Skip to content

Sertifikasi ISPO Bagi Petani, Sulitkah?

JAKARTA – Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat ME Manurung, mendukung langkah pemerintah dalam melakukan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Menurutnya, langkah itu diambil agar petani bisa lebih diakui. Terutama bagi petani yang kebunnya diklaim masuk kawasan hutan, sekalipun sudah ada UUCK dan turunannya.

“Apkasindo sangat mendukung sertifikasi ISPO, kami hanya ingin memastikan ‘temboknya’ tidak terlampau tinggi, biar bisa dilompati Petani. Justru kami ingin menjadi jembatan antara pemerintah dengan keterbatasan petani menggapai ISPO,” kata Gulat.

Tidak mudah bagi petani mencapai syarat ISPO, cek saja data per akhir tahun 2020, korporasi saja masih 45 persen an, dan Petani baru 0,21 persen, padahal ISPO sudah dimulai sejak 9 tahun lalu.

“Saya memperkirakan sampai tahun 2025 (akhir tahun masa prakondisi Wajib ISPO bagi Pekebun), capaian ISPO Pekebun paling maksimum 7,58 persen (522.000 Ha), ini sudah termasuk asumsi capaian Target PSR 500.000 ha,” ujar Gulat.

Salah satu tantangan adalah legalitas kebun terutama yang berada di kawasan hutan, STDB dan pencatatan kegiatan agronomis.

Dari kajian APKASINDO mengenai persoalan sawit rakyat telah terjadi perubahan masalah sebelum dan sesudah 2008.

Pada 2008, masalah utama petani adalah ketersediaan bibit, pemupukan, tata niaga TBS, panen dan pasca panen, terakhir regulasi pemerintah.  Namun, masalah yang dihadapi petani berubah setelah 2008. Persoalan pertama adalah regulasi berkaitan lahan seperti kawasan hutan, tataniaga TBS, STDB dan infrastruktur.

”Sebagai contoh tataniaga TBS mengenai harga buah. Di lapangan, ada selisih harga yang diterima petani sekira 400-500 rupiah per kilogram dari harga yang ditetapkan oleh Dinas Perkebunan setempat, selisih ini makin besar di Indonesia Bagian Timur bisa mencapai selisih Rp.1.000/kg TBS. Bagaimana mau sustain jika harga TBS pekebun saja selalu diobok-obok,” ujarnya.

Gulat menjelaskan petani peserta PSR (peremajaan sawit rakyat) sangat mudah memenuhi syarat ISPO. Karena semua persyaratan ISPO ada di persyaratan PSR.

“Sesungguhnya yang PSR ini paling siap di-ISPO kan. Tinggal pindah kamar saja,” diibaratkan kandidat doktor lingkungan ini.

Ia meminta supaya pemerintah juga memperhatikan petani (yang non-PSR) yang kesulitan ikut sertifikasi ISPO, roh permasalahan ISPO dikelompok Petani Non-PSR ini. Jumlahnya cukup besar mencapai 6,35 juta hektare. Petani kategori inilah yang tak bisa mencapai ISPO karena terganjal persyaratan khusus masalah legalitas, histori agronomi dan STDB.

Menurut Gulat, kesiapan petani dalam mematuhi mandat Perpres Nomor 44 Tahun 2020 yang mewajibkan sertifikasi ISPO sulit untuk diterapkan jika kita tidak hijrah cara memandang pekebun.

“Pada 2025, atau dalam 46 bulan mendatang, semua pekebun harus sudah mulai mengajukan ISPO, terhitung sejak terbitnya Perpres ISPO Tahun 2020, di mana diberi tenggang 5 tahun untuk Prakondisi Pekebun.  Mungkinkah ISPO ini dapat digapai Pekebun? Berhenti atau lanjut?.

Ia menerangkan, Apkasindo sebagai asosiasi petani berupaya untuk mendorong percepatan sertifikasi ISPO bagi petani kelapa sawit di antaranya melalui menyekolahkan pengurus Apkasindo kursus Auditor ISPO, memetakan tipologi permasalahan petani, mengadakan pertemuan virtual, FGD, dan sosialisasi di medsos, usulan ke pemerintah untuk membantu petani terkait administrasi (STDB dan legalitas), serta upaya advokasi.

Sumber: minews.id | Sertifikasi ISPO Jadi Solusi Petani di Tengah Pandemi | Ilustrasi gambar melalui ecobusiness.com

Post View : 1361
EnglishIndonesia