Selain Kurangi Impor, Bensin Sawit dapat Mengurangi Konsumsi Minyak Fosil dan Ramah Lingkungan

Tidak seperti lagu Vina Panduwinata yang berjudul September Ceria, karena masyarakat Indonesia harus menghadapi realita kenaikan harga BBM. Presiden Joko Widodo mengumumkan kenaikan harga BBM subsidi mulai tanggal 2 September 2022. Dari ketiga jenis BBM yang mengalami kenaikan harga, dua diantaranya adalah produk bensin yaitu Pertalite dari Rp 7,650 per liter menjadi Rp 10,000 per liter dan Pertamax dari Rp 12,500 per liter menjadi Rp 14,500 per liter.

Ilustrasi Kenaikan Harga BBM (Dok: Gatot Yudhis/G15)

Jebolnya APBN untuk subsidi BBM yang telah meningkat tiga kali lipat mencapai Rp 502.4 Triliun dan diperkirakan akan terus meningkat serta subsidi yang diberikan tidak tepat sasaran karena dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu, menjadi background story diumumkan kebijakan yang dinilai tidak pro-rakyat tersebut. Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa kebijakan peningkatan harga BBM subsidi merupakan opsi terakhir yang harus diambil pemerintah di tengah situasi sulit akibat gejolak harga minyak dunia.

Dinamika harga minyak dunia menunjukkan tren peningkatan sejak tahun 2021 sebagai dampak dari Pandemi Covid-19. Tren peningkatan harga minyak dunia semakin signifikan sejak meletusnya perang Rusia-Ukraiana di akhir Februari 2022. Rekor harga minyak mentah (Brent crude oil) tertinggi menembus USD 131.7 per barel pada 8 Maret 2022.

Sebenarnya, tren harga minyak dunia menunjukkan pergerakan menurun secara signifikan sejak awal Juli 2022. Pada pekan di awal September ini, harga minyak mentah jenis Brent melemah menjadi USD 93.02 per barel. Meskipun demikian, beberapa pengamat memprediksi bahwa harga minyak dunia bisa kembali meroket di atas USD 100 per barel. Salah satunya disebabkan oleh ketegangan hubungan geopolitik China-Taiwan dan tingginya kebutuhan negara-negara Eropa yang terdampak perang Rusia-Ukraina akibat terbatasnya suplai gas dan energi baru terbarukan (EBT).

Hal ini menunjukkan kenaikan harga minyak dunia yang kemudian akan ditransmisikan pada naiknya harga BBM di Indonesia menunjukkan ancaman krisis energi semakin di depan mata. Ancaman tersebut tidak dapat dihindari selagi ketergantungan Indonesia terhadap minyak fosil, khususnya yang bersumber dari impor, semakin tinggi dan terus meningkat di masa depan.

Misalnya untuk bensin sebagai BBM yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia, Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa dari 35.3 juta kiloliter bensin yang dikonsumsi Indonesia tahun 2019, sekitar 54 persen atau 19.19 juta kiloliter bersumber dari impor.

Seiring dengan peningkatan populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi, konsumsi bensin juga diperkirakan akan terus meningkat. Di sisi lain, melansir CNBC (23 Agustus 2021) mengutip bahwa kapasitas kilang BBM di dalam negeri relatif stagnan di level 1 juta barel per hari sementara produksi minyak mentah mengalami penurunan. Hali ini menunjukkan bahwa ketergantungan impor minyak mentah/BBM Indonesia, termasuk impor bensin, akan terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan domestik di masa depan.

Oleh karena itu, dibutuhkan strategi yang mumpuni untuk mengurangi bahkan memutus rantai ketergantungan Indonesia terhadap minyak dan BBM impor, khususnya bensin impor. Salah satu startegi adalah mengembangan energi baru terbarukan (EBT) berbasis sumberdaya lokal yaitu Bensin Sawit (green gasoline) untuk mensubstitusi bensin fosil impor.


Apa Itu Bensin Sawit

Kelapa sawit dijuluki sebagai “pohon ajaib” atau incredible tree. Salah satu keajaiban yang dimiliki oleh kelapa sawit adalah kandungan minyaknya baik pada minyak sawit (CPO dan CPKO) mengandung elemen karbon yang menyerupai minyak fosil. Asam lemak yang terkandung dalam minyak sawit memiliki karakter yang sangat mirip dengan susunan hidrokarbon pada minyak fosil. Perbedaan susunan hidrokarbon minyak sawit dengan minyak fosil terletak pada rantai sedang hidrokarbon asam lemak minyak sawit “terkontaminasi” dengan karbondioksida pada salah satu ujung molekulnya. Untuk menghasilkan biofuel yang menyerupai susunan hidrokarbon bahan bakar fosil, maka perlu dilakukan proses penghilangan karbondioksida pada ujung molekulnya.

Untuk memanfaatkan besarnya potensi tersebut, para peneliti dari ITB telah menciptakan Katalis Merah Putih. Katalis tersebut digunakan dalam proses kimiawi sehingga dapat diperoleh produk biofuel berbasis minyak sawit (green fuel sawit) seperti bensin sawit (green gasoline), diesel sawit (green diesel) dan avtur sawit (green avtur).

Selain sebagai sumber energi baru dan terbarukan yang rendah emisi, produk green fuel sawit juga memiliki keunggulan dibandingkan dengan minyak fosil. Misalnya pada bensin sawit, bilangan oktan pada bensin sawit lebih tinggi sehingga dinilai lebih berkualitas. Hasil uji coba bensin sawit menunjukkan bahwa Research Octane Number (RON) sebesar 115. Dengan RON tersebut, kualitas dan mutu bensa diatas Pertamax Turbo yang hanya memiliki angka RON 98 bahkan di atas bahan bakar kendaraan racing yaitu Pertamax Racing.

Bensin dengan oktan tinggi seperti pada bensin sawit, sangat cocok untuk kendaraan yang memiliki kompresi tinggi seperti yang banyak dikembangkan saat ini. Selain itu, penggunaan bensin dengan RON tinggi juga dinilai lebih ramah lingkungan, ramah mesin karena kinerja mesin jadi enteng dan memperpanjang umur mesin dan juga lebih ramah kantong.

Ilustrasi Bensin Sawit (Dok: PASPI)

Mengutip pada Infosawit.com, Melia Laniwati Gunawan dari KK Teknologi Reaksi Kimia dan Katalis FTI ITB mengungkapkan bahwa bensa dengan RON 105-112 ini dapat dicampur dengan bensin fosil dengan RON 70-80 sehingga menghasilkan bensin dengan RON 93. Bensin RON 93 tersebut masih di atas Pertamax RON 92 yang diproduksi oleh Pertamina.


Bensin Sawit Masa Depan Ketahanan Energi Indonesia

Indonesia pernah masuk dalam jajaran produsen utama minyak fosil di dunia, bahkan pernah menjadi anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries). Namun seiring dengan besarnya kebutuhan domestik yang tidak diimbangi dengan suplai domestik menyebabkan Indonesia harus mengimpor minyak bumi. Alhasil Indonesia berganti status dari net eksportir minyak fosil menjadi net importir minyak fosil sejak tahun 2004 hingga saat ini.

Dua tahun kemudian yakni pada tahun 2006, terjadi krisis energi global yang ditandai dengan kelangkaan dan lonjakan harga minyak bumi. Sejak saat itu, banyak negara di dunia semakin serius untuk mengalihkan sumber energinya dari minyak fosil ke Bahan Bakar Nabati (BBN). Termasuk Indonesia yang berkomitmen untuk mengembangkan BBN ditunjukkan dengan masuknya BBN dalam Kebijakan Bauran Energi yang dalam implementasinya diberikan insentif oleh pemerintah.

Ilustrasi Ketahanan Energi Berbasis Minyak Sawit (Dok: Alinea.id)

Long short story setelah menghadapi lika liku panjang dalam pengembangan BBN, Pemerintah Indonesia berhasil mengimplementasikan penggunaan BBN berbasis minyak sawit yaitu Biodiesel/FAME (Fatty Acid Methyl Ester). Indonesia juga berhasil masuk dalam Top-3 produsen biodiesel di dunia dan menorehkan rekor sebagai negara yang menggunakan blending rate tertinggi yakni 30 persen FAME dengan 70 persen solar fosil (B30) tahun 2020.

Prestasi lainnya dari dari implementasi biodiesel adalah Indonesia telah mampu mengurangi ketergantungan impor solar fosil cukup drastis. Pada tahun 2010, pangsa volume solar fosil impor sebesar 46 dari total konsumsi solar fosil domestik, kemudian mengalami penurunan menjadi dibawah 10 persen pada tahun 2020. Penurunan impor solar fosil tersebut juga secara langsung berdampak pada penghematan devisa.

Keberhasilan biodiesel tersebut dalam menurunkan ketergantungan solar impor tidak terlepas dari dukungan kebijakan yakni program mandatori biodiesel. Belajar dari pengalaman tersebut, Indonesia dapat mempraktikkan program mandatori bensin sawit. Untuk mempercepat penurunan ketergantungan penggunaan bensin impor, program mandatori bensin sawit harus intensif dan progresif diimplementasikan misalnya dari tingkat pencampuran bensin sawit dengan bensin fosil dari G-10 ke G-20 dan G-50.

Dengan implementasi mandatori bensin sawit tersebut, Indonesia dapat mengurangi tingginya ketergantungan bensin impor sehingga relatif lebih resisten terhadap dinamika harga minyak global dan krisis energi global. Kuatnya komitmen seluruh stakeholder dan ditambah dengan dukungan publik, maka ketahanan energi nasional bukan suatu keniscayaan untuk dicapai Indonesia.

Sumber: palmoilina.asia | Ilustrasi gambar melalui globalplanet.news



Halaman dilihat : 911
EnglishIndonesia