Skip to content

GAPKI Dukung Percepatan Program BBN, Namun Perlu Kajian Komprehensif

JAKARTA – Meski mendukung penuh percepatan program bahan bakar nabati (BBN) dan pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) ke BBN, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit lndonesia (Gapki) mendesak program ini harus dikaji komprehensif. Program BBN melalui percampuran minyak sawit ke dalam solar; baik B30, B40, maupun B50 harus memperhitungkan aspek teknis, riset, finansial, dan infrastruktur pendukungnya.

Kajian itu sangat penting agar program ini berjalan dengan baik dan berkelanjutan (sustainable). Sebab, program ini melibatkan banyak pihak dan faktor, sehingga harus dipikirkan lebih matang segala konsekuensi dan kebijakan-kebijakan pendukung yang diperlukan. Hal itu diungkapkan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono kepada Investor Daily di Jakarta, Kamis (26/12). Dia dimintai tanggapan tentang percepatan program percampuran minyak sawit ke dalam solar (B40) mulai 2020 dan progrirm B50 (percampuran 50% sawit) mulai 2021, seperti diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo dalam mencanangkan implementasi program B30 di Jakarta, Senin (23/12).

Joko Supriyono menyatakan, industri sawit sangat mendukung percepatan program biodiesel, mulai dari B30 hingga B100. Demikian pula usulan tentang pengalihan subsidi dari BBM ke BBN. Tapi, kata Joko, yang terpenting pemerintah harus jelas dalam menentukan bagaimana arah pengembangan BBN. Apalagi jika sampai program B100, alias 100% merupakan minyak sawit. Apakah bahan baku yang dipakai adalah fatty acid methyl ether (FAME) seperti saat ini atau green diesel.

“Kalau maunya FAME, itu sederhana, tinggal olein dan methanol di estertifikasi,” kata dia.

Kalau yang dimaksud B100 adalah green diesel, kata Joko, teknologinya berbeda, melalui hidrocracking, yang nantinya menghasilkan bahan hakar yang lebih bagus dari bahan bakar fosil.

“Institut Teknologi Bandung sudah punya riset tentang teknologi green diesel, apakah itu akan dikembangkan?” tutur Joko.

Joko menyebut bahwa hal yang harus dipertimhangkan adalah soal subsidi. Dengan asumsi subsidi biodiesel atau BBN sekitar Rp 2,500 per Iiter maka dengan konsumsi B30 tahun depan sebanyak hampir 10 juta kilo liter (kl) subsidi yang dibutuhkan sekitar Rp 25 triliun. Padahal, dana dari pungutan ekspor (PE) sawit yang dialokasikan unluk subsidi BBN setiap tahun hanya sekitar Rp 15 triliun. “Artinya, sisanya harus ditomboki APBN. Apalagi jika harga sawit di pasar internasional tinggi, subsidi makin membengkak,” kata Joko.

Joko juga sangat mendukung jika subsidi untuk BBM dialihkan untuk BBN, seiring program pemerintah menggencarkan biodieseil. Sebelum 2014, subsidi BBM memang sangat tinggi. Namun, sejak 2015 hingga 2020, subsidi BBM dapat ditekan. Tahun ini, subsidi BBM ditargetkan sebesar Rp 32,3 triliun dan tahun depan tinggal 19,9 triliun.

Saat tampil dalam program Hot Economy, Beritasatu News Channel, Kamis (26/12), Joko Supriyono menjelaskan, tidak perlu ada kekhawatiran tentang kurangnya suplai bahan baku untuk biodiesel, meskipun perusahaan juga terus berusaha menggenjot ekspor. Hal ini mengingat tren produksi minyak sawit Indonesia terus meningkat meski tingkat kenaikannya untuk saat ini tidak lagi seperti dahulu.

“Mau untuk domestik maupun ekspor sangat bisa. Jadi di samping kita masih bisa memperkuat pasar domestik dengan program B30, B40, ataupun B50, kita juga masih punya kesempatan untuk ekspor,” jelas Joko Supriyono. Tahun ini saja, ungkap Joko Supriyono, meski cuaca kering produksi sawit minimal masih 50 juta ton. Pada 2020 memang kenaikannya tidak seperti tahun ini, diperkirakan produksi masih bisa 50 juta ton, khusus produksi CPO 46 juta ton. Apabila program B30 jalan tahun depan, maksimal hanya membutuhkan CPO sebanyak 10 juta ton. Sedangkan apabila program B50 jalan, kebutuhan CPO hanya sekitar 15 juta ton.

“Padahal, saat itu (2021) produksi bisa sampai 60 juta ton. Jadi, kita tidak usah khawatir suplai bahan baku (akan kurang), sangat melimpah. Kita juga masih bisa ekspor, ini akan membantu meningkatkan devisa sehingga memperbaiki neraca yang defisit,” jelas Joko.

Joko menjelaskan, keberhasilan percepatan program B30 tergantung banyak faktor. Dukungan produsen sawit terkait bahan baku biodiesel hanyalah satu faktor, ada faktor lain yang mendukung mulai dari infrastruktur, logistik, dan finansial. Semakin besar volume biodiesel yang harus disalurkan maka infrastruktur harus makin banyak yang ditambah oleh Pertamina.

“Selain bahan baku, itu bukan tanah kami, tapi dari informasi dari teman-teman (hilir) soal logistik dan infrastruktur harus ditingkatkan. Juga sisi finansial harus ada perencanaan yang lebih bagus. Kalau harga biodiesel lebih mahal dari solar maka perlu insentif (subsidi) kalau harga biodiesel lebih murah dari solar gak perlu insentif, seperti saat ini. Keberhasilan ini sangat tergantung bagaimana semua instansi bersinergi, mulai dari Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dll,” ujarJoko.

Adapun harga biodiesel selama ini ditetapkan setiap bulan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM melalui Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati (HlP BBN). HIP biodiesel untuk bulan Desember 2019 ditetapkan sebesar Rp 7.914 per liter. Jika harga biosolar bersubsidi saat ini sebesar Rp 5.150 per liter, maka subsidi yang diberikan sekitar Rp 2.764 per liter.

Lebih jauh Joko menuturkan program mandatori biodiesel (B20, B30, B50) sangatlah bagus bagi industri sawit dan ekonomi nasional. Program tersebut bisa menyangga harga sawit di pasar global sehingga dari ekspor sawit bisa membantu memperbaiki neraca dagang. Industri sawit menyumbang devisa hingga US$ 23 miliar pada 2018 dan tahun ini kemungkinan sekitar US$ 117 miliar. Namun yang jauh lebih penting adalah melalui program tersebut pemerintah telah membantu membangun supplychain yang sustainable.

“Di hulu, ada petani sawit yang jumlah produksinya mencapai 40% dari produksi sawit nasional. Semakin tinggi harga sawit maka semakin besar margin yang dinikmati petani yang terefleksi dari membaiknya harga tandan buah segar (TBS). Bagaimana margin yang dinikmati petani tetap sustainable, kuncinya adalah peningkatan produktivitas dari petani supaya produk yand dihasilkan lebih efisien, karena bagaimanapun petani ini adalah ujung tombak industri sawit nasional,” jelas Joko.

Program percampuran sawit ke dalam solar (biodiesel) dimulai pada 2008 ketika campuran minyak sawit baru 2,5%. Khusus program B30 tahun depan, Presiden menyebut bahwa hal itu akan menghemat devisa sekitar Rp 63 triliun. Selama pelaksanaan prosram B30, diperlukan setidaknya 9,6 juta kl FAME pada 2020. Jumlah tersebut naik pesat dibanding kebutuhan FAME tahun 2019 sebesar 6,6 juta kl.

Timing Tepat

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono mengatakan, Gapki mendukung penuh percepatan program pencampuran biodiesel 50% dalam solar (B50) menjadi 2021 seperti yang diinginkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Alasannya, produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia terus membaik dan diproyeksikan bisa menembus di atas 50 juta ton pada 2025.

Impor minyak berkurang maka neraca perdagangan Indonesia akan lebih stabil dan perekonomian tumbuh pesat. “Program B50 bisa menghemat devisa negara, Gapki belum ada hitungan soal berapa potensi penghematan devisa negara jika B50 diterapkan tetapi yang jelas akan lebih besar penghematannya karena impor minyak jauh lebih berkurang,” jelas Mukti.

Sedangkan Sekjen Dewan Minyak Sawit (DMSI) Bambang Aria Wisena mengatakan, produsen sawit siap jika program B50 dipercepat pada 2027 karena produksi sawit mencukupi. Pada 2021, harga minyak dunia tetap baik sehingga program B50 bisa didukung. “Tahun 2021 adalah waktu yang tepat karena harga minyak dunia sedang bagus, sehingga produsen sawit bisa berkontribusi kepada negara dan juga tidak merugikan bisnisnya sendiri. Kami mendukung percepatan B50 dan tidak boleh ditunda-tunda lagi karena akan semakin banyak tantangannya jika ditunda. Program B50 sangat bisa menghemat devisa negara dan berdampak positif bagi kestabilan ekonomi nasional,” jelas Bambang.

Dukungan juga datang dari peneliti senior di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Hasril Hasan Siregar. Dia berpendapat, percepatan program B50 pada 2021 sangat jelas bisa dilakukan, bahkan program itu sebenarnya sudah bisa diterapkan pada semester II-2020. Sebab, hasil kajian dari program tersebut telah membuahkan hasil yang sangat positif. Kajian B50 sudah dimulai PPKS sejak 2018, bahkan saat ini road test dengan mobil Toyota Inova 2018 sudah lebih dari 20 ribu kilometer (km) dengan rute Medan Jakarta (2xpp). “Berbagai kegiatan riset PPKS sangat mendukung (B50), uji di dataran tinggi bersuhu dingin di Simalem, Sumatera Utara, juga sudah dilakukan. Kalaupun diterapkan pada semester II-2020 juga sudah bisa,” ungkap Hasril Hasan.

Selain itu, kata Hasril, dari sisi industri hulu maupun hilir CPO juga sangat mendukung. Dengan produksi CPO pada kisaran 50-55 juta ton per tahun pada periode 2020-2025 maka akan sangat mudah untuk dapat memenuhi program B50 yang hanya membutuhkan 16-18 juta ton CPO setiap tahunnya.

Industri Otomotif Siap

Sementara itu, industri mobil siap mendukung penerapan program B30. Beberapa produk mobil rakitan lokal sudah menjalani tes menggunakan solar dengan campuran biodiesel 30%.

Innova sudah dites menggunakan B30 dan hasilnya cukup bagus. Yang terpenting, pemerintah harus menjaga kualitas solar B30, harus seragam di semua daerah,” ujar Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam di Jakarta, Kamis (26/12).

Dia juga menilai, program B10 yang berjalan tahun ini sudah baik. Namun, kualitas solar kadang baik, kadang tidak alias tidak stabil. Sebab, ini berkaitan dengan seberapa akurat campuran biodiesel di solar.

Bob memastikan, pabrikan mobil tidak perlu mengucurkan investasi baru untuk menghasilkan kendaraan yang bisa memakai B30. Bagi kendaraan yang sudah beroperasi, yang perlu diperhatikan adalah saringan solar. Komponen ini perlu diganti untuk menyesuaikan bahan bakar yang digunakan.

Bob menilai, program B30 perlu dibarengi dengan bioetanol, sehingga efeknya akan masif. Apalagi, pabrikan otomotif nasional sudah memproduksi mesin berbahan bakar etanol. Salah satunya Toyota.

Pasokan etanol, kata dia, bisa didapat dari Thailand, yang memang gencar mendorong penjualan mobil berbahan bakar itu. Sebagai barter, Indonesia bisa memasok 830 ke Thailand. Sebab, sama seperti Indonesia, Thailand juga memiliki program untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil.

“Jadi, skenarionya bisa berupa kerja sama dengan sesama negara Asean. Saya kira ini diperlukan untuk mendiversifikasi bahan bakar kendaraan,” ujar dia.

Dia menambahkan, program biofuel juga perlu dibarengi dengan produksi massal mobil hybrid, yang konsumsi bahan bakarnya lebih hemat 50% dari mesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE). Kombinasi ini akan menghasilkan efek yang dahsyat, berupa penurunan konsumsi BBM.

Dalam pandangan dia, mobil hybrid tidak ribet, seperti mobil listrik. Sebab, teknologinya sudah massal, sehingga lebih efisien. Itu sebabnya, penerapan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) berdasarkan emisi karbon perlu dikawal.

Pemerintah telah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2019 tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Kendaraan Bermotor, pada 15 Oktober 2019, dan diundangkan pada 16 Oktober. Di beleid anyar ini, disebutkan tarif terendah PPnBM untuk mobil adalah 15% dan tertinggi 70% berdasar emisi gas buang yang dihasilkan.

Dia juga mendesak pemerintah membuat peta jalan (road map) energi dan industri otomotif secara bersamaan. Sebab, otomotif sangat erat kaitannya dengan energi, karena mengonsumsi 50% BBM di Indonesia.

“Pada titik ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian ESDM perlu duduk bersama untuk menghasilkan road map baru. Ini tidak bisa dipisahkan,” kata dia.

Road map itu, kata dia, akan menjadi acuan para pemangku kepentingan, mulai dari penyedia bahan bakar hingga industri otomotif. Sebab, mereka membutuhkan kepastian dalam menyusun rencana bisnis. dengan adanya roadmap, kebijakan pemerintah dipastikan konsisten, kendati rezim berubah.

Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi mengatakan, penggunaan kendaraan flexy fuel engine dalam jangka pendek menguntungkan. Apalagi, kendaraan ICE masih dipakai untuk berapa puluh tahun lagi. Mobil flexy engine bisa memakai bahan bakar nabati, seperti etanol hingga biodiesel. (ac/leo/hg)

Source:
Investor Daily | Jumat, 27 Desember 2019
INDUSTRI OTOMOTIF MENDUKUNG IMPLEMENTASI B30
Percepatan BBN Harus Dikaji Komprehensif

Post View : 655
EnglishIndonesia