
Restorasi Sawit Gambut dengan Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan
Restorasi sawit gambut dengan pendekatan pembanguan berkelanjutan hendaknya diadopsi dan menggantikan pendekatan pro-lingkungan yang dipaksakan dengan otoritas kekuasan, intimidasi maupun pendekatan proyek pasar malam
Sejauh ini kebijakan restorasi sawit gambut menciptakan ketegangan antara kebun sawit dengan program restorasi gambut. Ketegangan antara dua kelompok yang berseberangan yakni kelompok pro-lingkungan (yang dimotori oleh BRG dan LSM lingkungan), berhadap-hadapan dengan kelompok pro-ekonomi (petani sawit dan korporasi sawit).
Pro-lingkungan melihat bahwa lahan gambut (termasuk yang telah ada kebun sawit) dari sudut pandang ekologis saja sehingga harus dikembalikan fungsi ekologisnya seperti sediakala, jika perlu “mengusir” kebun sawit yang ada di lahan gambut tersebut. Dipihak lain, pro-ekonomi, melihat kebun sawit gambut dari sudut kepentingan ekonomi yang harus dipertahankan untuk menghasilkan “kue ekonomi“. Restorasi sawit gambut dinilai mengancam keberadaan kebun sawit sehingga harus dilawan dengan caranya sendiri.
Kedua kelompok yang berseberangan tersebut menciptakan win-loss dilahan gambut. Pada kondisi tertentu misalnya dimana tekanan kekuasaan atau LSM begitu kuat (kebun sawit korporasi) mungkin saja yang menang pro-lingkungan dan pelaku kebun sawit gambut sebagai dipihak yang kalah, sehingga terpaksa dan tunduk pada program restorasi gambut dengan biaya ekstra yang cukup besar. Pada kondisi lain terjadi sebaliknya, pada kondisi dimana tekanan otoritas lemah, pelaku sawit gambut yang menang dan tidak bersedia melaksanakan program restorasi gambut karena dianggap merugikan bagi usaha kebun sawitnya.
Kemenangan pro-lingkungan atau pro-ekonomi tersebut hanya semu dan sementara. Dalam jangka panjang ketika tekanan otoritas kekuasaan dan LSM berakhir, maka pelaku kebun sawit gambut akan kembali seperti sediakala dan tidak melaksanakan program restorasi gambut. Demikian juga, dalam jangka panjang pelaku kebun sawit juga akan mengalami kerugian akibat pengelolaan gambut yang tidak lestari. Sehingga dalam jangka panjang baik pro-lingkungan maupun pro-ekonomi akan sama-sama dirugikan (lose-lose condition).
Untuk mengatasinya, pro-lingkungan dan pro-ekonomi perlu dipersatukan dengan pendekatan jalan tengah yang disebut sebagai pro-pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pro-lingkungan perlu mengakui dan melihat bahwa kebun sawit gambut merupakan bagian dari restorasi gambut dengan perbaikan tatakelola lahan gambut yang lestari. Sebaliknya pro-ekonomi juga perlu mengakui dan melihat bahwa kebun sawit gambut hanya bisa lestari jika dilakukan dengan tatakelola lahan gambut yang berkelanjutan.
Rekonsiliasi pada tataran paradigma tersebut harus diterjemahkan dalam tataran operasional. Standar tatakelola kebun sawit berkelanjutan harus ditetapkan dan disusun roadmap perbaikan manajemen, teknologi, untuk menuju standar tersebut. Karena ekosistem gambut merupakan suatu hamparan ekosisitem maka pendekatannya haruslah sehamparan ekosistem bukan hanya individu-individu pelaku kebun sawit. Kebun sawit gambut sehamparan ekosistem tersebut perlu didefinitifkan dan disusun roadmap aksi bersama menuju standar tatakelola berkelanjutan kebun sawit gambut sehamparan.
Selain itu, juga diperlukan insentif dari Pemerintah. Bagi kebun-kebun sawit gambut sehamparan yang berhasil melakukan perbaikan tatakelola kebun sawit gambut berkelanjutan secara kolektif, Pemerintah memberikan insentif berupa pengurangan berbagai jenis pajak atau subsidi. Dengan sistem insentif yang demikian, secara sukarela akan terwujud tatakelola kebun sawit gambut berkelanjutan yang diharapkan.
Pendekatan pembangunan berkelanjutan yang demikian akan lebih baik dari pada pendekatan dengan otoritas kekuasaan, intimidasi, yang sedang terjadi saat ini. Juga lebih baik dibanding pendekatan proyek atau iming-iming bantuan yang hanya melahirkan “proyek pasar-malam” di lahan gambut, yang semuaya bubar setelah dana proyek habis.
Source : Indonesiakita.or.id