
OPINI: Solusi Kelangkaan Minyak Goreng
Jakarta – Gorengan merupakan menu wajib makan dan ngemil bagi orang Indonesia. Tanpa gorengan setiap hari rasanya nafsu makan turun, meskipun sudah banyak ahli gizi dan dokter yang menganjurkan untuk mengurangi porsi makan gorengan karena tidak sehat. Apalagi jika digoreng menggunakan minyak yang sudah berkali-kali digunakan (jelantah) dan minyak curah. Tua muda kaya miskin semua suka gorengan. Jadi Ketika minyak goreng langka, terjadi kehebohan dahsyat, dan pemerintah tidak dapat mengatasinya hingga hari ini.
Ketika suplai minyak goreng terganggu, harga naik dan barang langka lalu muncul kepanikan publik dan pemerintah yang kemudian juga membuat panik pengusaha minyak goreng yang pada akhirnya juga membuat pemilik kebun sawit yang tidak memproduksi minyak goreng juga resah, meskipun harga sawit dunia sedang tinggi. Berbagai spekulasi muncul di publik, sementara pemerintah terkesan tidak berdaya dan ujung-ujungnya bukan mencari penyebab persoalan ini, tetapi memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) ke sekelompok masyarakat yang dapat menimbulkan masalah lain.
Langkah pemberian BLT bukan langkah cerdas dan tepat, tetapi merupakan langkah “ngasal” –yang penting masyarakat miskin berhenti protes dan demo karena diberi uang tunai Rp 100.000/bulan selama 3 bulan dibayarkan langsung. Namun permasalahan minyak goreng tidak menemukan jalan keluar. Sedihnya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian tidak dapat berbuat banyak.
Saya sebetulnya malas membahas ini, namun karena persoalan ini tanpa ujung, maka saya melakukan riset kecil untuk mencoba menemukan penyebabnya dan memberikan sedikit masukkan kepada pemerintah supaya masalah ini selesai dan tidak lagi terjadi berulang di masa depan.
Peta Lapangan
Mayoritas minyak goreng terbuat dari sawit dengan supply chain sebagai berikut : biji sawit dari kebun sawit mayoritas milik perkebunan swasta dan sedikit BUMN (sekitar 4%) plus petani kecil, total sekitar 52,098 juta ton per tahun. Dari jumlah ini, di pasar domestik menyerap sekitar 18,422 juta ton/tahun dan di pasar ekspor menyerap sebesar 33,676 juta ton/tahun (sumber: GAPKI, APROBI, GIMNI, APOLIN, AIMMI, dan BPS).
Sawit masih menjadi salah satu kontributor utama dalam menjaga neraca perdagangan Indonesia agar tetap surplus. Kebutuhan pasar domestik meningkat (adanya program biodiesel), sehingga ekspor menurun dalam tiga tahun terakhir. Kebutuhan minyak goreng nasional sekitar 5,7 juta kiloliter /tahun yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga (3,9 juta kiloliter) dan industri (1,8 juta kiloliter). Kebutuhan rumah tangga disuplai dalam bentuk curah, kemasan sederhana, dan kemasan premium (sumber: Kementerian Perdagangan, 2022)
Minyak goreng di Indonesia sebagian besar berbahan baku CPO. Dari sisi suplai sejauh ini tidak ada kekurangan bahkan menurut pantauan saya berlebih. Harga semua minyak nabati dunia memang naik karena suplai tidak bertambah, tetapi demand naik pasca Covid-19. Di tengah krisis minyak goreng muncul berbagai peraturan terutama dari Kementerian Perdagangan, seperti Peraturan Menteri Perdagangan No. 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, yang ditetapkan pada 18 Januari 2022. Subsidi diberikan sebesar Rp 3.800/liter.
Pada Februari 2022 juga muncul peraturan lain dari Kemendag (tidak kami temukan rincian peraturannya) tentang kebijakan DMO – DPO dengan 3 HET (minyak goreng curah Rp 11.500/liter, kemasan sederhana Rp 13.500/liter, dan kemasan premium Rp 14.000/liter). Kebijakan ini tidak dapat menurunkan harga dan ketersediaan minyak goreng. Ada juga Surat Edaran No. 9/ Tahun 2022 Tentang Relaksasi Penerapan Harga Minyak Goreng Sawit Minyak Goreng Kemasan Sederhana dan Kemasan Premium.
Di tengah kenaikan harga CPO, pemerintah terus mengintervensi melalui penerbitan berbagai peraturan lain. Pada Maret 2022 terbitlah Permendag No. 6 Tahun 2022 Tentang Penetapan Harga Tertinggi Minyak Goreng Sawit, antara lain minyak goreng murah Rp 11.500/liter (minyak goreng curah), namun kemudian dicabut dan diterbitkan Permendag No. 11 Tahun 2022 Tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Curah untuk menyediakan minyak goreng murah, antara lain melalui kebijakan satu harga (Rp 14.000/liter).
Lalu masih pada Maret 2022, muncul lagi kebijakan baru terkait minyak goreng curah bersubsidi dengan HET Rp.14.000/liter. Namun berhubung sudah muncul distorsi pasar yang sangat serius, di mana banyak spekulasi dan penyimpangan yang sulit dikontrol di rantai distribusi, maka kebijakan DMO-DPO dibatalkan. Selain itu kepanikan di tingkat konsumen bawah-atas juga memperburuk kondisi suplai. Karena meluasnya pemberitaan langka dan mahalnya minyak goreng, kelas atas dan menengah memborong yang mengganggu ketersediaan, sehingga kelas bawah tidak kebagian karena langka dan harga mahal.
Dengan berbagai kebijakan di atas, pemerintah gagal membereskan distribusi, maka keluarlah Permenperin No. 8 Tahun 2022 Tentang Penyediaan Minyak Goreng Curah untuk Kebutuhan Masyarakat, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Kemenperin menetapkan alokasi pada setiap produsen minyak goreng (pemilik kilang CPO) terkait dengan volume dan wilayah distribusi. Kebijakan ini bukannya menyelesaikan masalah yang ada, malah membuat masalah baru karena kapasitas produksi dan kemampuan distribusi tidak dipertimbangkan.
Dalam implementasinya, produsen harus meng-upload SIMIRAH (Sisten Informasi Minyak Goreng Curah) agar secara otomatis terakses dengan pendanaan subsidi dari BPDPKS. Pengisian SIMIRAH harus sampai pada pengecer yang terdaftar, sedangkan kebanyakan dari pengecer tidak memiliki NPWP dan faktur pajak sehingga tidak berhak mendapatkan subsidi . Akibatnya yang bisa memenuhi persyaratan dan mendapatkan subsidi karena kelengkapan dokumennya, hanya pengecer yang terintegrasi dengan produsen melalui jaringan distribusi milik sendiri.
Beberapa kilang CPO lain yang tidak memiliki jaringan distribusi (karena berorientasi ekspor), kesulitan untuk dapat comply dengan SIMIRAH. Di samping itu, diperlukan peran surveyor untuk melakukan monitoring, sementara saat ini surveyor yang ditunjuk oleh pemerintah belum ada. Maka tragedi kelangkaan minyak goreng ini tak akan kunjung terselesaikan karena memang pemerintah pada posisi bingung terkait koordinasi.
Langkah ke Depan
Idealnya produksi dan distribusi harus dipisahkan supaya tidak terjadi konflik kepentingan (khususnya bagi produsen yang terintegrasi dengan jaringan distribusi). Konsekuensinya, distribusi harus dilakukan oleh lembaga pemerintah atau unsur pemerintah, misalnya RNI, BULOG, PPI. Namun mereka tidak siap secara finansial. Ini perlu penanganan dari Kementerian Keuangan. Kemudian perbaiki SIMIRAH dan segera tetapkan lembaga surveyor-nya. Hambatan utama memang terjadi di distributor kecil dan pengecer yang membuat seolah-olah minyak goreng langka.
Isu minyak goreng akan selalu muncul saat harga tinggi. Untuk menjamin minyak goreng terjangkau, tetap perlu ada program bersubsidi jika harga CPO tinggi seperti apa yang dilakukan Malaysia. Subsidi harus targeted dan terbatas, yaitu pada kelompok masyarakat miskin (kemungkinan diperlukan volume sekitar 2,5 juta kiloliter/tahun). Minyak goreng subsidi sebaiknya dikemas sederhana ukuran 1 liter, sehingga lebih higienis. Namun konsekuensinya minyak goreng curah harus tidak ada.
Minyak goreng curah tidak sehat karena kualitas rendah dan sering dioplos dengan minyak jelantah (bekas) yang sudah karsinogenik. Subsidi dapat menggunakan dana BPDPKS hasil pungutan ekspor, yang besarnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Mari kita tunggu kebijakan cerdas pemerintah, bukan kebijakan asal rakyat senang melalui BLT.
Agus Pambagio pengamat kebijakan publik dan perlindungan konsumen (mmu/mmu)
Sumber: news.detik.com | Catatan Agus Pambagio : Mencari Solusi Kelangkaan Minyak Goreng | Ilustrasi gambar melalui detik.com