
Kebun Sawit Hijaukan Kembali Pulau Borneo
Pulau Kalimantan pada masa dan pasca era logging menderita pengurasan sumber daya (capital drain) dan hasil logging tidak ada yang kembali (re-investasi) ke Pulau Kalimantan. Akibatnya, eks HPH Kalimantan yang tersisa adalah puing-puing barak logging, jalan logging, eks HPH yang berubah menjadi semak belukar tanpa penghuni, daerah terbelakang, miskin, kering, dan daerah mati, yang dalam istilah ilmu ekonomi regional disebut sebagai “Kota Hantu” (ghost town).
Kehadiran perkebunan kelapa sawit di Kalimantan justru menghijaukan kembali sosial, ekonomi dan ekologi wilayah yang rusak akibat logging pada masa sebelumnya. Berkembangnya kebun-kebun sawit, menarik perkembangan sektor-sektor ekonomi lain yang lebih luas dan cepat menciptakan multimanfaat sosial, ekonomi, dan ekologi serta memacu pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di Kalimantan. Pusat pusat pertumbuhan ekonomi baru yang berkembang berbasis perkebunan kelapa sawit kini banyak berkembang di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat.
PENDAHULUAN
Pulau Kalimantan (sekarang menjadi lima provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan) yang disebut sebagai Pulau Borneo, merupakan salah satu daerah yang sering menjadi pusat perhatian masyarakat dan dunia. Menjadi pusat perhatian karena Pulau Borneo itu salah satu daerah dimana terdapat hutan lindung/konservasi tempat satwasatwa liar yang di lindungi termasuk Orang Utan.
Pulau Borneo ini sesungguhnya telah lama menarik perhatian masyarakat khususnya di Indonesia, karena ekonomi logging (HPH) terbesar pada masa Orde Baru ada disana. Konglomerat-konglomerat HPH pada masa Orde Baru muncul dari bumi Borneo. Habisnya hutan-hutan di daerah tersebut sebelum tahun 2000 yang hasilnya tidak direinvestasikan disana membuat Borneo menjadi daerah terdegradasi cukup lama baik secara ekonomi, sosial dan ekologi.
Makin menarik lagi karena Kalimantan juga merupakan daerah pertumbuhan baru perkebunan kelapa sawit sehingga sering dipersepsikan bahwa ekspansi kebun sawit akan mengancam kehidupan satwa liar atau hutan lindung secara keseluruhan. Bahkan banyak yang telah melupakan sejarah masa logging Borneo dan menimpakan kerusakan hutan kepada perkebunan sawit yang seakan-akan kebun sawit dibangun dengan menebangi hutan primer secara langsung.
Benarkah demikian? Untuk menjawab hal tersebut studi ini melakukan penelusuran kebelakang sejarah logging dan konversi eks logging menjadi areal non hutan. Sejarah logging tersebut dibandingkan dengan sejarah perkembangan sawit di Borneo. Data-data yang digunakan bersumber dari data Statistik Kehutanan, Statistik Perkebunan baik yang tersedia di Kalimantan maupun data nasional. Selain itu, juga digunakan berbagai studi masa era logging yang dilakukan oleh berbagai lembaga maupun para peneliti.
ERA LOGGING DAN DEGRADASI WILAYAH
Penebangan hutan (logging) yang kemudian dilanjutkan dengan konversi eks logging menjadi penggunaan non hutan, merupakan fenomena normal yang terjadi disetiap negara pada awal pembangunannya. Dengan makin meningkatnya kebutuhan lahan bagi pembangunan dan pemukiman maka konversi hutan menjadi non hutan sampai batas tertentu merupakan pilihan rasional. Tentu saja, periode logging dan konversi berbeda-beda di setiap negara tergantung masa awal pembangunannya.
Studi Matthew (1983) mengungkap bahwa dalam periode 1600-1980 konversi hutan menjadi non hutan mencapai 701 juta hektar di seluruh dunia dan sekitar 653 juta hektar atau 93 persen terjadi di kawasan sub tropis khususnya kawasan Eropa dan Amerika Utara. Kemudian menurut studi European Commission (2013) luas konversi hutan menjadi non hutan dunia selama 1990-2008 mencapai 239 juta hektar dimana sekitar 64 persen terjadi di Amerika Selatan dan Afrika.

Sebagaimana fenomena di setiap negara tersebut, fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia. Orde Baru yang merupakan awal pembangunan di Indonesia logging dan konversi hutan terjadi secara massif. Bagaimana sejarah logging dan konversi di Indonesia termasuk di Kalimantan dapat ditelusuri pada banyak publikasi antara lain Hidayat, (2008, 2015); Kartodihardjo dan Supriono, (2000); Forest Watch Indonesia (2001); Gunarso, et al 2012.
Untuk Kalimantan, sejarah logging dan konversi hutan dapat diinformasikan sebagaimana Gambar 1. Selama periode 1950-1985 konversi hutan menjadi non hutan mencapai 13,1 juta hektar. Kemudian tahun 1985-2000 luas konversi hutan secara akumulatif mencapai 20,2 juta hektar. Sedangkan dalam periode 2000-2014 akumulasi konversi hutan mencapai 27,4 juta hektar.
Meskipun logging dan konversi hutan menjadi non hutan terjadi, Kalimantan masih tergolong relatif baik. Jika di Eropa dan Amerika Utara pada masa logging menghabiskan hampir semua hutan primer termasuk penghuninya (biodiversity), Indonesia termasuk Kalimantan masih lebih baik. Di Pulau Kalimantan misalnya, luas hutan (benar benar berhutan) masih sekitar 25,6 juta hektar atau sekitar 48,2 persen dari luas daratan Pulau Kalimantan.
Hutan tersebut terdiri atas hutan lindung/konservasi (untuk rumahnya biodiversity termasuk Orang Utan), hutan produksi, hutan produksi terbatas maupun hutan produksi dapat dikonversi. Luas hutan tersebut masih di atas dari syarat luas minimum hutan yang ditentukan UU No. 41/1999 Kehutanan maupun UU No. 26/2007 Penata ruang yakni minimum 30 persen daratan.
Konversi hutan eks logging menjadi non hutan sebelum tahun 2000 sebagian diperuntukkan untuk areal transmigrasi, kebutuhan pemukiman namun sebagian besar dibiarkan lahan terlantar (degraded land) atau sebagai lahan cadangan (land bank) yang pupuler pada masa Orde Baru, sehingga sering terbakar (Kartodihardjo dan Supriono, 2000).
Hal yang menarik dari sejarah logging dan konversi hutan di Kalimantan tersebut adalah perkebunan kelapa sawit di Kalimantan baru berkembang dikemudian hari. Sampai tahun 1985, luas kebun sawit di Kalimantan baru mencapai 42 ribu hektar. Padahal konversi hutan telah terjadi seluas 13,1 juta hektar. Kemudian luas kebun sawit sampai tahun 2000 baru mencapai sekitar 844 ribu hektar padahal sampai tahun 2000 luas konversi hutan di Pulau Kalimantan telah mencapai 20,2 juta hektar.
Sampai dengan tahun 2014, luas kebun sawit di Kalimantan baru mencapai 3,4 juta hektar atau sementara luas areal konversi hutan menjadi non hutan di Pulau Kalimantan telah mencapai 27,4 juta hektar. Beradasarkan data tersebut tampak jelas bahwa konversi hutan menjadi non hutan di Kalimantan sebagian besar yakni 88 persen digunakan untuk penggunaan sektor lain, dan hanya 12 persen yang digunakan untuk kebun sawit.
Dengan kata lain, kebun sawit bukanlah pemicu (driver) dan pengguna utama konversi hutan menjadi non hutan (deforestasi) di Pulau Kalimantan. Dengan menelusuri asal-usul lahan kebun sawit di Indonesia, menyimpulkan ekspansi kebun sawit bukan pemicu deforestasi di Indonesia. Berdasarkan data Citra Land Set (Gunarso, dkk. 2012) dan penelitian lainnya diperoleh berapa besar lahan sawit hasil deforestasi maupun dari reforestasi.
Berdasarkan Gambar 2, menunjukkan bahwa lahan sawit Kalimantan berasal dari lahan terlantar sebesar 49 persen, konversi lahan pertanian 7 persen, degraded land forest 44 persen dan undisturbed forest 0,1 persen. Deforestasi (dari konversi hutan produksi tak terganggu) hanya sekitar 0,1 persen, sedangkan dari reforestasi (dari konversi lahan pertanian, lahan terlantar, degraded forest) sebesar 99 persen.
Jika hutan produksi terganggun juga dikategorikan sebagai deforestasi, maka kebun sawit Kalimantan yang berasal dari deforestasi adalah 44,1 persen dan sisanya yakni 55,9 persen berupa reforestasi. Sehingga secara netto (reforestasi – deforestasi) perluasan kebun sawit di Kalimantan adalah reforestasi (meningkatkan stok karbon wilayah).
Dengan demikian perkebunan kelapa sawit di Kalimantan selain bukan pemicu utama (driver) deforestasi juga merupakan suatu reforestasi. Tudingan bahwa ekspansi kebun sawit merupakan pemicu deforestasi utama tidak didukung data. Kebun sawit justru menghijaukan kembali ekologi dan ekonomi wilayah yang rusak akibat logging pada masa sebelumnya.
Bagi masyarakat yang berada di Pulau Kalimantan atau mereka yang pernah mengunjungi Kalimantan sebelum tahun 2000, dapat merasakan dan mengalami betapa menyedihkan kondisi ekonomi masyarakat di Pulau Kalimantan. Sebelum tahun 2000 khususnya dalam periode 1960-1985, pembalakan hutan (logging) Kalimantan berlangsung sangat intensif oleh pemilik HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang umumya adalah datang dari luar Kalimantan.

Jutaan ton kayu bulat setiap tahun keluar dari Kalimantan baik langsung di ekspor maupun digunakan di Pulau Jawa. Kegiatan pembalakan hutan yang tak terkontrol waktu itu, menghabiskan sekitar 18,5 juta hektar hutan dan melahirkan raja-raja kayu yang dikenal sebelum tahun 2000. Kegiatan logging masih terus berjalan setelah tahun 2000 meskipun tidak se-intensif masa sebelumnya. Sehingga sampai tahun 2013 luas konversi eks HPH menjadi lahan non hutan telah mencapai sekitar 27 juta hektar. Hasil penebangan kayu oleh HPH semua dibawa keluar dari Kalimantan ke daerah lain khususnya Pulau Jawa.
Pulau Kalimantan pada masa Orde Baru menderita pengurasan sumber daya (capital drain) dan hasil logging tidak ada yang kembali (re-investasi) ke Pulau Kalimantan. Akibatnya, eks HPH Kalimantan menjadi daerah terbelakang, miskin, kering, dan daerah mati. Yang tersisa adalah puing-puing barak logging, jalan logging, eks HPH yang berubah menjadi semak belukar tanpa penghuni. Dalam istilah ilmu ekonomi regional disebut sebagai “Kota Hantu” (ghost town). Dan untuk menutup jejak pembalakan hutan tersebut pemerintah Orde Baru waktu itu mengalihfungsikan (konversi) menjadi kawasan non hutan berupa lahan terlantar dan sebagian diperuntukkan daerah transmigrasi (Gambar 3).

KEBUN SAWIT HIJAUKAN KEMBALI BORNEO
Setelah Orde Baru tumbang dan beralih ke Era Reformasi tahun 2000, melihat luasnya lahan terlantar eks HPH tersebut para Bupati dan Gubernur di Pulau Kalimantan secara proaktif mempomosikan dan mengundang investor untuk memanfaatkan lahan eks HPH yang terlantar itu untuk sektor-sektor pembangunan termasuk sektor perkebunan. Salah satu sektor yang berkembang cepat memanfaatkan lahan terlantar tersebut adalah perkebunan sawit.
Harga minyak sawit dunia yang mulai menguntungkan pada awal era reformasi membuat investasi kebun sawit menarik bagi Investor. Hal ini tercermin dari peningkatan luas kebun sawit Kalimantan dari sekitar 844 ribu hektar tahun 2000 menjadi 3,6 juta hektar tahun 2015 baik sawit rakyat, sawit swasta maupun sawit BUMN. Kebun sawit sampai saat ini memang baru mampu memanfaatkan sekitar 13 persen dari sekitar 27 juta hektar lahan terlantar eks HPH di Kalimantan.
Namun berbeda dengan masa logging yang menebangi pohon pengembangan kebun sawit justru menanam pohon (Gambar 4). Jika logging menguras sumber daya dan membawa keluar Kalimantan, kebun sawit justru memasukkan sumber daya berupa investasi baru ke Kalimantan.

Masuknya investasi kebun sawit menambah “darah segar” bagi perekonomian Kalimantan sehingga secara evolusioner menggerakkan roda ekonomi daerah Kalimantan. Berkembangnya kebun-kebun sawit, menarik perkembangan sektor-sektor ekonomi lain yang lebih luas dan cepat di Kalimantan serta menciptakan multimanfaat sosial, ekonomi, dan ekologi bagi Kalimantan (Gambar 5). Tidak hanya ekonomi berkembang, lahan-lahan terlantar berubah menjadi hijau kebun-kebun sawit. Karbondioksida yang dilepas pada masa logging diserap kembali oleh kebun-kebun sawit dan kemudian dirubah menjadi oksigen, minyak sawit dan biomas.
Hutan sebagai paru paru ekosistem yang hilang oleh logging, kini digantikan paru-paru baru yang lebih baik yakni kebunkebun sawit. Kebun-kebun sawit telah dan sedang menghijaukan kembali ekonomi dan ekosistem Kalimantan. Proses penghijauan tersebut masih berlangsung secara berkelanjutan ke depan. Wujudnya, Kota-kota di Provinsi dan Kabupaten makin berkembang pesat. Kota-Kota kecamatan yang sebelumnya hanya seperti kampung berubah menjadi Kota-kota Kabupaten.
Barak-barak logging yang dulu kumuh berubah menjadi sentra-sentra pertumbuhan ekonomi baru di pedalaman Kalimantan. Pusat pusat pertumbuhan ekonomi baru yang berkembang berbasis perkebunan kelapa sawit Kalimantan Tengah seperti Sampit, Kuala Pembuang, Pangkalan Bun, Kasongan dan lainnya; di Kalimantan Timur seperti Sangatta, Tenggarong, Tana Pase, Tanjung Redeb, Nunukan, Sendawar dan lainnya; Kalimantan Selatan seperti Batulicin, Kotabaru, Pelaihari dan lainnya; Kalimantan Barat seperti Landak (Ngabang), Ketapang (Tumbang Titi), Sanggau, Sintang (Tebelian), Sekadau dan lainnya.
Pendek kata kebun sawit bersama-sama dengan sektor ekonomi lainnya yang berbasis pada sumber daya terbarui (renewable resources), menghijaukan kembali Pulau Kalimantan pasca logging. Menghijaukan secara sosial, menghijaukan secara ekonomi dan menghijaukan secara ekologis.

KESIMPULAN
Konversi hutan menjadi non hutan di Kalimantan sebagian besar yakni 88 persen digunakan untuk penggunaan sektor lain, dan hanya 12 persen yang digunakan untuk kebun sawit. Dengan kata lain, kebun sawit bukanlah pemicu (driver) dan pengguna utama konversi hutan menjadi non hutan (deforestasi) di Pulau Kalimantan. Pulau Kalimantan pada masa dan pasca era logging menderita pengurasan sumber daya (capital drain) dan hasil logging tidak ada yang kembali (re-investasi) ke Pulau Kalimantan.
Akibatnya, eks HPH Kalimantan yang tersisa adalah puing-puing barak logging, jalan logging, eks HPH yang berubah menjadi semak belukar tanpa penghuni, daerah terbelakang, miskin, kering, dan daerah mati, yang dalam istilah ilmu ekonomi regional disebut sebagai “Kota Hantu” (ghost town).
Kehadiran perkebunan kelapa sawit di Kalimantan justru menghijaukan kembali sosial, ekonomi dan ekologi wilayah yang rusak akibat logging pada masa sebelumnya. Masuknya investasi kebun sawit menambah “darah segar” bagi perekonomian Kalimantan sehingga secara evolusioner menggerakkan roda ekonomi daerah Kalimantan. Berkembangnya kebun-kebun sawit, menarik perkembangan sektor-sektor ekonomi lain yang lebih luas dan cepat menciptakan multimanfaat sosial, ekonomi, dan ekologi serta memacu pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di Kalimantan.
Pusat pusat pertumbuhan ekonomi baru yang berkembang berbasis perkebunan kelapa sawit Kalimantan Tengah seperti Sampit, Kuala Pembuang, Pangkalan Bun, Kasongan dan lainnya; di Kalimantan Timur seperti Sangatta, Tenggarong, Tana Pase, Tanjung Redeb, Nunukan, Sendawar dan lainnya; Kalimantan Selatan seperti Batulicin, Kotabaru, Pelaihari dan lainnya; Kalimantan Barat seperti Landak (Ngabang), Ketapang (Tumbang Titi), Sanggau, Sintang (Tebelian), Sekadau dan lainnya.
Source : PASPI MONITOR