
Retaliasi Atas Kebijakan Impor Sawit EU dan USA
Ancaman retaliasi perdagangan/tindakan balasan perdagangan menjadi pilihan terakhir atas kebijakan sawit EU dan USA
Akhir-akhir ini ekspor minyak sawit ke Eropa (EU) dan Amerika Serikat (USA) menghadapi ancaman proteksi perdagangan yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah. Resolusi sawit yang dikeluarkan Parlemen Eropa pada awal Bulan April 2017 lalu, mengancam embargo minyak sawit yang dikaitkan dengan sejumlah isu seperti deforestasi, kebakaran hutan, emisi GHG dan gambut.
Isu deforestasi sebetulnya merupakan fenomena normal disetiap negara termasuk di Eropa dan Amerika Utara sejak dahulu sampai sekarang. Deforestasi global dalam periode 1600-1983, luas deforestasi di subtropis khususnya di Eropa dan Amerika Utara mencapai 653 juta hektar (Elaine Matthews, 1983). Sedangkan periode 1990-2008 mencapai 239 juta hektar (European Commission, 2013). Isu kebakaran hutan juga terjadi disetiap negara. Dalam periode 2010-2015 luas kebakaran hutan dan lahan di Rusia dan Eropa mencapai sekitar 2,6 juta hektar setiap tahun (European Commission, 2016). Sementara di USA mencapai sekitar 2,2 juta hektar (USA-NOAA, National Centers for Environmental Information, 2016). Sedangkan di Indonesia hanya sekitar 64 ribu hektar per tahun. Isu emisi GHG emisi GHG USA (IEA, 2016) mencapai 5,2 giga ton CO2, dan EU-28 sebesar 3,2 giga ton CO2. Sedangkan emisi GHG Indonesia hanya 0,43 giga ton CO2 atau hanya 8 persen dari emisi USA dan 13 persen dari emisi EU-28. Demikian juga isu Gambut, berdasarkan data Wetland International (2010) dan Research Report VTT 5 (26) bahwa luas lahan gambut Eropa sudah hilang seluas 10,7 juta hektar atau sekitar 21 persen dari luas gambut semula. Gambut di kawasan Eropa ditambang dan dibakar untuk menghasilkan energi. Dengan kata lain pengkaitan antara minyak sawit dengan isu deforestasi, kebakaran hutan, emisi GHG dan gambut hanyalah alasan untuk proteksi perdagangan minyak sawit ke Eropa.
Demikian juga untuk ekspor minyak sawit ke Amerika Serikat. Ancaman proteksi yang dihadapi sawit Indonesia sangat kuat. Akhir Bulan Agustus 2017 lalu, Amerika Serikat merencanakan memberlakukan kebijakan anti dumping berupa Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sebesar 40-70 persen atas biodiesel sawit dari Indonesia. Tuduhannya adalah praktik dumping biodiesel sawit. Padahal data-data membuktikan hal yang berbeda. Dalam tahun 2016 misalnya harga rataan biodiesel di Indonesia adalah Rp 8.183 per liter. Jika dihitung pajak/pungutan ekspor biodiesel dan biaya pengangkutan (c.i.f) ke pelabuhan Amerika Serikat (landed price) maka harga biodiesel sawit Indonesia adalah sekitar Rp 9.410 per liter. Sementara harga eceran biodiesel kedelai (B100) di pasar Amerika Serikat tahun 2016 rata-rata Rp 10.534 per liter.
Sebaliknya justru biodiesel minyak kedelai Amerika Serikat memperoleh subsidi biodiesel. Menurut Studi The Global Subsidies Initiative, mengungkap bahwa Amerika Serikat selama 2006-2016 memberikan subsidi biodiesel kedelai yakni sekitar 61-72 persen dari harga eceran biodiesel kedelai. Jika tidak ada subsidi, harga eceran biodiesel kedalai (B100) tahun 2016 di pasar Amerika Serikat adalah sekitar Rp 17.000 per liter.
Menghadapi makin massifnya kebijakan protektif negara EU dan USA tersebut, pemerintah Indonesia tidak membiarkan begitu saja. Sesuai UU No. 7/2014 tentang Perdagangan (pasal 67, 68) pemerintah diwajibkan untuk mengambil tindakan yang diperlukan jika ekspor Indonesia diperlakukan tidak adil atas alasan apapun. Oleh karena itu, pemerintah perlu secara dini meyampaikan protes keras atas rencana kebijakan EU dan USA tersebut.
Selama ini komoditi/produk yang impor Indonesia dari EU dan USA antara lain produk susu, kedelai, gandum, parfum, bahan kimia, peralatan elektronik, peralatan militer, pesawat terbang, otomotif, peralatan IT dan lain-lain. Neraca perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa selama ini menguntungkan Indonesia (surplus). Pada tahun 2015 menurut data BPS, neraca perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa surplus sebesar USD 3,6 Miliar. Hal yang sama juga antara Indonesia dengan Amerika Serikat mencatat surplus sebesar USD 8,6 Miliar (BPS, 2017).
Bentuk reaksi pemerintah Indonesia tentunya dapat berupa reaksi soft diplomacy sampai pada tindakan hard diplomacy (trade war) seperti ancaman retaliasi perdagangan. Dalam prinsip perdagangan bilateral sesungguhnya memegang prinsip win-win solution yang menguntungkan kedua belah pihak secara berkelanjutan. Penyelesaian masalah perdagangan antara kedua negara yang bersifat win-lose akan merugikan kedua negara. Oleh karena itu sedapat mungkin ancaman proteksi minyak sawit ke EU dan USA dapat dilakukan dengan membangun komunikasi atau diplomasi perdagangan yang menghasilkan kondisi win-win.
Tentu saja soft diplomacy yang menghasilkan win-win solution tidak selalu mudah diperoleh. Oleh karena itu tindakan balasan atau retaliasi perdagangan menjadi pilihan terakhir. Produk-produk EU dan USA yang secara implisit merupakan produk beremisi karbon tinggi (embodied carbon emission) dibanding dengan produk Indonesia, dapat menjadi alasan retaliasi perdagangan dengan EU dan USA.
Source : Indonesiakita.or.id