
Labelisasi Produk “Palm Oil Free” : Gerakan Boikot Minyak Sawit ?
Gerakan labelisasi Palm Oil Free yang sedang dipaksakan LSM transnasional kepada industri pengguna akhir minyak sawit global merupakan gerakan boikot minyak sawit. Labelisasi Palm Oil Free tersebut akan mengancam masa depan industri minyak sawit global. Oleh karena itu, diperlukan gerakan bersama seluruh asosiasi industri minyak sawit Indonesia dan Malaysia serta jaringannya untuk menghadapinya.
PENDAHULUAN
Menteri Ekologi Perancis, Segolene Royal tanggal 17 Juni 2015 mengajak masyarakat untuk tidak mengkonsumsi produk coklat Nutella. Alasanya produk coklat Nutella mengandung minyak sawit yang disebutnya sebagai penyebab deforestasi dan pemanasan global (global warming). Dengan tidak mengkonsumsi coklat Nutella berarti menyelamatkan dunia (save the planet) dari pemanasan global. Pernyataan Menteri Perancis tersebut seakan menjadi pembenaran sekaligus mendukung gerakan labelisasi produk “Palm Oil Free” yang sedang digerakan para LSM global anti sawit.
Para LSM global dengan jejaringnya pada berbagai negara termasuk di Indonesia, sedang melakukan tekanan pada industri-industri pengguna akhir minyak sawit, untuk mencantumkan label kalimat Palm Oil Free (dengan kode POF) pada pembungkus (package) produknya maupun dalam iklan produk. Gerakan labelisasi Palm Oil Free sudah berlangsung beberapa tahun terakhir ini.
GERAKAN LSM ANTI MINYAK SAWIT
Kampanye anti sawit telah bergulir sejak tahun 1980 ketika Indonesia sedang mengembangkan perkebunan kelapa sawit dengan Pola Perkebunan Inti rakyat. Namun, kampanye anti sawit global makin intensif sejak tahun 2006 ketikaIndonesia berhasil menjadi produsen tebesar minyak sawit dunia dan pada saat yang sama minyak sawit juga menggeser dominasi minyak kedelai dalam pasar minyak nabati dunia.
Tema kampanye anti sawit yang diusung para LSM juga bergeser dari isu gizi/kesehatan (sebelum tahun 2006) ke isu lingkungan setelah tahun 2006. Minyak sawit pun berdasarkan data-data emisi GRK yang diterbitkan FAO 2013 sebagaimana diuraikan dalam Jurnal Monitor PASPI Vol.1 No.10/2015, membuktikan bahwa pengkaitan emisi GRK dengan minyak sawit tidak memiliki dasar, karena industri minyak sawit bahkan Indonesia bukanlah pengemisi GRK terbesar dunia.
Pengemisi GRK terbesar dunia justru adalah negara-negara EU dan USA yang diduga kuat berada dibelakang gerakan LSM global anti sawit. Dengan kata lain, sesungguhnya yang terjadi adalah persaingan global antara minyak sawit dengan minyak nabati lain khususnya minyak kedelai yang menggunakan isu lingkungan agar memperoleh dukungan dari masyarakat global. Jadi LSM global termasuk LSM di Indonesia beserta negara/lembaga pendukungnya, telah melakukan pembohongan publik global tentang siapa pengemisi GRK terbesar dunia.
Selain perubahan tema kampanye anti sawit, gerakan LSM global juga menekan industri minyak sawit dari dua sisi yakni dari sisi produksi (supply side) dan sisi konsumsi (demand side). Dari sisi produksi jejaring LSM melakukan tekanan pada pengambil kebijakan, lembaga perbankan, memanfaatkan isu hak ulayat di sentra kebun sawit, pengkaitan kebakaran hutan dengan kebun sawit dan lain-lain. Sementara dari sisi konsumsi, gerakan LSM anti sawit menekan industri pengguna akhir minyak sawit global dan membangun citra negatif minyak sawit dikalangan masyarakat konsumen.
LABEL PALM OIL FREE
Tekanan lebih intensif LSM global terhadap industri pengguna akhir (end user) minyak sawit antara lain dimulai dengan publikasi provokatif Green Peace yang berjudul “How the Industry Palm Oil is Cooking the Climate” bulan November 2007. Kemudian dilanjutkan dengan berbagai kegiatan untuk menekan industri pengguna akhir minyak sawit. Upaya menekan industri biskuit dilakukan dengan mengusung tema kampanye “Dying for Biscuit” bulan Februari 2008 melaui media BBC. Kemudian untuk menekan Unilever diusung kampanye “Dove is Detroying Rainforest for Palm Oil” bulan April 2008. Kemudian berlanjut menekan perusahaan multinasional Nestle dan Kit Kat bulan Maret 2010. Industri restoran juga tidak luput dari tekanan para LSM global. Misalnya untuk menekan penggunaan minyak sawit pada mie instant LSM mengusung tema kampanye: Ramen is Killing the Planet (sfweekly.com/21 july 2015), Your Instant Ramen Noodles are a Massive Threat to the Environment (salon.com 18 july 2015). Bahkan di Indonesia, Sawit Watch pada bulan Desember 2014 menyelenggarakan festival makanan lokal tanpa minyak sawit.
Melalui kolaborasi antara LSM Eropa dengan LSM anti sawit dari Indonesia berbagai isu negatif tentang perkebunan sawit Indonesia terus dikembangkan. Koloborasi LSM Down To Earth (DTE), Watch Indonesia, Friends of the Earth Europe, Sawit Watch, Walhi, Aman, Misereor, melalui Buletin DTE yang diterbitkan berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia sangat intensif melakukan kampanye hitam tentang perkebunan kelapa sawit termasuk industri hilirnya. Pada bulan Desember 2013 misalnya DTE mempublikasikan “Bahan Bakar Nabati: Dampak Indonesia, Saatnya Perubahan Kebijakan Eropa”.
Tindak lanjut publikasi tersebut dan untuk mempengaruhi konsumen di negara-negara Uni Eropa, juga melakukan tekanan pada parlemen Uni Eropa. Dorongan untuk amandemen peraturan labeling produk di Uni Eropa juga diyakini merupakan hasil tekanan para LSM anti sawit. Uni Eropa mengamandemen regulasi labelisasi produk (EU Food Labelling Regulation) yang dituangkan dalam keputusan parlemen Uni Eropa No. 1169/2011 tanggal 25 Oktober 2011. Dalam regulasi baru tersebut diwajibkan agar seluruh produsen bahan pangan antara lain mencantumkan spesifik dan detail sumber bahan baku.
Untuk produk minyak goreng misalnya selain informasi kandungan gizi juga harus mencantumkan sumber bahan baku seperti minyak sawit, minyak kedelai, minyak bunga matahari. Regulasi baru EU tersebut diberlakukan secara mandatori sejak bulan Desember 2014. Meskipun tidak diatur secara spesifik dalam peraturan labelisasi produk Uni Eropa tersebut, momentum mandatori labelisasi produk EU tampaknya dimanfaatkan oleh para LSM anti sawit untuk makin mengintensifkan gerakan Don’t Buy Palm Oil dengan memberlakukan “mandatory palm oil free” pada industri mutinasional pengguna akhir minyak sawit.
Tekanan terhadap produsen pangan dan non pangan makin intensif dengan memaksa pencantuman label POF (palm oil free) pada setiap produk yang dihasilkan, seakan-akan sebagai bagian dari mandatori labelisasi Uni Eropa. Produk-produk yang disasar (pemaksaan) mencantumkan label “POF” sangat banyak dan meluas serta melibatkan industri multinasional yang beroperasi hampir diseluruh negara. Dalam 2 tahun terakhir setidaknya 224 perusahaan multinasional dengan ribuan produk pangan dan non pangan global yang sedang disasar gerakan Palm Oil Free.
Kelompok produk makanan yang dipaksa ikut “mandatory palm oil free” antara lain produk-produk: margarine/ spread/peanut butter, choclate products, savoury/sweet biscuits, cereal products, instant noodles, snack product, frozen chips/wedger, frozen meals & fish, frozen snack/pies/pizza/pastry, ice cream product dan lainya. Sedangkan kelompok produk non makanan seperti: baby care product, laundry & kitchen product, soaps/shampo/ beauty product/toiletries/cosmetic product, pet product dan lain-lain.
Produk-produk tersebut mudah ditemui dan mengisi sebagian besar supermarket hingga ke mini market di Indonesia. Gerakan LSM yang memaksa labelisasi palm oil free produk-produk tersebut makin terlegitimasi (setidaknya secara politik) dengan pernyataan Menteri Ekologi Perancis, yang mengajak masyarakat untuk tidak mengkonsumsi produk-produk Nutella karena mengandung minyak sawit. Dengan pernyataan pejabat resmi dari Uni Eropa tersebut yang demikian, sulit untuk tidak meyakini bahwa gerakan labelisasi palm oil free juga merupakan gerakan Uni Eropa.
Gerakan labelisasi palm oil free tersebut menggeser isu sustainability vs unsustainablity palm oil yang selama ini menjadi perhatian dan tuntutan masyarakat Eropa, menjadi gerakan boikot minyak sawit. Hal ini setidaknya dibuktikan oleh apa yang dialami produsen Nutella. Perusahaan Ferro (produsen Nutella) telah mengumumkan kebijakan baru sejak Maret 2015 bahwa Ferro hanya menggunakan minyak sawit 100 persen CSPO dan fully traceable. Namun Nutella juga ikut dipaksa agar mencantumkan label palm oil free dan menjadi sasaran tembak kampanye anti sawit Menteri Perancis tersebut.
Labelisasi produk pangan dan non pangan dengan label palm oil free yang demikian jelas bukan lagi gerakan anti sawit biasa. Labelisasi tersebut sudah berada pada ranah boikot minyak sawit bahkan “mengharamkan” penggunan minyak sawit. Dengan pencantuman label palm oil free berarti secara langsung atau tidak langsung melarang penggunaan minyak sawit (setetespun tidak boleh) sebagai bahan baku. Labelisasi palm oil free yang dipaksakan pada industri consumer product yang demikian tidak hanya berlaku untuk pasar Eropa. Produsen consumer product beserta jaringan globalnya yang memasarkan produknya disetiap negara, maka labelisasi palm oil free tersebut cepat atau lambat akan merambat keseluruh dunia dimana produk mereka dipasarkan.
Jejaring LSM transnasional yang berada diseluruh dunia menjadi jejaring monitor global untuk memastikan label palm oil free dilaksanakan. Pelarangan paksa penggunaan minyak sawit oleh industri pangan dan non pangan global secara terstruktur, sistematis dan masif yang demikian, akan mengarah pada skenario “Dying for palm oil” yang sering disuarakan oleh LSM-transnasional beserta pendukungnya. Pasar/penggunaan minyak secara global sekitar 83 persen untuk industri pangan dan 17 persen untuk industri non pangan termasuk biodiesel. Maka, jika labelisasi palm oil free berhasil dipaksa dan diperluas para LSM-transnasional, maka Indonesia dan Malaysia akan kesulitan memasarkan minyak sawitnya.
MEMERLUKAN RESPON BERSAMA
Sejauh ini terhadap gerakan “mengharamkan” penggunaan minyak sawit secara global tersebut, Indonesia dan Malaysia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia belum melakukan langkah-langkah merespon secara signifikan. Padahal dampak gerakan labelisasi palm oil free tersebut sangat serius bagi masa depan industri minyak sawit kedua negara. Terhadap kampanye hitam anti sawit dari Menteri Ekologi Perancis seharusnya Pemerintah Indonesia dan Malaysia mengajukan nota protes diplomat yang sangat keras terhadap pemerintah Perancis. Bahkan Pemerintah Indonesia dan Malaysia perlu mempertanyakan tentang posisi kebijakan terakhir Uni Eropa terkait minyak sawit, agar Indonesia dan Malaysia dapat menentukan sikap lebih lanjut kedepan.
Sudah saatnya dalam kerangka kerjasama MEA, Indonesia dan Malaysia membentuk Badan kerjasama Asean untuk menangani permasalahan dan promosi industri minyak sawit ditingkat global. Sebagai negara berdaulat dan mengingat pembangunan industri minyak sawit adalah kegiatan yang legal di Indonesia, maka sebagai warga negara Indonesia, pemerintah perlu memanggil seluruh LSM anti sawit di Indonesia untuk didengar aspirasinya dan diminta pertanggungjawaban atas kampanye hitam selama ini, yang juga menyudutkan Pemerintah Indonesia. Gerakan labelisasi Palm Oil Free memang gerakan LSM sehingga peran pemerintah terbatas untuk menghadapinya. Peran yang lebih besar untuk menghadapinya adalah dari seluruh asosiasi industri minyak sawit nasional. Seluruh anggota asosiasi spetani awit (APKASINDO, ASPEK PIR), GAPKI, GPPI, GIMNI, AIMNI, APROBI, APOLIN, DMSI, MAKSI, PASPI) beserta jaringannya bersatu dan melakukan gerakan bersama termasuk kemungkinan melakukan retaliasi untuk menghadapi gerakan labelisasi Palm Oil Free.
KESIMPULAN
Perkembangan mutakhir gerakan LSM global anti sawit, telah memasuki ranah boikot penggunaan minyak sawit secara global. Pemaksaan label Palm Oil Free pada produk-produk industri pengguna akhir minyak sawit sama artinya mengharamkan penggunaan minyak sawit. Gerakan labelisasi Palm Oil Free tersebut yang dimotori LSM transnasional termasuk di Indonesia perlu segera di respons cepat oleh pemerintah dan asosiasi industri minyak sawit. Pemerintah dan terutama asosiasi industri minyak sawit Indonesia dan Malaysia jangan menganggap enteng gerakan Palm Oil Free dari LSM transnasional tersebut.
Oleh
Tim Riset PASPI
Source : PASPI