
Anti Dumping Biodiesel Sawit Rugikan Eropa dan USA
Hambatan impor biodiesel sawit baik berupa bea masuk anti dumping, maupun non tarif akan merugikan rakyat Amerika Serikat dan Eropa
Saat ini Eropa dan Amerika Serikat sedang menggodok kebijakan hambatan impor baik berupa bea masuk, maupun hambatan non tarif atas impor biodiesel sawit termasuk dari Indonesia. Kebijakan tersebut dirancang untuk menghempang impor biodiesel sawit yang harganya lebih murah 15-30 persen dibandingkan dengan biodiesel produksi sendiri di Eropa (biodiesel rapeseed) maupun di Amerika Serikat (biodiesel kedelai).

Dalam konteks politik biodiesel dunia, penyediaan biodiesel dengan harga yang semurah mungkin sangat diperlukan. Pengembangan biodiesel secara internasional dimaksudkan untuk mengurangi konsumsi minyak fosil (minyak bumi, Batubara, gas alam) yang dinilai tidak ramah lingkungan dan penyebab emisi karbon yang mengotori udara bumi. Oleh karena itu, untuk memberhasilkan penggantian minyak fosil dengan biodiesel, idealnya harga biodiesel yang tersedia secara internasional jika memungkinkan lebih murah dari harga minyak fosil. Jika biodiesel di pasar dunia lebih murah dari harga minyak bumi, dengan sendirinya masyarakat dunia secara sukarela akan mengganti minyak bumi dengan biodiesel.
Dalam kaitan politik biodiesel dunia tersebut, kebijakan hambatan impor biodiesel seperti kebijakan anti dumping biodiesel yang dirancang Eropa dan Amerika Serikat justru kontra produktif. Hambatan impor biodiesel baik berupa bea masuk maupun non tarif, akan menyebabkan harga biodiesel di pasar Eropa dan Amerika Serikat makin mahal. Hal ini justru merugikan Eropa dan Amerika Serikat sendiri.
Eropa dan Amerika Serikat termasuk top ten penghasil emisi karbon terbesar dunia, yang telah berkomitmen mengurangi emisi karbon. Jika tersedia biodiesel yang lebih murah dari harga minyak fosil, komitmen penurunan emisi Eropa maupun Amerika Serikat tersebut akan lebih mudah tercapai. Oleh karena itu Eropa dan Amerika Serikat seharusnya berterima kasih jika ada negara yang mampu menyediakan biodiesel yang relatif murah seperti biodiesel sawit bagi Eropa dan Amerika Serikat.
Dengan membuka impor biodiesel sawit akan mencegah Eropa dan Amerika Serikat dari ancaman gangguan pangan dalam penyediaan biodiesel dari dalam negeri. Kedua negara besar tersebut sedang mengalami trade-off pangan-biofuel. Sebagaimana studi FAO (2006), jika 10 persen saja konsumsi energi fosil digantikan dengan biodiesel, Eropa harus mengkonversi 70 persen lahan pangannya menjadi lahan tanaman bahan baku biofuel. Demikian juga Amerika Serikat, untuk menggantikan 10 persen energi fosil dengan biodiesel, harus mengkonversi sekitar 30 persen lahan pangan menjadi tanaman bahan biofuel.
Selain itu, saat ini tekanan pembayar pajak (tax payer) terhadap pemerintah Eropa dan Amerika Serikat untuk mengurangi secepat mungkin subsidi pertanian begitu intensifnya karena dinilai telah membebani anggaran pemerintah. Jika subsidi pertanian Eropa dan Amerika Serikat dikurangi/dicabut maka harga-harga bahan pangan akan meningkat. Dan jika produk pertanian domestik juga digunakan untuk biofuel, maka kenaikan harga-harga pangan akan makin meroket. Kondisi ini tentu akan dapat dikendalikan jika untuk biodiesel dipasok dari impor.
Dengan logika diatas seharusnya Eropa dan Amerika Serikat sangat diuntungkan jika impor biodiesel sawit tidak dihambat. Rakyat Eropa dan Amerika Serikat pasti senang menikmati pangan yang stabil dan harga biodiesel yang relatif murah dengan impor biodiesel sawit. Karena itu kedua negara tersebut tidak perlu repot-repot menuduh biodiesel sawit dari Indonesia dumping dan merancang kebijakan anti dumping biodiesel sawit. Selain membuang-buang energi juga merugikan rakyatnya sendiri.
Source : Indonesiakita.or.id