
HCV / HCS Dan “Dosa” Masa Lalu UE – USA
Menuntut HCV dan HCS pada kawasan budidaya termasuk pada kebun sawit mungkin salah alamat
Indonesia bukanlah Eropa dan Amerika Serikat. Di negara-negara Eropa maupun Amerika Utara, pada awal pembangunannya sudah menghabiskan hutannya, baik itu hutan lindung maupun hutan konservasi termasuk penghuninya. Tidak ada lagi hutan primer yang tersisa maupun satwa-satwa sub-tropis saat ini. Jika saat ini negara-negara Eropa maupun Amerika Utara melaporkan memiliki hutan yang luas sebagaimana dalam statistik FAO, hutan tersebut adalah hutan sekunder, eks lahan pertanian yang telah ditinggalkan (Soemarwoto, 1992).
Untuk menebus “dosa” masa lalu, Eropa dan Amerika Utara membangun kembali hutannya termasuk membangun ulang kawasan konservasi (High Conservation Value, HCV) dan kawasan stok karbon tinggi (High Carbon Stock, HCS). Meskipun itu baik, tidak mungkin lagi mengembalikan yang sudah hilang dimasa lalu.
Dalam konsep Barat sebagaimana dikampanyekan para LSM, konsep High Conservation Value (HCV) mencakup HCV 1 (Species Diversity), HCV 2 (Landscape Level Ecosystem and Mosaic), HCV 3 (Ecosystem and Habitats), HCV 4 (Ecosystem Service), HCV 5 (Community Needs) dan HCV 6 (Culture Value). Sedangkan konsep High Carbon Stock (HCS) mencakup HK 3 (High Diversity Forest), HK 2 (Medium Diversity Forest), HK 1 (Low Diversity Forest), BM (Young Scrub), BT (Old Scrub) dan LT (Cleared/Open Land).
Indonesia sejak awal pembangunannya sudah jauh-jauh hari mengklasifikasi mana hutan yang dapat dikonversi (deforestable) mana hutan yang harus dipertahankan (non deforestable) sebagai HCV dan HCS. Hutan yang didalamnya HCS dan HCV dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41/1999 dikenal dengan hutan lindung dan hutan konservasi dan dalam Undang-Undang Tata Ruang Nasional (UU No. 26/2007) berada di Kawasan Lindung. Dalam konteks Indonesia pelestarian HCV, HCS dan biodiversity sudah ada tempatnya yakni di hutan lindung dan hutan konservasi tersebut. Pada hutan lindung dan konservasi itulah “rumahnya” biodiversity seperti satwa-satwa liar, ragam tumbuhan dan mikroba, fungsi tata air dan konservasi ekosistem secara keseluruhan.
Hutan yang boleh dikonversi untuk kebutuhan pembangunan adalah hutan produksi khususnya hutan produksi yang dapat dikonversi (convertiable forest) dengan prosedur tertentu dan telah diatur dalam undang-undang kehutanan tersebut. Hutan produksi disebut sebagai bank lahan (land bank) sebagai persediaan lahan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan penduduk yang seperti areal perkotaan, pemukiman, industri, pertanian, perkebunan, dan lain-lain yang dalam undang-undang tata ruang disebut sebagai kawasan budidaya.
Menuntut HCV dan HCS pada kawasan budidaya termasuk pada kebun sawit, salah alamat.
Source : Indonesiakita.or.id