Emisi Gas Rumah Kaca Global dan Rasionalitas Gerakan Anti Minyak Sawit

Kontribusi Indonesia dalam emisi GHG global hanya 4 persen. Dari emisi GHG Indonesia kontibusi emisi GHG pertanian Indonesia hanya 5 persen. Sumber emisi GHG pertanian Indonesia terbesar adalah pertanian padi dan kegiatan peternakan (64 persen).

Kontribusi pemanfaatan lahan gambut utuk pertanian/perkebunan hanya menyumbang sekitar 19 persen emisi GHG pertanian Indonesia atau hanya sekitar 1 persen dari emisi GHG Indonesia. Sementara pada tingkat global, emisi GHG global terutama bersumber dari konsumsi bahan bakar fosil (65 persen). Kontribusi pertanian global hanya sekitar 7 persen dari emisi GHG global.

Sekitar 94 persen emisi GHG pertanian global disumbang oleh sektor peternakan, pertanian padi dan penggunaan pupuk. Kontribusi pemanfaatan lahan gambut global hanya sekitar 2 persen. Negara-negara pengemisi GHG terbesar dunia adalah China, EU-28, Amerika Serikat dan India. Keempat negara tersebut menyumbang sekitar 50 persen emisi GHG global.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas menunjukkan bahwa gerakan anti sawit yang selama ini mengatasnamakan pelestarian lingkungan/menurunkan emisi GHG global tidak memiliki rasionalitas. Motif dibalik gerakan tersebut adalah persaingan minyak nabati global dan pengalihan tanggungjawab emisi GHG global dari negara-negara Barat ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Emisi Gas Rumah Kaca Global dan Rasionalitas Gerakan Anti Minyak Sawit

PENDAHULUAN

Dalam sepuluh tahun terakhir industri minyak sawit mengalami serangan kampanye negatif bahkan kampanye hitam terutama datang dari LSM trans nasional dan afliasinya di Indonesia. Selain kampanye negatif/hitam minyak sawit, tekanan pemerintah negara-negara maju kepada pemerintah NKRI juga terasa kuat meskipun dengan cara-cara yang elegan. Moratorium jilid 1, 2 dan 3, sertifikasi sustainability dan berbagai kebijakan yang merugikan minyak sawit nasional diduga kuat adalah atas tekanan negara-negara barat dan LSM.

Tema kampanye negatif/hitam yang dominan diusung para LSM diberbagai media global adalah pengkaitan ekspansi perkebunan kelapa sawit dengan masalah lingkungan hidup global khususnya terkait dengan emisi Gas Rumah Kaca, GHG (Greenhouse Gas). Meski tidak didukung oleh fakta empiris yang kuat (bahkan sering memutar balikkan fakta), para LSM mencitrakan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah sebagai penyumbang signifikan pada peningkatan emisi GHG global.

Paradigma kampanye negatif LSM bahwa “Kebohongan yang diulangulang dan dipublikasikan secara meluas, suatu saat akan diterima sebagai suatu kebenaran” menjadi cara-cara yang populer ditempuh LSM transnasional maupun domestik.  Pencitraan negatif minyak sawit di pasar global melalui media global tersebut juga telah membangun persepsi negatif terhadap minyak sawit pada masyarakat didalam negeri, termasuk sebagian kalangan mahasiswa. Bahkan persepsi yang negatif tersebut juga telah menjangkiti sebagian akademisi dan pejabat publik diberbagai daerah.

Masih terbatasnya upaya pembalikan opini (counter issues) yang dilakukan oleh para ahli minyak sawit/pelaku industri sawit makin mempercepat terbangunnya citra negatif minyak sawit didalam negeri.  Tentu saja, sebagai bagian dari satu ekosistem planet bumi semua pihak sangat sepakat untuk melestarikan lingkungan hidup global, termasuk menurunkan emisi GHG global. Oleh karena itu, gerakan global yang sungguh-sunguh dan benar-benar objektif untuk menurunkan emisi GHG global perlu didukung. Namun cara-cara yang mengkambing hitamkan atau mengalihkan tanggung jawab kepada pihak lain tidak menyelesaikan masalah lingkungan global.

Hal-Hal diatas memunculkan berbagai pertanyaan emperis. Benarkah para LSM transnational beserta afliasinya, negara-negara barat, sungguh-sungguh bermotif mulia untuk menyelamatkan lingkungan hidup global khususnya mengurangi emisi GHG global? Benarkah pertanian (termasuk kelapa sawit didalamnya) penyumbang emisi terbesar di Indonesia, sehingga LSM dan mereka yang menuduh perkebunan kelapa sawit Indonesia sebagai pengemisi terbesar perlu kita dukung? Kajian ini mendiskusikan bukti-bukti empiris yang terkait dengan isu tersebut diatas. Data-data yang digunakan dalam analisis ini bersumber dari badan-badan dunia dan lembaga-lembaga di negara-negara Barat yang diakui kredibilitasnya.

KONTRIBUTOR UTAMA  EMISI GHG GLOBAL

Semua negara dan masyarakat di planet Bumi berada dalam satu ekosistem planet bumi. Oleh karena itu, setiap orang, bangsa dan negara perlu berpikir dan menempatkan diri sebagai bagian dari ekosistem global. Masalah pelestarian lingkungan hidup global merupakan salah satu barang publik global (global public goods) yang manfaat dan biayanya tidak dapat dipisahkan (indivisiable) dari suatu negara ke negara lain. Sebagai satu ekosistem global, emisi GHG dari suatu negara akan mempengaruhi seluruh ekosistem global sehingga tidak relevan mengalihkan tanggung jawab atau beban dari suatu negara ke negara lain.

Emisi GHG global telah meningkat tajam dari sekitar 2.5 Giga ton tahun 1960 menjadi sekitar 48.6 Giga ton tahun 2010 (IEA, 2012).  Emisi GHG global tersebut terdiri atas karbondioksida (76 persen), methane (15 persen), nitrogen oksida (7 persen) dan gas golongan halogen buatan manusia (2 persen). Berdasarkan sumbernya, 65 persen emisi GHG dihasilkan dari konsumsi bahan bakar fosil  seluruh sektor kehidupan dan 35 persen lainya bersumber dari berbagai kegiatan manusia diluar konsumsi bahan bakar fosil termasuk emisi dari land use, land use change dan kehutanan (LULUCF).

Negara-negara yang menghasilkan emisi GHG terbesar adalah China (22 persen), Amerika Serikat (13 persen), negara- negara Eropa/EU-28 (9 persen) dan India (5 persen). Sedangkan kontribusi Indonesia dalam emisi GHG global hanyalah 4 persen. Dengan kata lain hampir 50 persen emisi GHG Global berasal dari 4 negara utama yakni China, Amerika Serikat, EU-28 dan India. Data-data tersebut menegaskan bahwa Indonesia bukanlah kontributor emisi GHG global. Upaya masyarakat global dalam  menurunkan emisi GHG global akan sangat tergantung pada upaya penurunan GHG dari ke empat negara tersebut.

Pangsa Indonesia dalam Total Emisi + LUCF GHG Dunia 2010

Sektor-sektor penyumbang emisi GHG global terbesar adalah sektor industri (29 persen). Kemudian diukuti sektor transportasi dan Land use, land use change, forestry masing masing 15 persen. Kemudian disusul oleh sektor energi supply (13 persen) dan pemukiman/perumahan (11 persen). Sektor pertanian global hanya menyumbang sekitar 13 persen GHG global.

Sumber Emisi GHG Global Menurut Sektor 2010

Dengan fakta tersebut, konsisiten dengan penjelasan sebelumnya bahwa negara-negara industri seperti Amerika Serikat dan EU-28 merupakan kontibutor utama emisi GHG global. kemudian disusul oleh negara-negara berpenduduk besar seperti China dan India. Dengan data-data emisi GHG global tersebut sangat jelas bahwa sumber emisi GHG terbesar adalah konsumsi bahan bakar fosil. Negara-negara pengkonsumsi bahan bakar fosil terbesar dunia yakni China, Amerika Serikat dan E-28 adalah paling bertanggung jawab atas meningkatnya emisi GHG global.

EMISI GHG PERTANIAN GLOBAL

Meskipun kontribusi emisi pertanian global relatif kecil yakni 7 persen dari emisi GHG global, juga menarik untuk dilihat dari mana saja emisi pertanian menghasilkan emisi. Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO, 2013) sumber emisi pertanian global terbesar adalah dari kegiatan yang terkait dengan peternakan dan peman- faatan pupuk kandang (manure) yang mencapai 68 persen dari total emisi pertanian global. Emisi dari peternakan global ini berupa gas methan dan gas nitrogen oksida.

Sumber Emisi Pertanian Global 2010

Emisi dari peternakan global terdiri atas proses fermentasi pada ternak (enteric fermentation) yang mencapai 43 persen. Kemudian disusul oleh kotoran ternak dipadang penggembalaan (manure left on pasture) sebesar 16 persen, penanganan kotoran ternak (manure management) 7 persen dan pemanfaatan pupuk kandang sebagai pupuk (manure applied to soil) sebesar 2 persen.

Selain dari peternakan, sumber emisi yang juga relatif besar adalah dari penggunaan pupuk an organik (synthetic fertilizer) yang mencapai 15 persen. Kemudian, emisi dari kegiatan budidaya padi (rice cultivation) sebesar 11 persen berupa gas methan dan nitrogen oksida. Sedangkan dari sisa-sisa tanaman kontribusinya relatif kecil (3 persen).

Hal yang menarik adalah kontribusi dari pemanfaatan lahan gambut global (cultivated organic soil) kontribusinya hanya 2 persen dari emisi GHG pertanian global. Data FAO tersebut menyangkal opini yang dikembangkan oleh LSM bahwa pemanfaatan lahan gambut menyumbang emisi GHG relatif besar.

Dilihat dari kontribusi pertanian negara-negara dunia menunjukkan bahwa negara penghasil emisi GHG pertanian terbesar adalah negara-negara yang memiliki populasi ternak terbesar dunia. Negara-negara yang dimaksud adalah China (14 persen), India (13 persen), Brazil (8 persen), EU-28 dan Amerika Serikat masing-masing 8 persen. Kontribusi ke 5 negara tersebut mencapai 52 persen dari total GHG pertanian global. Lagi-lagi kontribusi pertanian Indonesia relatif kecil yakni hanya 3 persen.

Dengan fakta-fakta diatas sangat jelas menunjukkan bahwa jika masyarakat dunia ingin mengurangi emisi GHG dari pertanian global maka yang harus dilakukan adalah mengurangi emisi dari sektor peternakan global. Negara-negara yang memiliki populasi ternak terbesar dunia seperti China, India, EU-28, Amerika Serikat dan Brazil perlu melakukan berbagai upaya menurunkan emisi GHG dari sektor peternakannya.

Pangsa Pertanian Indonesia dalam Total Emisi GHG Pertanian Global 2010

Pertanian Indonesia yang didalamnya termasuk perkebunan kelapa sawit yang dituduh sebagai salah satu sumber emisi terbesar pertanian dunia tidak didukung fakta. Kontributor emisi GHG pertanian global terbesar disumbang oleh kelima negara tersebut di atas.

EMISI GHG PERTANIAN INDONESIA

Bila ditelusuri lebih lanjut sumber emisi GHG pertanian Indonesia, data FAO (2013) menunjukkan cerita yang berbeda dengan opini yang berkembang atau yang dibangun LSM di Indonesia selama ini. Sumber emisi GHG pertanian Indonesia terbesar berasal dari pertanian padi (rice cultivation) yakni 39 persen. Kemudian disusul oleh kegiatan peternakan dan pemanfaatan pupuk kandang (manure management, manure applied to soil, manure on pasture) yang mencapai 27 persen.

Kontribusi pertanian padi dan peternakan tersebut mencapai 66 persen dari total GHG pertanian Indonesia. Kontributor berikutnya adalah dari pemanfaatan lahan gambut (cultivated organic soils) mencapai 19 persen dari emisi GHG pertanian Indonesia. Sementara emisi GHG dari penggunaan pupuk an organik (synthetic fertilizer) mencapai 12 persen.

Jika dibandingkan dengan estimasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (2010) yang menyatakan bahwa kontribusi lahan gambut dalam emisi GHG nasional mencapai sekitar 37 persen, jelas tidak masuk akal dibandingkan dengan data FAO tersebut. Data FAO tersebut mengungkapkan bahwa kontri- busi budidaya lahan gambut hanya 19 persen dari GHG pertanian Indonesia atau hanya sekitar 1 (satu) persen dari total emisi GHG Indonesia.

Emisi GHG Pertanian Indonesia 2010

Dengan fakta-fakta empiris tersebut menunjukkan bahwa jika Indonesia ingin mengurangi emisi GHG pertanian, maka pengurangan emisi yang harus dilakukan adalah emisi dari pertanian padi dan dari kegiatan sektor peternakan. Mempersoalkan emisi GHG lahan gambut akibat penggunan lahan gambut untuk pertanian/perkebunan  yang dituduh penyumbang emisi terbesar selama ini tidak didukung fakta emperis.

MOTIF GERAKAN ANTI SAWIT

Selama ini negara-negara Barat baik secara langsung maupun secara tidak langsung (melalui LSM) secara intensif menyerang industri minyak sawit dunia khususnya minyak sawit Indonesia atas nama pelestarian lingkungan hidup. Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia dipersepsikan menyebabkan emisi GHG yang cukup besar.

Gerakan anti sawit sudah dimulai awal tahun 1980-an. Pada awalnya tema yang diusung oleh gerakan tersebut adalah isu kesehatan yakni tropical oil diisukan mengandung kolesterol. Kemudian tahun 1990-an tema yang diusung pengkaitan minyak sawit dengan penyakit kardiovaskular. Tema pengkaitan lingkungan hidup dengan minyak sawit dimulai sejak awal tahun 2000 sampai sekarang.

Berbagai cara dilakukan untuk menekan perkembangan industri minyak sawit Indonesia. Mulai dari kebijakan tarif impor minyak sawit, mengembangkan sertifikasi keberlanjutan, pembentukan opini bahwa minyak sawit merusak lingkungan sampai pada intervensi kebijakan di Indonesia.

Moratorium hutan, peraturan pengelolaan gambut, pengelolaan limbah perkebunan kelapa sawit, dan lain-lain dipengauhi oleh negara-negara Barat melalui LSM di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari sejarah terbitnya Moratorium Hutan dan Lahan Gambut di Indonesia.

Moratorium Hutan dan Lahan Gambut (Murdiyarso, et al, 2011) dilatarbelakangi oleh komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2009 untuk mengurangi emisi GHG sebesar 26 persen (dengan usaha sendiri) dan 41 persen (dengan bantuan internasional) menuju tahun 2020.

Kemudian dilanjutkan dengan LoI Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Norwegia dalam Kerangka REDD+tanggal 26 Mei 2010 dimana pemerintah Norwegia menjanjikan dana USD 1 milyar. Dan setahun kemudian tanggal 20 Mei 2011 diterbitkan Inpres No 10/2011 yang dikenal dengan moratorium hutan dan lahan gambut. Inpres tersebut kemudian diperpanjang lagi tahun 2013 dan tahun 2015.

Benarkah gerakan anti sawit yang menghambat berkembangnya industri minyak sawit di Indonesia memiliki rasionalitas untuk melestarikan lingkungan hidup terutama untuk menurunkan emisi GHG Indonesia? Fakta-fakta emperis yang dikemukan diatas membuktikan bahwa gerakan tersebut tidak memiliki dasar rasionalitas yang memadai. Jika maksudnya benar-benar untuk mengurangi emisi GHG Indonesia maka yang perlu dilakukan adalah bagaimana menurunkan emisi GHG pertanian padi dan peternakan sebagai kontributor terbesar (64 persen) emisi GHG pertanian Indonesia. Atau untuk mengurangi emisi GHG Indonesia, seharusnya LSM dan para ahli pendukungnya mencari cara untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil sebagai penyumbang emisi GHG terbesar Indonesia.

Demikian juga, jika kebijakan penerapan sertifikasi palm oil sustainability dimaksudkan untuk menguarangi emisi GHG pertanian Indonesia, maka seharusnya yang perlu dijadikan prioritas sertifikasi sustainability adalah pertanian padi sawah dan peternakan, bukan perkebunan kelapa sawit.

Bahkan sebagai satu ekosistem global dan dengan kontribusi emisi GHG Indonesia hanya 4 persen dari GHG global, maka untuk mengurangi emisi GHG global yang efektif haruslah tertuju pada upaya mengurangi GHG negara emiter utama dunia seperti China, EU-28, dan Amerika Serikat. Mengapa para LSM global tidak menggunakan energinya untuk menekan negara-negara pengemisi GHG terbesar tersebut? Dan mengapa LSM global lebih tertarik mempersoalkan emisi GHG perkebunan kelapa sawit Indonesia yang kontribusinya sangat kecil dalam emisi GHG global?

Untuk menyelamatkan lingkungan global, konsentrasi GHG pada atmosfer bumi perlu diturunkan. Sebagaimana dikemukakan ekonom Rumania, Georgescu-Roegen (1971) yang perlu dilakukan oleh negara negara maju bukanlah sustainable development saja, tetapi sustainable degrowth. Negara-negara utama pengemisi GHG global harus menurunkan konsumsinya (energi dan pangan) agar emisi GHG berkurang. Sayangnya, mengurangi konsumsi sama artinya dengan menurunkan kesejahteraan masyarakat negara maju. Apakah masyarakat negara-negara maju bersedia hidup dengan kesejahteraan yang lebih rendah?.

Jika rasionalitas gerakan anti sawit bukan upaya menurunkan emisi GHG global, apa motif dibalik gerakan tersebut? Motif gerakan anti sawit yang disponsori Barat tersebut kemungkinannya adalah salah satu atau kombinasi kedua hal berikut. Pertama, Bagian dari strategi persaingan minyak nabati global, dan Kedua, Pengalihan tang- gung jawab peningkatan emisi GHG global dari negara Barat ke negara berkembang termasuk Indonesia.

Motif persaingan minyak nabati global tersebut merupakan kelanjutan dari gerakan sejak tahun 1980-an. Peningkatan produksi minyak sawit global khususnya dari Indonesia telah menggeser dominasi  minyak kedele, minyak bunga matahari dan minyak rape dalam produksi dan konsumsi minyak nabati global (PASPI, 2014, Sipayung dan Purba, 2015). Produsen utama minyak kedele adalah Amerika Serikat sementara produsen minyak bunga matahari dan rape adalah EU- 28.

Penurunan pangsa pasar minyak kedele, rape dan bunga matahari di pasar minyak nabati global, bagi Amerika Serikat dan EU-28 bukan hanya masalah bisnis semata. Penurunan pangsa pasar menyangkut nasib subsidi besar yang diberikan EU-28 dan Amerika Serikat kepada petaninya setiap tahun. Oleh karena itu selain asosiasi produsen minyak nabati kedua negara tersebut, pemerintah kedua negara tersebut juga ikut melindungi petaninya melalui kebijakan pembatasan impor dan menekan produsen minyak nabati pesaing mereka yakni minyak sawit.

Motif pengalihan tanggung jawab peningkatan emisi GHG global dari negara Barat (sebagai pengemisi GHG terbesar) ke negara berkembang, tampaknya masuk akal sebagai konsekwensi ketidakrelaan masyarakat negara-negara Barat menurunkan konsumsi/tingkat kesejahteraanya agar emisi GHG berkurang. Masyarakat negara-negara Barat memiliki pendapatan per kapita lebih dari 10 kali lipat dari pendapatan per kapita Indonesia, mengkonsumsi pangan dan energi per kapita yang juga lebih dari 10 kali lipat dari konsumsi per kapita pangan dan energi Indonesia. Jika ingin menurunkan emisi GHG global, maka konsumsi per kapita energi dan pangan negara-negara Barat tersebut harus diturunkan.

Pada kenyataannya masyarakat negara-negara Barat tidak bersedia menurunkan konsumsinya dan memilih untuk mengalihkan tanggungjawab tersebut kepada negara berkembang termasuk Indonesia.  Dengan memanfaatkan superioritas Barat pada semua bidang, dengan mudah menekan negara-negara berkembang agar menanggung tanggung jawab tersebut. Kemampuan finansial yang dimiliki Barat dengan mudah “men-services” oknum pejabat dan bahkan ahli-ahli di negara berkembang agar negara-negara berkembang bersedia menanggung kesalahan masa lalu Barat yang telah menghabisi hutannya dan emisi GHG mereka sendiri untuk mempertahankan kesejahteraannya.

KESIMPULAN

Emisi GHG global terutama bersumber dari konsumsi bahan bakar fosil (65 persen). Kontribusi pertanian global hanya sekitar 7 persen dari emisi GHG global. Sekitar 94 persen emisi GHG pertanian global disumbang oleh sektor peternakan, pertanian padi dan penggunaan pupuk. Kontribusi pemanfaatan lahan gambut global hanya sekitar 2 persen. Negara-negara pengemisi GHG terbesar dunia adalah China, EU-28, Amerika Serikat dan India. Keempat negara tersebut menyum- bang sekitar 50 persen emisi GHG global.

Kontribusi Indonesia dalam emisi GHG global hanya 4 persen. Dari emisi GHG Indonesia kontribusi emisi GHG pertanian hanya 5 persen. Sumber emisi GHG pertanian Indonesia terbesar adalah pertanian padi dan kegiatan peternakan. Sekitar 64 persen emisi GHG pertanian Indonesia berasal dari pertanian padi dan peternakan. Kontribusi pemanfaatan lahan gambut utuk pertanian/Perkebunan hanya menyumbang sekitar 19 persen emisi GHG pertanian Indonesia atau hanya sekitar 1 persen dari emisi GHG Indonesia.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas menunjukkan bahwa gerakan anti sawit yang selama ini mengatasnamakan pelestarian lingkungan/emisi GHG tidak didukung fakta-fakta emperis. Dibalik gerakan tersebut cenderung memiliki motif persaingan minyak nabati global dan Pengalihan tanggung jawab peningkatan emisi GHG global dari negara-negara Barat ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Oleh
Tim Riset PASPI

Source : PASPI

EnglishIndonesia