
Pembahasan Draf Inpres Moratorium Sawit, Gapki tidak pernah diikutsertakan
JAKARTA – Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali rencana penerbitan instruksi presiden terkait penundaan peizinan (moratorium) kebun sawit (Inpres Moratorium Sawit) yang kini drafnya berada di Kemenko Perekonomian. Kebijakan moratorium sawit tidak pernah membawa perbaikan signifikan terhadap lingkungan, upaya itu justru lebih didukung oleh perbaikan tata kelola sawit melalui penerapan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO).
Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi) Darmono Taniwiryono mengatakan, kebijakan moratorium kebun sawit tidak pernah membawa perbaikan signifikan terhadap lingkungan. Perbaikan lingkungan justru lebih didukung oleh perbaikan tata kelola sawit melalui penerapan ISPO yang juga diinisiasi Kemenko Perekonomian. Penerapan sertifikasi mandatori ISPO dengan serangkaian persyaratan yang ketat mencakup isu hukum, ekonomi, lingkungan dan sosial lebih menunjukkan gigi dalam perbaikan lingkungan dan mengurangi efek gas rumah kaca. “Selama ini, moratorium terbukti tidak efektif kenapa harus dipertahankan, Belum lagi aturan sawit terkait lingkungan terlalu banyak sehingga terkesan tumpang tindih,” kata dia diJakarta, kemarin.
Darmono juga mengingatkan, label moratorium kebun sawit dalam Inpres tersebut menunjukkan ketidakberpihakan kelompok tertentu terhadap komoditas yang selama tiga tahun pemerintahan Presiden Jokowi telah mengangkat derajat bangsa melalui kontribusi devisa terbesar serta peningkatan tenaga kerja,” Presiden Jokowi saja bang dengan sawit dan selalu membela dalam berbagai forum internasional. Seharusnya, perlu penamaan yang lebih etis. Ini sama dengan mempermalukan Indonesia di mata dunia,” jelas Darmono.
Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad menilai moratorium sawit merupakan aturan tendensius yang hanya ingin menunjukkan arogansi Kementerian LHK tanpa mempertimbangkan nasib jutaan petani sawit. Tidak berbeda dengan moratorium gambut, kebijakan ini juga tidak mempunyai kajian akademis dan nalar yang benar.
Apkasindo juga mempertanyakan asal usul kebijakan lahan pengganti (land swap) untuk kegiatan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang Iuasnya mencapai ratusan ribu hektare. “Dengan keterbatasan lahan saat ini, apakah kebijakan lahan pengganti berasal dari pelepasan kawasan atau dari lahan yang dimoratorium. Hal itu saja tidak jelas. Jangan asal membuat kebijakan. Aturan yang ditetapkan saat ini banyak dan tidak mempunyai solusi,” tegas Asmar.
Direktur Eksekutif Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Mahendra Siregar mengatakan, semua kebijakan termasuk moratorium sawit perlu mengacu pada Sustainable Development Goals (SDGs), tujuan pembangunan berkelanjutan. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, aturan ini penting karena perlu keseimbangan pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan sebelum menetapkan satu keputusan. “Dalam SDGs, tujuan kesejahteraan bersama jadi prioritas melalui ketiga keseimbangan tersebut,” kata Manendra.
Ganggu Investasi
Ketua bidang Tata Ruang dan Agraria Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, selama pembahasan draf Inpres Moratorium Sawit, Gapki tidak pernah diikutsertakan. “Padahal, kalau baca drafnya, semua ada di ranah hulu, tanah Gapki,” kata Eddy.
Inpres Moratorium Sawit tersebut, kata Eddy, bisa menjadi masalah yang mengganggu investasi. Apa yang disampaikan Sekjen Gapki terkait peningkatan produksi dan ekspor justru bisa terganggu dan menurun akibat Inpres tersebut. “Misalnya, terkait review izin. Apakah nanti, tim kerja lnpres itu tahu historis investasinya? Hal-hal seperti ini semestinya melibatkan pemangku kepentingan. Lalu, terkait kewajiban membangun kebun masyarakat sebanyak 20% dari HGU. Bagaimana dengan perusahaan yang sudah go public?,” kata Eddy. (eme/tl)
Investor Daily | Rabu, 31 Januari 2018