang diamanatkan UU No.41/1999 tentang Kehutanan maupun UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang yakni minimum 30 persen dari luas daratan.
Kedua, kawasan selain yang berhutan tersebut yang selama ini diklaim sebagai kawasan hutan yang menurut kenyataanya sudah areal, pertanian, kebun-kebun, perkampungan/pemukiman, kota-kota , dll dinyatakan kawasan budidaya. Jadi diperlukan semacam “amnesty” tenurial nasional. Tentu saja amnesty tenurial tersebut dilakukan dengan prosedur yang terukur, transparan dan berkeadilan.
Langkah yang paling mudah dan sedikit konflik adalah didahului langkah pertama di atas. Kementerian LHK fokuslah membangun batas-batas hutan tersebut dan melakukan restorasi hutan-hutan yang telah terdegradasi di dalamnya. Sedangkan langkah kedua tersebut dilaksanakan oleh Kementerian teknis dan pemerintah daerah.
Langkah amnesty tenurial nasional tersebut sangat urgen dilakukan untuk mengakhiri konflik dan ketidakpastian tenurial selama ini yang telah menghabiskan energi dan kerugian sosial ekonomi yang besar. Ketidakpastian tenurial mengakibatkan ketidakpastian investasi dan kerugian penerimaan negara dari berbagai jenis pajak.
Source : Indonesiakita.or.id