
Resolusi Sawit Oleh Parlemen Eropa Dalam Perspektif Perang Minyak Nabati Global
Untuk mempercepat pembangunan kawasan pedesaan tertinggal di Indonesia diperlukan dorongan kuat (big-push) untuk melakukan perubahan besar. Pengalaman pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dapat dijadikan sebagai salah satu emperical evidence.
Pada awal pembangunan perkebunan kelapa sawit, investasi (infrastruktur jalan/jembatan, penanaman/pemeliharaan TBM, pembangunan perumahan, perkantoran, fasilitas sosial/umum) merupakan bentuk big-push gelombang pertama di kawasan pedesaan.
Gelombang kedua big-push terjadi pada masa produksi CPO melalui keterkaitan multiplier (output, nilai tambah, pendapatan maupun tenaga kerja) yang kuat, dengan perekonomian lokal secara konvergensi membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan.
PENDAHULUAN
Pembangunan daerah pedesaan (rural development) merupakan salah satu fokus kebijakan pembangunan di Indonesia, mengingat: (1) sebagian besar penduduk Indonesia yakni 58 persen (tahun 2000) dan 50 persen (tahun 2012) berada di kawasan pedesaan yang perlu ditingkatkan kesejahteraannya; (2) angkatan kerja terbesar berada dan bekerja dikawasan pedesaan/pertanian; (3) jumlah penduduk miskin Indonesia sebagian besar berada dikawasan pedesaan/pertanian.
Oleh karena itu, pembangunan pedesaan di Indonesia hendaklah fokus pada peningkatan pendapatan di pedesaan (prorural income) dan pengurangan kemiskinan (pro-poor). Dalam konteks Indonesia selama ini terdapat beberapa tipologi kawasan pedesaan tertinggal yang menjadi kantongkantong kemiskinan dan keterbelakangan. Tiga diantaranya adalah : Pertama, kawasan pedesaan yang secara alamiah tertinggal dan terisolasi akibat jangkauan infrastruktur transportasi yang masih terbatas.
Kedua, kawasan pedesaan eks logging yakni kawasan yang tertinggal setelah era ekonomi logging berakhir. Daerah pulau Kalimantan, Riau, Sumatera Selatan adalah contoh tipologi tersebut dan ketiga, kawasan pedesaan yang menjadi daerah miskin (ghost town) pasca berakhirnya aktivitas ekonomi berbasis tambang/migas seperti Bangka Belitung pasca tambang timah.
Karakteristik daerah tertinggal tersebut secara ekonomi adalah tidak berkembangnya unit-unit usaha (firms) di daerah bersangkutan yang mampu mendayagunakan sumberdaya yang ada menjadi sumber ekonomi. Sebagaimana Say’s Law, pendapatan hanya tercipta melalui proses produksi barang dan atau jasa dalam perekonomian. Tentu saja di daerah terbelakang tersebut sudah berkembang usaha tradisional yang dilakukan oleh penduduk setempat seperti pertanian rakyat.
Namun usaha-usaha yang relatif kecil tersebut terlalu kecil untuk menggerakan roda ekonomi kawasan tertinggal keluar dari ketertinggalannya. Barangkali dalam konteks ini benar apa yang dikatakan oleh Paul Rosenstein-Rodan dengan big-push theory-nya. Meskipun teori tersebut tidak ditujukan (bahkan mengabaikan) pada sektor pertanian, bigpush theory tersebut berpandangan bahwa untuk melakukan pembangunan dengan dampak besar (industrialisasi) diperlukan dorongan kuat (big-push).
Upaya-upaya (investasi, subsidi, dan lain-lain) yang kecil-kecil (“bit by bit”) hanya seperti menyiram setetes air di padang gurun, tidak akan membawa perubahan yang berarti. Pembangunan perkebunan kelapa sawit khususnya sejak tahun 1980 tampaknya mengadopsi pandangan bigpush theory tersebut. Investasi yang cukup besar dan luas untuk ukuran kawasan pedesaan pada awal pembangunan (gestation period) maupun pada masa produksi minyak sawit merupakan energi yang relatif kuat menarik perkembangan sektor-sektor di kawasan pedesaan.
STRATEGI DORONGAN KUAT
Arus utama (mainstream) pembangunan pedesaan Indonesia umumnya menganut paradigma teori pusat pertumbuhan (growth pole strategy) dari Francois Perroux (1949) yang menetapkan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan dan kawasan pedesaan sekitarnya sebagai dampak (hinter land). Dengan berkembangnya kawasan perkotaan diyakini akan menarik perkembangan pedesaan melalui hubungan input-output.
Paradigma pembangunan yang demikian pada kenyataannya memang menciptakan pertumbuhan perkotaan namun kawasan pedesaan menjadi terbelakang akibat menderita penghisapan modal (capital drain) dan pelarian sumber daya manusia bermutu (brain drain) melalui proses urbanisasi.
Teori alternatif pembangunan pedesaan adalah teori dorongan kuat (bigpush strategy) yang pertama kali dikembangkan oleh ekonom Paul Rosenstein-Rodan (1943). Menurut pandangan ini pembangunan pedesaan tidak akan berhasil jika hanya dilakukan secara investasi kecil-kecilan (“bit by bit”). Pembangunan pedesaan akan berhasil secara signifikan jika dilakukan dengan cara investasi relatif besar (big-push) untuk ukuran perekonomian daerah.
Tampaknya pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia lebih cenderung mengadopsi pandangan big-push strategy daripada growth pole strategy. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan skala yang relatif luas, investasi yang relatif besar dan partisipasi yang relatif luas di kawasan pedesaan lebih berakar pada paradigma pembangunan pedesaan dorongan kuat tersebut.
Sejak awalnya di tahun 1980-an, pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia baik sebagai bagian dari pembangunan pertanian maupun pengembangan daerah (transmigrasi), ditujukan untuk membuka dan membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan. Daerah terbelakang, pinggiran, pelosok, terisolir, hinter land dikembangkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam konteks pembangunan kawasan pedesaan merupakan kegiatan ekonomi pioner. Daerah pedesaan yang umumnya masih kosong, terisolasi dan terbelakang yang ditetapkan pemerintah untuk kawasan pembangunan perkebunan kelapa sawit, dikembangkan oleh perusahaan negara/BUMN (PN) dan atau perusahaan swasta (PS) sebagai inti dan masyarakat lokal (PRP) sebagai plasma dalam suatu kerjasama PIR atau bentuk kemitraan yang lain.
Mengingat daerah yang bersangkutan masih terisolasi, maka PN/PS harus membuka jalan/jembatan masuk (acces road), pembangunan jalan usaha tani (farm road), pembangunan kebun inti dan plasma, pembangunan perumahan karyawan, fasilitas pendidikan dan kesehatan, fasilitas sosial/umum dan pemeliharaan tanaman belum menghasilkan (Gambar 1).
Dalam konteks wilayah pedesaan yang belum berkembang investasi-investasi tersebut di atas tergolong relatif besar sehingga menjadi pendorong yang kuat bagi dimulainya gerakan roda pembangunan pedesaan yang oleh Paul Rosenstein-Rodan disebut sebagai big-push strategy.
Berkembangnya perkebunan baru inti plasma menarik investasi petani lokal untuk ikut menanam kelapa sawit sebagai perkebunan rakyat mandiri (PR). Umumnya jumlah perkebunan rakyat ini bertumbuh cepat dalam suatu wilayah sehingga luas kebun perkebunan rakyat mandiri secara total lebih luas dari kebun pola PIR.

Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit baik inti, plasma maupun petani mandiri mendorong berkembangnya usaha kecilmenengah-koperasi (UKMK) yang bergerak pada supplier barang/jasa industri perkotaan (SB), maupun pedagang hasilhasil pertanian/perikanan/peternakan untuk kebutuhan pangan (SF) masyarakat perkebunan kelapa sawit (Gambar 2).
Pada tahap selanjutnya, pertumbuhan kelapa sawit khususnya setelah menghasilkan minyak sawit (CPO) di kawasan tersebut berkembang pusat-pusat pemukiman, perkantoran, pasar, dan lainlain sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan menjadi suatu agropolitan (kota-kota baru pertanian).
Menurut Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja (2014), sampai tahun 2013 setidaknya 50 kawasan pedesaan terbelakang/terisolir telah berkembang menjadi kawasan pertumbuhan baru dengan basis sentra produksi CPO. Antara lain Sungai Bahar (Jambi), Pematang Panggang dan Peninjauan (Sumatera Selatan), Arga Makmur (Bengkulu), Sungai Pasar dan Lipat Kain (Riau), Paranggean (Kalimantan Tengah) dan kawasan lain.
Sebagian besar dari kawasan sentra produksi CPO tersebut telah berkembang menjadi kota kecamatan dan kabupaten baru di kawasan pedesaan. Perkebunan kelapa sawit di daerah pedesaan merupakan lokomotif pembangunan ekonomi pedesaan. Melalui pengembangan perkebunan kelapa sawit investasi baru meningkat cepat sedemikian rupa sehingga dapat mengubah daerah terbelakang menjadi pusat pertumbuhan baru di pedesaan.
Pernyataan ini juga terkonfirmasi oleh studi World Growth (2011) yang mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia bagian penting dari pembangunan pedesaan. Dengan demikian model pengembangan perkebunan kelapa sawit merupakan suatu model big-push yang secara evolusioner berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan. Hal ini berbeda dengan model growth pole yang menjadikan kawasan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan.

LOKOMOTIF EKONOMI PEDESAAN
Pertumbuhan produksi minyak sawit memiliki keterkaitan dan multiplier yang kuat terhadap sumber daya lokal (local resources based) baik dalam output, nilai tambah, pendapatan maupun tenaga kerja. Hasil penelitian Amzul (2011) dan PASPI (2014) menunjukan bahwa peningkatan produksi CPO pada kawasan sentra produksi CPO di kawasan pedesaan juga terkait dan berdampak luas pada sektorsektor pedesaan di luar perkebunan kelapa sawit (rural non-farm economy).
Sepuluh sektor yang dimaksud tersebut adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 1 Apabila produksi CPO meningkat (misalnya akibat konsumsi, investasi hilir, ekspor) maka manfaat ekonomi yang diciptakannya sekitar 60 persen terjadi pada perkebunan kelapa sawit dan sekitar 40 persen manfaat tersebut terjadi di luar perkebunan kelapa sawit (sektor pedesaan) seperti lembaga keuangan, perdagangan/restoran, hotel, transportasi, infrastruktur, dan sektor-sektor lain.
Mekanisme ini juga bentuk lain dari pendorong yang kuat (big-push strategy) bagi gerakan roda pembangunan pedesaan. Manfaat ekonomi yang diciptakan akibat pertumbuhan perkebunan kelapa sawit tidak hanya dinikmati oleh masyarakat pelaku/bekerja pada perkebunan kelapa sawit, melainkan sebagian (40 persen) dinikmati oleh masyarakat yang bekerja diluar perkebunan kelapa sawit di pedesaan.
Dengan perkataan lain, pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di kawasan pedesaan meningkatkan kapasitas perekonomian daerah pedesaan dalam menghasilkan output, pendapatan, dan kesempatan kerja baik pada perkebunan kelapa sawit maupun pada sektor lain (rural non-farm) di kawasan pedesaan. Bahkan dampak multiplier pembangunan perkebunan kelapa sawit, melainkan juga dinikmati sektor perkotaan seperti lembaga keuangan, restoran dan hotel, food processing dan electric equipment and manufacturing sector.
Membangun perkebunan kelapa sawit bukan hanya membangun pedesaan tetapi juga bagian dari cara membangun perkotaan. Manfaat perkebunan kelapa sawit tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang terlibat langsung dalam perkebunan kelapa sawit tetapi juga masyarakat yang tidak terlibat langsung pada perkebunan kelapa sawit, baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan (inclusive growth).
PRODUKSI CPO DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Hasil studi PASPI (2014) menunjukan bahwa pertumbuhan produksi minyak sawit (CPO) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah-daerah sentra sawit. Pertumbuhan ekonomi daerah bahkan sangat responsif terhadap peningkatan produksi minyak sawit. Peningkatan produksi minyak sawit menarik pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih besar dari peningkatan produksi CPO (Gambar 3).
Perekonomian daerah-daerah yang dihela oleh pertumbuhan produksi minyak sawit tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah-daerah yang tidak dihela oleh pertumbuhan sentra sawit. Akibatnya terjadi perbedaan yang tajam dalam pertumbuhan PDRB antara daerah sentra sawit dibandingkan dengan daerah bukan sentra sawit (Gambar 4).
Dengan demikian, esensi big-push theory yang mengatakan bahwa untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal diperlukan dorongan kuat (tidak cukup hanya dorongan kecil-kecilan) tampaknya memperoleh pembenaran (empirical evidence) pada pengalaman perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit baik melalui dorongan kuat investasi pada awal pembangunannya maupun melalui dampak multiplier khususnya pada masa produksi mampu menciptakan pertumbuhan besar dan signifikan. Pertumbuhan ekonomi daerah-daerah sentra sawit jauh lebih tinggi dibanding dengan daerah bukan sentra sawit.

KESIMPULAN
Pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat menjadi salah satu strategi dalam percepatan pembangunan daerah pedesaan tertinggal di Indonesia. Kawasan pedesaan tertinggal yang tertinggal dalam segala hal memerlukan dorongan besar (big-push) untuk keluar dari ketertinggalannya. Pendekatan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang mengkombinasikan investasi korporasi, investasi masyarakat (mandiri) dalam kelembagaan kemitraan kawasan industri masyarakat perkebunan (Kimbun) ternyata mampu menjadi pendorong yang kuat roda perekonomian daerah.
Pada awal pembangunan perkebunan kelapa sawit, investasi (infrastruktur jalan/jembatan, penanaman/pemeliharaan TBM, pembangunan perumahan, perkantoran, fasilitas sosial/umum) merupakan bentuk big-push gelombang pertama di kawasan pedesaan. Gelombang kedua big-push terjadi pada masa produksi CPO melalui keterkaitan multiplier (output, nilai tambah, pendapatan maupun tenaga kerja) yang kuat, dengan perekonomian lokal secara konvergensi membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan.
Source : Paspimonitor.or.id