Skip to content

Kebijakan Mandatori Biodiesel dan Pilihan Instrumen Implementasi yang Sustainable

Kebijakan mandatori biodiesel merupakan kebijakan strategis untuk mewujudkan kemandirian ekonomi nasional terutama kemandirian energi dan percepatan pembangunan daerah. Instrumen pelaksanaan mandatori biodiesel yang saat ini ditempuh pemerintah yakni memberikan subsidi produsen biodiesel yang dibiayai dengan pungutan ekspor minyak sawit, selain tidak sustainable dan tidak relevan pada MEA 2015, juga merugikan perekonomian secara keseluruhan (worse off) termasuk produsen biodiesel. Instrumen pelaksanaan mandatori biodiesel yang lebih sustainable dan menguntungkan (better-off) baik bagi produsen biodiesel maupun perekonomian secara keseluruhan adalah Pemberlakuan Wajib Serap (kebijakan rasio) dengan dukungan sistem insentif dan disinsentif pajak.

PENDAHULUAN

Membangun kemandirian ekonomi termasuk didalamnya energi dan pembangunan pedesaan, merupakan bagian penting dari mazhab pembangunan nasional Presiden RI Joko Widodo (Jokowinomics). Mazhab Jokowinomics tersebut juga telah diterjemahkan dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RJPM) 2014-2019 (Bappenas, 2014) sehingga secara formal kenegaraan wajib menjadi acuan dari pemerintahan saat ini termasuk Kabinet Kerja.

Sebagai bagian penting dalam upaya membangun kemandirian ekonomi tersebut, pemerintah telah mengambil kebijakan revolusioner dari masa sebelumnya dengan mempercepat penggantian bertahap energi solar fosil dengan biodiesel (FAME) secara mandatori (wajib) yang dikenal sebagai kebijakan mandatori biodiesel.

Melalui Permen ESDM No. 12/2015, kebijakan mandatori biodiesel dipercepat dari B-10 tahun 2014, menjadi B-15 tahun 2015 dan meningkat menjadi B-20 tahun 2016 yang akan datang. Bahkan Permen tersebut juga telah menetapkan target mandatori biodiesel lebih jauh kedepan yakni B-30 mulai tahun 2020 agar sejak dini dipersiapkan baik berbagai kebijakan yang diperlukan dalam penyediaan biodiesel maupun yang berkaitan dengan perubahan konsumsi energi.

Kebijakan mandatori biodiesel tersebut merupakan kebijakan pembangunan nasional (bukan kebijakan perusahaan) yang merupakan alat mencapai tujuan pembangunan yakni membangun kemandirian ekonomi nasional. Sehingga bukan sekadar bagimana target-target mandatori biodiesel itu dicapai melainkan perlu dilihat apakah cara/instrumen kebijakan implementasinya menyumbang pada tujuan utama tersebut di atas.

Suatu instrumen kebijakan meskipun dapat memberhasilkan target-target mandatori biodiesel namun menciptakan dampak kerugian yang lebih besar dalam perekonomian adalah kontra produktif dengan tujuan utama (worse-off) sehingga instrumen yang demikian bukanlah kebijakan pembangunan yang benar. Sebaliknya instrumen kebijakan implementasi mandatori biodiesel sekalipun menambah beban anggaran atau mengurangi pendapatan pemerintah, namun menciptakan dampak manfaat “kue ekonomi” yang jauh lebih besar, merupakan instrumen kebijakan yang menyumbang pada tujuan utama (better-off).

Sebagaimana amanah konstitusi pemerintah harus memastikan bahwa proses pembangunan termasuk kebijakan dan instrumen yang dikeluarkan, dapat membawa perekonomian kepada kondisi yang lebih baik (better-off) yang sering disebut sebagai pareto improvement. Tulisan ini mendiskusikan bagaimana kebijakan mandatori biodiesel dapat menyumbang pada kemandirian ekonomi nasional. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi pilihan-pilihan instrumen implementasi mandatori biodiesel beserta dampak nettonya.

KONTRIBUSI MANDATORI BIODIESEL

Pengembangan biodiesel sebagai pengganti sebagian solar fosil (seperti mandatori biodiesel) disetiap negara termasuk di Indonesia (UU No. 30/2007) ditujukan pada tiga hal pokok yakni: (1) Membangun ketahanan/kedaulatan energi (energy security) khususnya mengurangi ketergantungan pada energi fosil (fosil fuel), (2) Mitigasi perubahan lingkungan global (global climate change mitigation) melalui pengurangan emisi gas rumah kaca dari konsumsi solar fosil yang merupakan penyumbang terbesar dalam terjadinya pemanasan global (global warming) serta dampaknya pada perubahan iklim global (global climate change), dan (3) Pembangunan pedesaan (rural development) sebagai basis produksi bahan baku biodiesel.

Dengan demikian dilihat dari tujuannya kebijakan mandatori biodiesel sangat potensial bukan hanya menyumbang pada tujuan membangun kemandirian ekonomi nasional tetapi juga menyumbang terwujudnya kemandirian ekonomi nasional bekelanjutan. Berbagai studi juga mengkonfirmasi hal yang sama. Pengembangan industri biodiesel berbasis minyak sawit (FAME) didalam negeri meningkatkan produksi CPO yang kemudian berdampak pada peningkatan ekspor minyak sawit, pertumbuhan ekonomi daerah, peningkatan pendapatan petani pedesaan dan pengurangan kemiskinan pedesaan (Susila, 2004; Joni, et.al. 2012; PASPI, 2014).

Bahkan peningkatan produksi CPO yang dihela oleh peningkatan permintaan akhir CPO seperti industri biodiesel menarik pertumbuhan setidaknya 10 sektor ekonomi utama nasional sehingga menciptakan kesempatan kerja, pendapatan dan nilai tambah yang lebih luas dalam perekonomian (Amzul, 2011; PASPI, 2014). Dengan kata lain, peningkatan produksi biodiesel domestik pada putaran awal dinikmati oleh pelaku langsung perkebunan kelapa sawit pada 190 kabupaten (direct effect). Namun melalui penyesuaian industri manfaat juga di nikmati pelaku ekonomi yang memasok barang dan jasa bagi pekebunan kelapa sawit (indirect effect).

Dan pada akhirnya peningkatan pendapatan pelaku langsung dan pemasok barang/jasa perkebunan sawit tetsebut melalui perubahan konsumsi (consumption inducing effect) manfaatnya juga dinikmati masyarakat yang berada sektor-sektor ekonomi lainnya secara keseluruhan. Dan tentunya peningkatan produksi dan pendapatan tersebut juga akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari pajak baik berupa PPN, PPh perorangan maupun PPh badan.

Kebijakan mandatori biodiesel yang menggantikan sebagian solar impor tentunya otomatis mengurangi impor solar Indonesia sehingga juga mengurangi pengeluran devisa negara untuk impor solar. Besarnya pengurangan volume dan devisa tersebut tergantung pada harga solar dunia dan blending rate biodiesel. Jika mandatori biodiesel B-20 diimplementasikan maka volume impor solar akan berkurang 20 persen atau sekitar 7 juta ton solar.

Berdasarkan harga normal solar dunia volume tersebut setara dengan penghematan devisa sekitar USD 7 milyar. Penghematan devisa sebesar ini sangat signifikan dalam menyehatkan neraca perdagangan (trade balance) yang selama ini selalu defisit akibat impor BBM. Penghematan devisa impor solar dan peningkatan ekspor produk industri minyak sawit akan memasok “darah segar” bagi perekonomian nasional. Keseluruhan dampak subsitusi solar impor dengan biodiesel tersebut akan berkontribusi pada perbaikan triple-deficit (trade-deficit, investmentsaving deficit, fiscal-deficit) perekonomian nasional.

Penggantian solar fosil dengan biodiesel juga berkontribusi pada target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia. Kontributor terbesar dari emisi gas rumah kaca Indonesia adalah dari konsumsi BBM fosil termasuk solar. Penggantian solar dengan biodiesel akan mengurangi emisi dari solar fosil. Besarnya penurunan emisi tersebut, menurut Kementerian Pertanian dapat mencapai 56.7-59.8 persen, sedangkan menurut European Commission Joint Research Centre dapat mencapai 62 persen jika digunakan methane capture.

Dengan demikian, pengembangan biodiesel yang disertai dengan mandatori biodiesel akan berkontribusi pada kemandirian ekonomi nasional berkelanjutan baik melalui jalur pertumbuhan ekonomi, jalur pengurangan kemiskinan, jalur kemandirian energi, jalur subsitusi impor solar, dan jalur pengurangan emisi gas rumah kaca. Tidak ada keraguan akan manfaat ekonomi dari mandatori biodiesel tersebut baik secara teoritis maupun empiris.

PILIHAN INSTRUMEN

Namun apakah kontribusi kebijakan mandatori biodiesel terhadap kemandirian ekonomi yang berkelanjutan tersebut di atas akan otomatis terwujud? Hal ini tergantung bagaimana implementasinya yakni instrumen kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan mandatori biodiesel tersebut.

Berikut ini akan didiskusikan tiga pilihan instrumen pelaksanaan mandatori biodiesel yang dampak netto berbeda dalam perekonomian. Pertama, Pemberian subsidi baik pada konsumen atau produsen biodiesel. Cara ini memang dapat mempercepat implementasi kebijakan mandatori biodiesel. Namun cara ini tidak konsisten dengan makna mandatori itu sendiri; kontra dengan maksud membangun kemandirian energi apalagi kemandirian ekonomi yang berkelanjutan; membebani anggaran pemerintah (memindahkan regim subsidi energi fosil selama ini) dan tidak relevan lagi ditempuh pada era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan dimulai Desember tahun 2015 (dua bulan lagi). Dengan kata lain instrumen subsidi meskipun dapat menjamin terlaksananya target-target blending rate biodiesel namun cara subsidi ini tidak sustainable.

Kedua, Memberikan Subsidi Produsen Biodiesel yang dibiayai dengan menarik Pungutan Ekspor minyak sawit seperti berlangsung saat ini. Cara kedua tersebut jauh lebih buruk dibandingkan cara pertama di atas. Selain tidak sustainable dan terancam tuduhan dumping dari negara importir biodiesel, subsidi yang dibiayai dengan cara memungut pungutan ekspor minyak sawit juga mengeliminasi manfaat dampak dari mandatori biodiesel pada industri minyak sawit.

Sebagaimana telah dibuktikan dalam berbagai studi (Tomich dan Mawardi, 1995; Larson, 1996; Susila, 2004; Obado, dkk 2009; Purba, 2011; Joni, 2012; PASPI, 2015) bahwa kebijakan pajak ekspor minyak sawit (baik bentuk Bea Keluar (BK) maupun pungutan ekspor (PE) mengakibatkan penurunan produksi minyak sawit domestik dan penurunan daya saing ekspor minyak sawit Indonesia. Penurunan ekspor dan produksi minyak sawit melalui mekanisme multiplier ekonomi akan berujung pada penurunan pendapatan petani sawit, penurunan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pengangguran, peningkatan kemiskinan baik pada industri minyak sawit maupun dalam perekonomian secara keseluruhan.

Memang ada pandangan lain bahwa karena pungutan ekspor minyak sawit sebagian besar digunakan untuk subsidi produsen biodiesel maka peningkatan produksi biodiesel akan meningkatkan produksi minyak sawit sehingga dampaknya dapat menetralisir efek pungutan ekspor. Pandangan ini benar jika produksi CPO Indonesia sebagian besar diserap industri biodiesel domestik. Realitasnya, sebagian besar (70 persen) produksi CPO dan turunannya selama ini dipasarkan ke pasar internasional. Oleh karena itu, penurunan manfaat ekonomi (worse-off) yang terjadi akibat pungutan ekspor masih lebih besar dibandingkan dengan peningkatan manfaat ekonomi (better-off) akibat industri biodiesel domestik, sehingga secara neto Indonesia mengalami penurunan manfaat ekonomi (worse-off).

Ketiga, Pemberlakuan Wajib Serap (kebijakan rasio) yang didukung sisitem insentif dan disinsentif. Sebagai kebijakan mandatori (wajib) pemerintah harus konsisten mewajibkan importir solar fosil melaksanakan mandatori biodiesel yang ditetapkan pada harga berapapun solar impor. Jika pemerintah serius untuk mengurangi ketergantungan pada solar fosil impor, maka kebijakan rasio wajib dilakukan yakni importir solar fosil (juga dari produksi domestik) terlebih dahulu menyerap biodiesel (dengan bukti serap) sesuai blending rate yang diwajibkan baru diberikan izin impor dan ijin peredaran.

Untuk mendukung kebijakan rasio tersebut, pemerintah menggunakan instrumen sistem insentif-disinsentif pajak. Sebagaimana di negara lain, pemerintah memberlakukan environmental tax atau pajak eksternalitas negatif (selain PPN) pada konsumsi BBM fosil karena menghasilkan emisi gas rumah kaca yang cukup besar.

Besarnya pajak eksternalitas tersebut disesuaikan dengan harga impor solar fosil dan harga biodiesel dunia. Sebaliknya konsumsi biodiesel diberikan insentif berupa pengurangan pajak karena menghasilkan eksternalitas positif. Semakin besar komponen biodiesel dalam konsumsi BBM (blending rate) semakin berkurang pajak eksternalitas yang dibayar. Sedangkan produsen biodiesel sebagai penghasil eksternalitas positif diberikan insentif pengurangan PPN bahkan dimungkinkan PPN sampai nol persen sehingga harga penyerahan ke Pertamina bisa lebih rendah.

Besaran pajak eksternalitas yang dibebankan pada konsumsi solar fosil didesain sedemikian rupa sehingga ada insentif bagi importir/distributor BBM di dalam negeri untuk menggunakan biodiesel sebanyak mungkin. Demikian juga pengurangan pajak pada produsen biodiesel didisain sedemikian rupa sehingga ada insentif yang memadai untuk memasok biodiesel ke dalam negeri. Cara ketiga tersebut tidak perlu membebani anggaran pemerintah dan ada mekanisme insentif dan disinsentif dalam implementasi mandatori biodiesel.

Penerimaan pemerintah dari PPN produsen biodiesel memang akan berkurang. Namun pengurangan tersebut akan terkompensasi dari pajak eksternalitas solar fosil dan dari kenaikan PPh (perorangan dan badan) yang meningkat akibat implementasi mandatori biodiesel dalam perekonomian. Dalam konteks pembangunan, tidak menjadi soal jika terjadi penurunan pajak demi peningkatan “kue ekonomi” yang lebih besar dalam perekonomian secara keseluruhan.

Dengan demikian dari ketiga pilihan instrumen di atas, yang paling terbaik dan sustainable adalah cara ketiga yakni Pemberlakuan Wajib Serap dengan Sistem Insentif-Disinsentif. Cara ketiga tersebut, memberi manfaat ekonomi yang lebih besar bagi Indonesia. Selain itu, instrumen cara ketiga tersebut juga relevan dalam era MEA yang akan berlaku mulai Desember 2015. Sebaliknya cara pertama dan kedua di atas selain tidak produktif dan tidak sustainable juga menimbulkaan kerumitan dan masalah pada era MEA.

KESIMPULAN

Kebijakan mandatori biodiesel merupakan bagian penting dari upaya membangun kemandirian ekonomi nasional termasuk didalamnya kemandirian energi dan pembangunan pedesaan. Jika kebijakan mandatori biodiesel dimplementasikan secara penuh dan produktif, akan menghasilkan manfaat besar dan luas dalam perekonomian.

Manfaat yang dimaksud antara lain peningkatan pendapatan, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, percepatan pembangunan pedesaan, pengurangan kemiskinan, penyehatan neraca perdagangan, kemandirian energi dan pengurangan emisi gas rumah kaca nasional. Oleh kerena itu kebijakan tersebut perlu diupayakan agar berhasil secara berkelanjutan.

Namun demikian manfaat besar tersebut hanya akan terwujud jika instrumen pelaksanaanya dilakukan secara tepat dan produktif. Agar implementasi kebijakan mandatori biodiesel berhasil secara bekelanjutan memerlukan instrumen pelaksanaan yang berkelanjutan. Instrumen pelaksanaan mandatori biodiesel yang berlangsung saat ini yakni mensubsidi produsen biodiesel yang dibiayai dari pungutan ekspor minyak sawit, selain tidak sustainable juga potensial mengeleminasi manfaat ekonomi yang diciptakan kebijakan mandatori biodiesel itu sendiri, sehingga secara keseluruhan akan merugikan perekonomian (worse-off).

Selain itu, juga tidak relevan lagi dalam era MEA 2015 yang akan berlaku. Bahkan subsidi produsen biodiesel dapat mengancam produsen biodiesel sendiri yakni menghadapi sanksi antidumping di negara-negara tujuan ekspor. Instrumen implementasi mandatori biodiesel yang produktif dan sustainable adalah Pemberlakuan Wajib Serap (kebijakan rasio) yang didukung Sistem Insentif-Disinsentif. Instrumen ini selain tidak membebani anggaran pemerintah juga relevan untuk dilaksanakan pada era MEA 2015 dan tidak menimbulkan ancaman anti-dumping di negara-negara importir biodiesel dari Indonesia.

Source : PASPI

Post View : 1882
EnglishIndonesia