Fakta Sawit Bukan Tanaman Boros Air: ‘Water Footprint’ Kelapa Sawit

Kelapa sawit tanaman yang boros air adalah persepsi dan stigma negatif yang melekat pada tanaman ini. Setelah dituduh sebagai penyebab deforestasi kini kebun kelapa sawit juga dianggap tidak ramah lingkungan karena dianggap sebagai tanaman yang mengancaman ketersediaan air suatu wilayah hingga berpotensi menyebabkan suatu daerah menjadi gurun.

Untuk mengetahui apakah hoax atau isu tuduhan tersebut terbukti benar atau salah, penting untuk mengkaji berbagai hasil penelitian terkait dengan perbandingan kebutuhan air konsumtif antara kelapa sawit dan tanaman lainnya. Coster (1938) menggunakan indikator tingkat evapotranspirasi untuk menentukan tingkat konsumtif air pada tanaman.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat evapotranspirasi yang menunjukkan kebutuhan air pada kebun kelapa sawit hanya 1,104 mm per tahun. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan bamboo, lamtoro, akasia, sengon, pinus dan karet dengan kisaran kebutuhan air mencapai 1,300-3,000 mm per tahun. Persentase curah hujan yang digunakan oleh Pasaribu et al, (2012) sebagai pendekatan untuk mengetahui kebutuhan air pada tanaman. Penelitian tersebut menunjukkan persentase curah hujan yang digunakan kelapa sawit juga lebih lebih rendah dibandingkan dengan mahoni dan pinus.

Fakta tersebut juga semakin dipertajam dengan hasil penelitian Makonnen & Hoekstra (2010) yang menunjukkan konsumsi air yang dibutuhkan kelapa sawit secara global hanya sebesar 2 persen dan sebagian besar berasal dari green water atau air hujan. Sedangkan tanaman serelia (seperti gandum, padi, jagung) dan kedelai memiliki persentase global water footprint berkisar 5-15 persen. Dikaitkan dengan perannya sebagai sumber energi terbarukan (bioenergi), kelapa sawit juga tergolong tanaman yang paling hemat air. Gerbens-Leenes et al., (2009) menyebutkan kebutuhan air pada kelapa sawit hanya sebesar 75 m3 air untuk menghasilkan satu Giga Joule (GJ) bioenergy.

Makonnen & Hoekstra (2010) juga kembali mengukur kebutuhan air pada kelapa sawit untuk menghasilkan 1 liter biodiesel hanya sebesar 5,166 liter air atau lebih rendah dibandingkan kebutuhan air kelapa, rapeseed, dan kedelai. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kelapa sawit adalah bukan tanaman yang boros air, bahkan kelapa sawit tergolong tanaman yang hemat air dan tidak mengeksploitasi air tanah/air permukaan serta paling efisien dalam menggunakan air untuk menghasilkan energi terbarukan.

PENDAHULUAN

Persepsi dan stigma negatif selalu dialamatkan kepada kelapa sawit, setelah dituduh sebagai penyebab deforestasi kini kebun kelapa sawit juga dianggap tidak ramah lingkungan karena dianggap sebagai tanaman yang rakus dan boros air. Tuduhan yang menyebutkan makin banyak perkebunan kelapa sawit dapat menjadi ancaman bagi ketersediaan air suatu wilayah yang akan menyebabkan suatu daerah menjadi tandus dan gurun. Isu boros air ini juga menjadi salah satu black campaign yang cukup serius yang bertujuan untuk menghambat perkebunan sawit baik dalam pengembangan di daerah maupun pasar domestik dan internasional.

Untuk mengetahui apakah hoax atau isu tuduhan tersebut terbukti benar atau salah, maka penting untuk melihat kebutuhan air konsumtif yang menunjukkan seberapa banyak air yang dibutuhkan oleh suatu tanaman untuk tumbuh dan berproduksi secara normal. Kebutuhan air konsumtif ini dapat dilihat dari tingkat evapotranspirasi yang mencerminkan jumlah air yang diserap tanaman untuk diuapkan melalui evaporasi dan transpirasi. Selain dari tingkat evapotranspirasi, pembuktian isu boros air pada kelapa sawit juga dapat dilihat dari water footprint.

SAWIT ADALAH TANAMAN YANG HEMAT AIR

Penelitian mengenai kebutuhan dan konsumsi air khususnya pada sektor pertanian sudah lama dilakukan oleh para ahli. Konsumsi air global telah meningkat hampir tujuh kali lipat dibandingkan abad yang lalu (Gleick, 2000) dan sektor pertanian merupakan sektor dengan kontribusi terbesar terhadap konsumsi air tawar (freshwater) global sebesar sebesar 85 persen (Hoekstra dan Chapagain, 2007).

Komoditas pertanian secara alamiah memerlukan air untuk tumbuh kembang dan menghasilkan produk yang dapat dikonsumsi baik secara langsung maupun tidak langsung (bahan baku agroindustri). Namun diantara banyaknya komoditas sektor pertanian di dunia, tanaman kelapa sawit selalu dituduh sebagai tanaman yang paling boros dalam penggunaan air dan dianggap dapat mengancam ketersediaan sumberdaya air di suatu wilayah.

Untuk membuktikan tuduhan tersebut, perlu melihat perbandingkan tingkat evapotranspirasi pada beberapa tanaman. Penelitian Coster (1938) menyebutkan bahwa kebutuhan air pada kebun kelapa sawit hanya 1,104 mm per tahun (Gambar 1).

Sementara itu, besarnya kebutuhan air pada tanaman bambu dan lamtoro lebih besar yang mencapai 3,000 mm per tahun menunjukkan bahwa kedua tanaman hutan ini tergolong sebagai tanaman boros air. Kemudian disusul oleh tanaman akasia 2,400 mm per tahun, sengon 2,300 mm per tahun, Pinus dan karet sekitar 1,300 mm per tahun. Selama ini tanaman pinus, akasia dan sengon populer dijadikan tanaman hutan baik dalam program reboisasi maupun hutan tanaman industri. Tanaman kehutanan tersebut ternyata relatif boros menggunakan air. Sementara tanaman kelapa sawit yang selama ini dituduhkan boros air, ternyata jauh lebih hemat dibandingkan tanaman hutan tersebut bahkan kelapa sawit juga lebih hemat air dibandingkan dengan tanaman karet.

Jika dilihat dari porsi curah hujan yang dimanfaatkan oleh kelapa sawit, Pasaribu et a.l, (2012) menemukan bahwa persentase curah hujan yang digunakan oleh kelapa sawit sebesar 40 persen dari curah hujan tahunan. Persentase tersebut lebih kecil bila dibandingkan dengan mahoni sebesar 58 persen dan pinus sebesar 65 persen (Gambar 2).

Makonnen & Hoekstra (2010) melakukan penelitian mengenai perbandingan kebutuhan air pada pada komoditas pertanian dengan mengunakan konsep “water footprint”. Konsep tersebut dapat didefinisikan sebagai total volume air (freshwater) yang digunakan komoditas pertanian untuk memproduksi suatu produk. Secara total, komoditas pertanian dengan persentase global water footprint yang terbesar selama periode tahun 1996- 2005 adalah gandum (15 persen), padi (13 persen) dan jagung (10 persen). Sementara itu, kontribusi kelapa sawit terhadap global water footprint hanya sebesar 2 persen.

Konsep Water Footprint pada penelitian Makonnen & Hoekstra (2010) juga menggunakan tiga definisi sumber air yang berbeda, yaitu: (a) Blue Water yang mengacu pada air permukaan dan air tanah yang dikonsumsi (evaporasi); (b) Green Water yang mengacu pada air hujan yang dikonsumsi; dan (c) Grey Water mengacu pada kebutuhan air yang diperlukan untuk mengasimilasi polutan berdasarkan standar kualitas air eksisting, dimana Grey Water juga dijadikan sebagai indikator dari volume polusi air.

Kebutuhan air global (global water footprint) pada komoditas pertanian yang paling besar (Gambar 3) adalah cengkeh sebesar 61,205 m3/ton, yang terdiri dari green water (98 persen) dan grey water (2 persen). Sementara itu water footprint pada tanaman kelapa sawit hanya sebesar 1,097 m3/ton, yang terdiri dari green water (96 persen) dan grey water (4 persen). Sementara itu, water footprint pada komoditas minyak nabati lainnya seperti rapeseed sebesar 2,270 m3/ton (75 persen green water, 10 persen blue water dan 15 persen grey water) dan kedelai sebesar 2,144 m3/ton (95 persen green water, 3 persen blue water dan 2 persen grey water).

Berdasarkan fakta tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan air pada tanaman kelapa sawit lebih rendah yang berarti sangat efisien dan hemat air. Berdasarkan penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa sumber pemenuhan kebutuhan air pada kelapa sawit sebagian besar bersumber dari green water atau air hujan. Fakta tersebut juga terbukti membantah isu bahwa tanaman sawit mengancam ketersediaan air tanah.

SAWIT TANAMAN SUMBER BIOENERGI YANG HEMAT AIR

Perkembangan sumber energi terbarukan sebagai alternatif energi fosil sebagai upaya mitigasi perubahan iklim sedang gencar dilakukan oleh negara di dunia. Komoditas pertanian juga memiliki potensi bioenergi yang besar yang ramah lingkungan. Dikaitkan dengan fokus kajian ini yakni kebutuhan air pada tanaman, penelitian Gerbens-Leenes et al., (2009) menunjukkan keterkaitan kedua yaitu kebutuhan air pada tanaman penghasil bioenergi.

Tanaman penghasil bioenergi paling rakus air ternyata adalah minyak rapeseed, disusul oleh kelapa, ubi kayu, jagung, kedelai dan tanaman bunga matahari. Untuk menghasilkan setiap GJ bionergi (minyak), tanaman rapeseed memerlukan 184 m3 air. Sementara itu, kelapa yang juga banyak dihasilkan dari Indonesia, Philipina, India, rata-rata memerlukan 126 m3 air.

Ubi kayu (penghasil etanol) rata-rata memerlukan 118 m3 air. Sedangkan kedelai yang merupakan tanaman minyak nabati utama di Amerika Serikat, memerlukan rata-rata 100 m3 air. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kelapa sawit ternyata termasuk paling hemat (setelah tebu) dalam menggunakan air untuk setiap Giga Joule (GJ) bioenergi yang dihasilkan (Tabel 1).

Salah satu sumber energi terbarukan yang banyak diproduksi di berbagai negara adalah biodiesel. Data Oil World menunjukkan bahan baku (feedstock) yang banyak digunakan oleh industri biodiesel dunia adalah minyak sawit (33 persen), minyak kedelai (19 persen) dan minyak rapeseed (19 persen) (PASPI, 2019). Hasil penelitian Makonnen & Hoekstra (2010) juga menyajikan informasi keterkaitan antara kebutuhan air pada berbagai komoditas feedstock biodiesel (Gambar 4).

Dalam penelitian tersebut mengungkapkan untuk menghasilkan 1 liter biodiesel, kebutuhan air yang digunakan oleh kelapa sebagai feedstock sebesar 157,617 liter air. Sementara itu, feedstock lain yang banyak digunakan oleh industri biodiesel dunia seperti bunga matahari, kedelai dan rapeseed juga memiliki kebutuhan air yang relatif tinggi untuk menghasilkan 1 liter biodiesel yakni berturut-turut sebesar 15,841 liter air, 11,397 liter air, dan 6,429 liter air.

Sedangkan kebutuhan air yang digunakan oleh kelapa sawit untuk menghasilkan 1 liter biodiesel hanya sebesar 5,166 liter air. Hal ini menunjukkan fakta bahwa selain dapat menghasilkan energi yang ramah lingkungan, kelapa sawit juga membutuhkan air yang relatif lebih rendah dibandingkan feedstock lain.

Dengan fakta-fakta di atas, jelas bahwa kelapa sawit tenyata relatif hemat air dalam menghasilkan energi dibandingkan feedstock lainnya maupun komoditas pertanian lainnya. Pandangan selama ini yang mengatakan kelapa sawit adalah boros air terbantahkan oleh hasil penelitian tersebut. Tidak hanya hemat air, tanaman kelapa sawit dengan sistem perakarannya yang serabut dan massif membentuk biopori alamiah yang berfungsi menyimpan air dan bahan organik sekaligus meningkatkan kemampuan lahan kebun kelapa sawit dalam menyerap/menahan air (water holding capacity) melalui peningkatan penerusan (infiltrasi) air hujan ke dalam tanah sehingga mengurangi aliran air permukaan (run-off) dan menyimpan cadangan air di dalam tanah.

KESIMPULAN

Tuduhan kelapa sawit sebagai tanaman yang boros air merupakan salah satu black campaign yang marak digunakan untuk menghambat sawit baik dalam pengembangan pembangunan kebun maupun pasar (domesik dan internasional). Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan melihat tingkat evapotranspirasi menunjukkan bahwa kebutuhan air pada kebun kelapa sawit hanya 1.104 mm per tahun atau lebih rendah dibandingkan bamboo, lamtoro, akasia, sengon, pinus dan karet. Persentase curah hujan yang digunakan oleh kelapa sawit juga lebih lebih rendah dibandingkan dengan mahoni dan pinus.

Berdasar global water footprint periode tahun 1996-2005 menunjukkan bahwa persentase konsumsi air yang dibutuhkan kelapa sawit secara global hanya sebesar 2 persen atau sebesar 1,097 m3/ton, sedangkan tanaman serelia (seperti gandum, padi, jagung) dan kedelai memiliki persentase water footprint berkisar 5-15 persen. Jika dilihat dari sumber pemenuhan kebutuhan air pada kelapa sawit menunjukkan sebagian besar bersumber dari green water atau air hujan. Fakta tersebut menunjukkan kelapa sawit adalah tanaman yang hemat air dan tidak mengeksploitasi air tanah/air permukaan.

Kelapa sawit juga terbukti sebagai salah satu sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan juga tergolong tanaman yang paling hemat air untuk menghasilkan energi dibandingkan feedstock lainnya. Kebutuhan air pada kelapa sawit hanya sebesar 75 m3 air untuk menghasilkan satu Giga Joule (GJ) bioenergy. Untuk menghasilkan 1 liter biodiesel, kebutuhan air yang digunakan oleh kelapa sawit hanya sebesar 5,166 liter air atau lebih rendah dibandingkan kebutuhan air kelapa, rapeseed, dan kedelai.

REFERENSI

Coster, C. 1938. Superficial Run-off and Erosion on Java. Tecnona. 31 : 613-728.

Gerbens-Leenes, Hoekstra P. Van der Meer, T. 2009: The Water Footprint of Energy from Biomass: a Quantitative Assessment and Consequences of an Increasing Share of Bioenergy Supply. Ecological Economics 68 (4): 1052- 1060.

Gleick PH. 2000. The Changing Water Paradigm: A look at Twenty First Century Water Resources Development. Water International. 25 (1): 127-138.

Hoekstra AY, Chapagain AK. 2007. Water Footprint of Nation: Water User by People as a Function of Their Consumption Pattern. Water Resources Management. 21 (1): 35-48.

Mekonnen M. M and A.Y. Hoekstra. 2010. The Green, Blue And Grey Water Footprint Of Crops And Derived Crop Products. UNESCO-IHE Institute for Water Education

Pasaribu, H., A. Mulyadi dan S. Tarumun. 2012. Neraca Air di Perkebunan Kelapa Sawit di PPKS Sub Unit Kalianta Kabun Riau. Ejournal.unri.ac.id/960-1908-1- SM.pdf.

PASPI. 2019. Kontribusi Minyak Sawit dalam Industri Biodiesel Global. Monitor. 5(31): 1603-1610

Sumber: palmoilina.asia | Gambar pendukung via iucn.org drone kebun sawit

EnglishIndonesia