Skip to content

GIMNI : Sawit Indonesia Berusaha Sustainable, Tapi Kenapa Dipojok-pojokin Terus

JAKARTA – Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyatakan bahwa dunia seharusnya mengapresiasi komitmen dan upaya Indonesia dalam menerapkan prinsip prinsip keberlanjutan (sustainability), termasuk di sektor kelapa sawit. Apalagi, Indonesia juga berkomitmen ikut ambil bagian dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan dunia (feed the world), di antaranya dengan memacu produksi pangan nasional.

Sahat mengkritik upaya negara-negara pasar yang terus memojokkan minyak sawit, bahkan persyaratan yang ditetapkan negara pasar sebagai bukti pemenuhan standar ke berlanjutan setiap saat bertambah. Mulai dari syarat yang menyangkut isu kesehatan hingga terkait isu lingkungan, bahkan hak azasi manusia (HAM). Di sisi lain, pemerintah yang menetapkan banyak definisi hutan justru dimanfaatkan oleh LSM/CSO dan negara tertentu untuk menekan industri sawit Indonesia.

“lndonesia berusaha sustainable, dunia seharusnya appreciate, tapi kenapa dipojok-pojokin terus, kalau memang mau bantu seharusnya datang ke ISPO atau ke RSPO. Ada dana nih, kami akan bantu supaya Indonesia sustainable, itu baru benar. Karena untuk sertifikasi itu butuh dana. Indonesia berkomitmen untuk berkelanjutan, kita sepakat itu, ada ISPO, ada RSPO,” kata Sahat saat diskusi tentang sawit berkelanjutan di Jakarta, kemarin.

Karena itu, Sahat mempertanyakan upaya Uni Eropa UE yang ingin menambah acuan standar keberlanjutan. Yang terbaru, Komisi UE dikabarkan tengah mendapat mandat menyusun kriteria untuk mengkategorikan risiko tinggi dan rendah indirect land use change (ILUC) di sektor minyak nabati untuk biofuel. Hal itu dalam kerangka Renewable Energy Directive (RED) II. “Kok mau bikin standar lain lagi? Itu bukan karena mereka mau supaya Indonesia lebih baik, tapi mereka cari uang. Kok bisa mereka yang mengatur? Sama saja kalau saya misalnya membuat standar untuk wine, masuk akal nggak? Jadi, kita itu tidak usah repot menyembah-nyembah Eropa. Toh, mereka juga sebenarnya tidak ingin kita berjuang untuk itu. Saya sudah menyaksikan pergerakan mereka itu sejak 1978,” kata Sahat.

Sahat mengatakan, sangat bisa dimaklumi apabila banyak pihak yang ingin menekan minyak sawit. Pasalnya, kelapa sawit merupakan pohon ajaib yang menghasilkan minyak dengan lemak jenuh dan tak jenuh seimbang. Karena itu, sangat salah jika mendiskreditkan minyak sawit. Apabila dibandingkan minyak nabati lainnya, kelapa sawit memiliki produktivitas tertinggi. Pada saat bersamaan, sawit tidak hanya menghasilkan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), tapi juga kandungan biomassa tinggi untuk energi, bisa aromatik, benzena, toluena, xilena (BTX), dan kapasitor. “Dengan inovasi dan penelitian, jika ini bisa diterapkan ke dalam teknologi mobil listrik, meski harga CPO nanti US$ 400 per ton, harga TBS tetap bisa minimal Rp 1.600 per kilogram (kg). Minyak sawit juga dapat dimanfaatkan nantinya untuk bioavtur. Kemampuan ini tidak dimiliki rapeseed maupun soybean, makanya minyak sawit dihantam,” kata Sahat.

Karena itu, lanjut dia, Indonesia seharusnya waspada dengan upaya maupun kampanye yang bertujuan mematikan industri sawit. Sebab, sawit sangatlah seksi, banyak sekali regulasi di dunia ini ingin mematikan komoditas tersebut. “Dan, itu sudah menjadi ideologi, mematikan sawit. Jika memang untuk komitmen keberlanjutan, RSPO sebaiknya menjadi RSPO. Roundtable Sustainable Vegetable Oils. Standar keberlanjutan berlaku untuk semua jenis minyak nabati. Kita harus fight bersama,” kata Sahat. (eme)

Investor Daily | Senin, 5 November 2018

Post View : 937
EnglishIndonesia