
Yang Diperlukan Sawit Berkelanjutan Bukan Moratorium Sawit
Kebijakan yang diperlukan saat ini adalah mempercepat tata kelola dan sertifikasi sawit berkelanjutan/ISPO. Moratorium Sawit selain tidak menyumbang pada ISPO juga berpotensi menciptakan kegaduhan.
Masyarakat internasional bukan menuntut moratorium sawit Indonesia melainkan sawit berkelanjutan (sustainable palm oil). Oleh karena itu, rencana Pemerintah untuk mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) khususnya Moratorium Sawit bukanlah kebijakan yang tepat. Selain tidak diperlukan, label moratorium sawit dapat dipersepsikan negatif yang memperburuk citra sawit Indonesia di pasar dunia.
Kebijakan membatasi bahkan melarang sementara konversi hutan menjadi kebun sawit telah dikeluarkan Pemerintah sejak tahun 2011. Inpres No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Ijin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut, yang kemudian diperpanjang melalui Inpres tersebut menjadi Inpres No.6 tahun 2013.
Setelah Presiden Jokowi memimpin Pemerintahan, Inpres tersebut diperpanjang lagi melalui Inpres No. 8 tahun 2015 yang masa berlakunya hingga ke tahun 2017. Jadi kebijakan alih fungsi hutan menjadi kebun sawit maupun penggunaan lain sudah ada dan masih berlaku. Akan menjadi over dosis jika dikeluarkan lagi Inpres baru untuk tujuan yang sama. Apalagi dengan label “Moratorium Sawit”, justru kontra produktif dengan industri sawit sebagai industri strategis nasional.
Industri minyak sawit Indonesia saat ini telah berada dijalur yang tepat (on the right track) menuju industri minyak sawit berkelanjutan (Sustainable Palm Oil). Indonesia memiliki tata kelola dan proses sertifikasi perkebunan berkelanjutan. Implementasi sistem tatakelola dan sertifikasi minyak sawit yang berkelanjutan baik ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil), RSPO (Roundtable SustainablePalm Oil), maupun global standard sawit berkelanjutan yang sedang disusun dalam kerjasama MEA, merupakan bagian roadmap industri minyak sawit Indonesia menuju minyak sawit berkelanjutan. Menurut laporan RSPO (2014) dari sekitar 11 juta ton minyak sawit yang telah mengantongi sertifikasi RSPO, 5 juta ton dihasilkan dari perkebunan sawit Indonesia. Sementara itu, menurut laporan Kementerian Pertanian sampai Desember 2015 perusahaan perkebunan sawit yang telah mengantongi sertifikasi ISPO berjumlah 130 perusahaan dan dalam proses sertifikasi sekitar 780 perusahaan
Pencapaian sertifikasi berkelanjutan yang relatif besar dalam waktu singkat telah menunjukkan besarnya komitmen pelaku usaha industri minyak sawit dalam mengelola kebun sawit secara berkelanjutan. Tentu saja masih banyak yang harus diperbaiki terutama dalam aspek tata kelola sawit rakyat. Dan itu sedang dalam proses perbaikan antara lain melalui percepatan implementasi ISPO yang dimotori Kementerian Pertanian. Hasilnya hanya menunggu waktu dan ditargetkan pada tahun 2020 sekitar 70 persen kebun sawit Indonesia sudah mengantongi ISPO.
Dengan segala kekurangan yang sedang dibenahi, sertifikasi berkelanjutan kebun sawit Indonesia masih jauh lebih baik dari pada ribuan komoditi, barang dan jasa yang sampai saat ini belum memiliki tata kelola dan sertifikasi berkelanjutan. Bahkan, sertifikasi minyak berkelanjutan ISPO juga masih jauh lebih baik daripada seluruh komoditi, barang dan jasa yang dihasilkan Uni Eropa, Amerika Serikat dan lainya, yang tidak memiliki tata kelola dan sertifikasi berkelanjutan.
Karena itu, kebijakan yang diperlukan saat ini bukan moratorium sawit melainkan kebijakan yang mempercepat implementasi tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan. Kebijakan yang membantu sawit rakyat untuk meningkatkan produktivitas sawit rakyat baik melalui replanting maupun perbaikan kultur teknis.
Moratorium sawit tidak menyumbang pada percepatan implementasi tata kelola kebun sawit yang berkelanjutan. Bahkan, moratorium sawit justru kontra produktif dengan percepatan ISPO, diplomasi sawit ke berbagai negara yang dilakukan Pemerintah selama ini dan berpotensi menyulut kegaduhan pada 190 kabupaten sentra sawit nasional.
Source : Indonesiakita.or.id