600 Perak Per Kilo! Petani Sawit Tunda Panen

Harga TBS sawit anjlok hingga Rp 600 per kg. Petani menunda panen karena tak cukup biaya panen. Penurunan harga ironi di tengah meroketnya sawit dunia. Pungutan pemerintah yang mencapai 48 persen turut menekan harga.

MEDAN – Harga tandan buah segar sawit di Sumatera Utara anjlok hingga Rp 600 per kilogram. Petani memilih menunda panen karena tidak cukup membayar biaya panen dan pupuk. Berbagai jenis pungutan pemerintah yang mencapai 48 persen juga turut menekan harga. Penurunan ini menjadi ironi di tengah meroketnya harga sawit dunia.

Rismen Siahaan (56), petani sawit di Desa Transmini, Kecamatan Batahan, Kabupaten Mandailing Natal, mengatakan, sudah sepekan harga sawit menyentuh Rp 600 per kilogram. ”Sejak pemerintah membatasi ekspor, harga sawit terus turun,” kata Rismen.

Sejumlah petani pun menunda panen karena harga tersebut tidak cukup membiayai panen dan operasionalisasi. Apalagi, harga pupuk meningkat dua kali lipat. Menurut Rismen, harga sawit minimal Rp 1.000 per kg agar petani bisa mendapat keuntungan. Untuk biaya panen dan biaya angkut saja, petani harus menyisihkan Rp 300 per kg.

Penurunan harga tersebut, kata Rismen, merata di sejumlah kecamatan di pesisir pantai barat Mandailing Natal, seperti Kecamatan Batahan, Nunukan, dan Kecamatan Natal. Petani di daerah transmigrasi itu rata-rata memiliki lahan dua hektar per keluarga.

Dengan produksi berkisar 2-3 ton per bulan per dua hektar, setiap keluarga rata-rata mendapat Rp 1,2 juta-Rp 1,8 juta per bulan. Pendapatan itu harus dipotong pembelian pupuk dan biaya panen dan angkutan yang mencapai Rp 2 juta per bulan.

Penurunan harga juga terjadi di Kabupaten Pakpak Bharat. Di Desa Sibagindar, Kecamatan Pagindar, harga sawit juga anjlok hingga Rp 600 per kg. Darusmanto Berutu (50) menyebut, harga itu sangat memukul pendapatan petani. ”Di desa kami, hampir semua penduduk menggantungkan hidup pada sawit,” katanya.

Darusmanto mengatakan, produksi sawit di desa yang juga daerah transmigrasi itu juga tidak cukup baik. Dari dua hektar lahan masyarakat, mereka hanya bisa menghasilkan 1,5 ton-2 ton per bulan. Mereka sempat menikmati kenaikan harga sawit hingga Rp 3.000 per kg, tetapi langsung anjlok ketika kebijakan larangan ekspor diberlakukan.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut Alexander Maha mengatakan, harga TBS sawit bahkan ada yang anjlok sampai Rp 400 per kg. Harga itu jauh di bawah harga yang ditetapkan Dinas Perkebunan Sumut, yakni Rp 1.500 per kg.

Penurunan harga, kata Alexander, disebabkan besarnya pungutan pemerintah terhadap ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang tidak masuk akal, total sekitar 48 persen. ”Ada bea keluar, ada kewajiban memenuhi pasar dalam negeri (domestic market obligation/DMO), penentuan harga pasar dalam negeri (domestic price obligation/DPO), pungutan percepatan ekspor (flush out), dan yang lainnya. Ini biaya semua,” kata Alexander.

Alexander pun membandingkan pungutan pemerintah untuk ekspor CPO di Malaysia yang total hanya tujuh persen. Di Malaysia, harga TBS sawit di tingkat petani mencapai Rp 4.000 per kg.

Pembatasan ekspor yang dibuat pemerintah pun membuat terjadi sumbatan ”leher botol” di hilir industri sawit. Tangki-tangki penampungan pabrik kelapa sawit hampir penuh di Sumut. Hal ini membuat TBS di petani tidak terserap dan harganya turun.

Ia pun meminta pemerintah segera mengambil solusi jangka pendek agar petani dan industri sawit bisa terselamatkan. Di tengah harga minyak sawit dunia yang meroket, seharusnya industri sawit mendapat keuntungan, bukan malah terpuruk.

”Pemerintah harus membebaskan atau mengurangi pungutan-pungutan yang ada agar arus ekspor bisa berjalan lancar lagi,” kata Alexander.

Alexander menyebut, berbagai rapat dan pertemuan antara pemerintah dengan perwakilan pengusaha, petani, dan pemangku kepentingan lainnya sudah berulang kali dilakukan. Namun, kebijakan-kebijakan pemerintah tentang pungutan ekspor CPO belum berubah.

Sumber: Kompas.id | Ilustrasi gambar melalui tempo.co

EnglishIndonesia