
Melarang Sawit di Lahan Gambut Melanggar UU Sistem Budidaya Tanaman
Pernyataan kepala BRG yang melarang sawit di lahan gambut, selain tidak berdasar juga melanggar kebebasan petani memilih tanaman yang dilindungi Undang-Undang
Baru-baru ini pemerintah melalui kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) mengeluarkan pernyataan melarang menanam tanaman sawit di lahan gambut. Pernyataan pejabat pemerintah tersebut menuai kritikan pedas dari berbagai kalangan khususnya para pakar pertanian.
Jika benar kepala BRG mengeluarkan kebijakan melarang sawit di tanam di lahan gambut, selain akan berhadapan dengan jutaan petani sawit yang memiliki sawit di lahan gambut, juga melanggar Undang-Undang No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dalam pasal 6 UU No. 12/1992 disebutkan bahwa petani bebas memilih jenis tanaman yang akan dibudidayakannya. Dan dalam Undang-Undang No. 39/2014 tentang Perkebunan, tanaman kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang dilindungi Undang-Undang dalam pembudidayaannya. Lagi pula kebun sawit di lahan gambut sudah lebih dari 75 tahun dibudidayakan di Indonesia.
Selain itu, kepala BRG juga jangan melampaui kewenangan dan lingkup tugasnya. Badan Restorasi Gambut bukan dibentuk berdasarkan perintah setingkat Undang-Undang, melainkan melalui Peraturan Presiden yakni lebih rendah dari Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Presiden tentang Badan Restorasi Gambut, BRG hanya memiliki kewenangan untuk koordinasi kebijakan yang terkait dengan restorasi gambut dan tidak berhak menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam petani. Kewenangan budidaya tanaman sesuai dengan perintah Undang-Undang hanya dimiliki oleh Menteri Pertanian (untuk tanaman pertanian) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (untuk tanaman hutan).
Secara pribadi, Nazir Foead boleh-boleh saja anti sawit. Namun sebagai kepala BRG yang merupakan pejabat pemerintah tidak boleh anti sawit apapun alasan dan tujuannya. Apalagi pemerintahan saat ini sudah berulang-ulang menyatakan bahwa industri sawit merupakan industri strategis nasional. Pernyataan kepala BRG tersebut kontradiksi dengan sikap pemerintah yang mengangkatnya.
Sebagai pejabat pemerintah, sebaiknya kepala BRG fokus pada tugas dan tanggung jawab yang diberikan Presiden yakni melakukan koordinasi restorasi lahan gambut yang sampai saat ini masih lebih banyak wacananya dari pada kerja nyatanya. Soal pilihan tanaman yang dibudidayakan petani, biarkan petani memilihnya sendiri dan pembinaannya adalah kewenangan Menteri Pertanian dan Pemerintah Daerah. Petani cukup rasional untuk memilih tanaman yang menguntungkan menurutnya.
Jika ingin mengganti tanaman yang akan dibudidayakan petani di lahan gambut apakah nenas, sorgum atau sagu sebagaimana sering diwacanakan, akan lebih bijaksana dibuat contoh (model farm) usaha tani tanaman yang menguntungkan petani secara nyata. Jika kepala BRG bisa membuktikan bahwa tanaman nenas, sorgum, atau sagu lebih menguntungkan secara nyata bagi petani dibandingkan sawit, petani pasti mengkonversi sawitnya ketanaman tersebut. Petani hanya butuh sumber pendapatan untuk kehidupan keluarganya, agar tidak miskin dan bisa membiayai pendidikan anak-anaknya. Karena itu, tanaman mana yang menurut petani menguntungkan dan legal akan ditanam petani. Pilihan petani tersebut dilindungi Undang-Undang.
Kepala BRG dengan pernyataan-pernyataannya sebagai pejabat pemerintah jangan mempermalukan pemerintah khsususnya Presiden yang dikenal pro-petani dan pro-pertanian. Jangan menjadi bagian dari masalah dan membuat kegaduhan. Jadilah sebagai pejabat pemerintah yang menghadirkan solusi bagi pembangunan.
Source : Indonesiakita.or.id