Resolusi sawit Eropa yang memojokkan sawit hanya alasan untuk menghambat laju impor sawit yang mengancam minyak nabati Eropa

Resolusi sawit yang dikeluarkan Parlemen Eropa pada awal Bulan April 2017 lalu, yang memburuk-burukkan sawit bukanlah hal yang baru. Eropa sebagai produsen minyak nabati minyak bunga matahari dan minyak rapeseed (canola), menganggap sawit sebagai ancaman bagi minyak nabatinya.

Di pasar Eropa minyak nabati tersebut bersaing dengan minyak nabati asal impor khususnya minyak sawit dan minyak kedelai. Dan minyak sawit merupakan minyak yang paling kompetetif karena harga yang jauh lebih murah dan ketersediaan yang stabil sepanjang tahun, sehingga menjadi pesaing utama yang paling ditakuti minyak nabati Eropa.

Tameng Proteksi Dagang & Resolusi Sawit Eropa

Karena minyak nabati Eropa terancam, sejak dahulu negara-negara Eropa baik secara individu maupun bersama-sama (Uni Eropa) cukup rajin membiayai kampanye negatif minyak sawit dan mencari-cari alasan pembenaran  tarif tinggi bea masuk atau bentuk hambatan minyak nabati impor termasuk minyak sawit. Sebelum tahun 2006, ketika Malaysia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, tudingan Eropa dengan berbagai isu baik isu lingkungan, kesehatan dan sosial sering dituduhkan kepada minyak sawit, setelah tahun 2006 dimana Indonesia menjadi produsen minyak sawit dunia, tudingan yang sama terhadap sawit juga terjadi setiap tahun.

Tahun 2016 yang lalu Perancis mengancam akan memberlakukan  super tax berupa bea masuk dan pungutan tinggi, regresif dan progresif terhadap impor minyak sawit dari Prancis. Mereka menyebut bea masuk tersebut sebagai bea masuk anti dumping yang berarti menuduh Indonesia menjual minyak sawit di pasar Eropa dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga jual di Indonesia. Karena tidak terbukti, mereka merubah alasan sebagai pajak sumberdaya (embodied deforestasi) dengan tuduhan bahwa minyak sawit dihasilkan dari deforestasi. Namun pemerintah Perancis sadar bahwa jika hanya Perancis yang memberlakukan super tax tidak akan operasional karena minyak sawit bisa bebas masuk dari anggota EU lainnya. Selain itu, reaksi Indonesia  yang mengancam mengevaluasi kerja sama ekonomi dengan Perancis khususnya pembelian pesawat Boeing dan suku cadangnya juga mengurungkan niat Perancis memberlakukan super tax.

Secara diam-diam Perancis menggalang kekuatan anggota EU untuk memberlakukan super tax tersebut melalui mekanisme EU, yakni mulai dari persetujuan ditingkat Komisi Keamanan Pangan Eropa (EFSA) kemudian ke level Parlemen Eropa. Pada awal April 2017 Parlemen Eropa secara institusi men-declare bahwa minyak sawit terkait dengan isu-isu pelanggaran HAM, pekerja anak-anak, deforestasi, mengandung kontaminan karsiogenik, kebakaran hutan/lahan dan lain-lain. Oleh karena itu, merekomendasikan Lembaga Eksekutif Eropa untuk mengambil tindakan yang diperlukan termasuk memberlakukan super tax untuk minyak sawit (juga kedelai) dan akan memberlakukan sertifikasi Eropa yakni ESPO (European Sustainable Palm Oil).

Pengaitan minyak sawit dengan isu-isu tersebut hanyalah tameng untuk membatasi minyak sawit masuk ke pasar Eropa. Meskipun banyak laporan LSM anti sawit yang menuduh perkebunan sawit mempekerjakan tenaga kerja anak-anak, para ahli-ahli Eropa tidak begitu saja percaya. Ahli-ahli Eropa tahu persis bahwa deforestasi diseluruh negara-negara dunia termasuk di Eropa merupakan hal yang normal dalam pembangunan. Mereka juga tahu persis bahwa Indonesia memiliki hutan lindung/konservasi yang cukup luas yang dipertahankan sebagai “rumahnya biodiversity/satwa liar” yang dilindungi oleh Undang-Undang dan tidak dikonversi menjadi non hutan termasuk untuk kebun sawit. Juga mereka sangat tahu bahwa kebakaran hutan/lahan setiap tahun terjadi disetiap negara bahkan lebih luas terjadi di Eropa, Rusia, Amerika Utara dibandingkan di Indonesia. Ahli-ahli Eropa tahu benar bahwa emisi karbon Uni Eropa tujuh kali lipat dari emisi karbon Indonesia.

Pendek kata, semua isu-isu tersebut hanya mereka gunakan sebagai alasan untuk menghambat impor minyak sawit sekaligus melindungi minyak nabati Eropa. Lagi-lagi Eropa mempertontonkan inkonsitensinya sebagai pelopor perdagangan bebas tapi menjadi pelopor juga dalam proteksi perdagangan. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus menyampaikan protes keras dan menyiapkan tindakan balasan (retaliasi) perdagangan dengan Eropa.

Source : Indonesiakita.or.id