
Strategi dan Kebijakan Pengembangan Industri Hilir Minyak Sawit Indonesia
Hilirisasi industri minyak sawit nasional merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan jangka panjang industri minyak sawit Indonesia. Tujuan studi ini adalah untuk menganalisis dukungan kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah untuk mempercepat hilirisasi tersebut di Indonesia, yang akan menjadi industri strategis di masa mendatang, mengingat posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia.
Melalui hilirisasi industri minyak sawit Indonesia menuju 2045 diproyeksikan mampu merubah posisi Indonesia dari “raja” CPO dunia saat ini, menjadi “Raja Hilir” melalui tiga jalur hilirasasi yakni Oleofood (oleofood complex), oleochemical complex dan biofuel complex. Hilirisasi minyak sawit tersebut merupakan kombinasi strategi promosi ekspor (export promotion) dan subsitusi impor (import substitution).

Kebijakan hilirisasi yang ditempuh mencakup Kebijakan Insentif Pajak, Pengembangan Kawasan Industri Integrasi Industri Hilir Sawit dengan Fasilitas/Jasa Pelabuhan, kebijakan Bea Keluar (duty) dan pungutan ekspor (levy) dan kebijakan mandatory biodiesel untuk subsitusi solar impor.
PENDAHULUAN
Indonesia telah berhasil menjadi produsen CPO terbesar dunia sejak tahun 2006 lalu. Tantangan berikutnya adalah merubah Indonesia dari “raja” CPO dunia menjadi “raja” produk hilir dunia yakni produk oleofood, produk oleokimia dan biofuel. Mempertahankan apalagi terlena sebagai “raja” CPO dunia sangat merugikan Indonesia khususnya dalam jangka panjang. Ketergantungan Indonesia pada pasar CPO dunia akan membuat industri minyak sawit Indonesia mudah dipermainkan pasar CPO dunia karena industri hilir minyak sawit berada dan dikuasai negara-negara lain. Selain itu, nilai tambah industri hilir juga tidak dinikmati Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia perlu mempercepat hilirisasi minyak sawit didalam negeri.
Hilirisasi industri minyak sawit nasional hendaknya ditempatkan sebagai bagian dari strategi industrialisasi Indonesia. Sebagai bagian dari strategi industrialisasi nasional, hilirisasi minyak sawit perlu dirancang jauh kedepan (visioner) misalnya sampai menuju 100 tahun Negara Republik Indonesia yakni sampai tahun 2045. Kita harus memutuskan saat ini, mau seperti apa industri minyak sawit kita pada tahun 2045.
Melalui hilirisasi industri minyak sawit Indonesia menuju 2045 diproyeksikan mampu merubah posisi Indonesia dari “raja” CPO dunia saat ini, menjadi “Raja Hilir” yakni produk Oleofood, Biolubrikan, Biosurfaktan dan Biofuel pada tahun 2045. Jika “Raja Hilir” tersebut dapat kita raih, maka Indonesia akan menjadi pemain penting dalam ekonomi global. Indonesia tidak perlu mengejar menjadi pemain industri otomotif global yang bukan kompetensi kita. Hal yeng perlu dikejar Indonesia adalah menjadi pemasok bahan bakar biofuel dan pelumas otomotif global.
Hilirisasi yang dimaksudkan adalah hilirisasi minyak sawit didalam negeri, meskipun tidak tertutup kemungkinan hilirisasi minyak sawit di negara lain (go internasional) sebagai salah satu strategi penetrasi pasar. Strategi hilirisasi minyak sawit didalam negeri bukan berarti merubah regim dari melihat keluar (outward looking) menjadi melihat kedalam (inward looking). Hilirisasi minyak sawit didalam negeri yang dimaksudkan merupakan perpaduan strategi promosi ekspor (export promotion) dengan subsitusi impor (import substitution). Intinya melalui hilirisasi domestik kita mengolah CPO menjadi produk-produk bernilai tambah lebih tinggi baik untuk tujuan eskpor maupun untuk pengganti produk yang diimpor selama ini seperti solar, avtur, premium, plastik, pelumas, dan sebagainya.
Dalam tulisan ini dukungan kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah untuk mempercepat hilirisasi tersebut di Indonesia.
TIGA JALUR HILIRISASI DOMESTIK
Pintu gerbang hilirisasi minyak sawit adalah industri refinery yakni industri yang mengolah CPO/PKO menjadi produk antara yakni olein, stearin dan PFAD (palm fatty acid distillate). Produk antara yang dihasilkan dari industri refinery ini dapat diolah lebih lanjut untuk memperoleh produk-produk minyak sawit yang lebih hilir. Menurut data GIMNI (2011) kapasitas terpasang industri refinery di Indonesia telah mencapai 15,4 juta ton.
Secara umum hilirisasi minyak sawit yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini dapat dikelompokkan atas tiga jalur hilirasasi yakni jalur hilirisasi oleopangan complex, oleokimia complex dan biofuel complex (Gambar 1). Pertama, Jalur Hilirisasi Oleopangan (oleofood complex) yakni industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk antara oleo pangan (intermediate oleofood) sampai pada produk jadi oleopangan (oleofood product). Berbagai produk hilir oleopangan yang telah dihasilkan di Indonesia antara lain minyak goreng sawit, margarin, vitamin A, Vitamin E, shortening, ice cream, creamer, cocoa butter/specialty-fat dan lain-lain.
Kedua, Jalur Hilirisasi Oleokimia (oleochemical complex) yakni industri-industri yang mengolah mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara oleokimia/oleokimia dasar sampai pada produk jadi seperti produk biosurfaktan (misalnya ragam produk detergen, sabun, shampo), biolubrikan (misalnya biopelumas) dan biomaterial (misalnya bioplastik).
Ketiga, Jalur Hilirisasi Biofuel (biofuel complex) yakni industri-industri yang mengolah mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara biofuel sampai pada produk jadi biofuel seperti biodiesel, biogas, biopremium, bioavtur.

Hilirisasi minyak sawit dengan tiga jalur tersebut merupakan bagian penting dari strategi industrialisasi di Indonesia yakni kombinasi strategi promosi ekspor (EO) dan subsitusi impor (SI). Dari segi strategi EO, hilirisasi minyak sawit dilakukan secara bertahap yakni fase pertama (EO1) dan dilanjutkan dengan fase lanjutan (EO2). Hilirisasi fase EO1 diharapkan dapat merubah ekspor produk minyak sawit mentah menjadi produk hilir setengah jadi seperti RBD olein, RBD stearin, PFAD, fatty acid, fatty alcohol, glycerol dan lainnya.
Sedangkan hilirisasi fase EO2 diharapkan produk yang diekspor adalah produk jadi seperti produk oleofood kemasan (minyak goreng, margarin), oleokimia jadi (sabun mandi, detergen, shampoo dan lainnya) dan biofuel (biodiesel, biogas, bioethanol dan lainnya). Strategi promosi ekspor melalui hilirisasi minyak sawit juga dilaksanakan pararel dengan strategi susbsitusi impor yang dapat dikelompokkan atas dua fase yakni fase pertama (SI1) yakni menghasilkan produk antara yang selama ini masih diimpor Indonesia. Sedangkan fase kedua (SI2) adalah menghasilkan produk jadi untuk menggantikan produk jadi yang diimpor selama ini. Termasuk kedalam fase subsitusi impor kedua ini adalah penggantian solar dengan biodiesel (mandatory biodiesel), penggantian petropelumas dengan biopelumas dan lainnya.
Dengan demikian perpaduan antara strategi EO dan SI hilirisasi minyak sawit yang sedang berlangsung sesungguhnya merupakan 4 kombinasi strategi hilirisasi yakni EO1SI1 (hilirisasi untuk mengekspor produk antara sekaligus mensubtitusi produk antara yang masih diimpor), EO1SI2 (hilirisasi untuk mengekspor produk antara dan mensubsitusi produk jadi yang diimpor), EO2SI1 (hilirisasi untuk mengekspor produk jadi dan mensubsitusi produk antara yang diimpor) dan EO2SI2 (hilirisasi untuk mengekspor produk akhir dan mensubsitusi produk jadi yang diimpor).
Idealnya industrialisasi berevolusi dari EO1SI1 menuju EO2SI2. Bergerak dari produk bernilai tambah rendah ke produk yang bernilai tambah tinggi. Dari segi kepentingan nasional tentu akan lebih bermanfaat jika Indonesia menuju eksportir produk jadi minyak sawit karena manfaat ekonomi (multiplier ekonomi) akan terjadi didalam negeri. Perpaduan strategi promosi ekspor dan subsitusi impor (EO1SII) tersebut berlaku untuk ketiga jalur hilirisasi tersebut. Tidak hanya terbatas hanya pada industri hilir minyak sawit melainkan juga dilihat kaitannya dengan industri-industri/produk lain terkait dalam perekonomian pengembangan industri biodiesel (FAME) tergolong pada strategi EO2SI2 yakni menghasilkan biodiesel untuk mensubsitusi solar yang diimpor (mandatori biodiesel) dan sekaligus mengekspor biodiesel. Demikian juga pengembangan bioavtur dan biopelumas berbahan minyak sawit juga termasuk dalam strategi EO2SI1 tersebut.
Dengan demikian, manfaat ekonomi hilirisasi bahkan industri minyak sawit secara keseluruhan tidak hanya melihat berapa devisa yang dihasilkan dari ekspor tetapi juga perlu diperhitungkan berapa devisa yang dihemat akibat subsitusi impor. Nilai strategis industri biodiesel di Indonesia tidak hanya dilihat berapa besar devisa yang diperoleh dari ekspor biodiesel tetapi juga mencakup devisa yang dihemat dari pengurangan impor solar akibat disubsitusi biodiesel domestik.
KEBIJAKAN HILIRISASI
Dalam sejarah perkebunan kelapa sawit Indonesia, kebijakan industrialisasi dan perdagangan internasional sudah mengalami berbagai perubahan. Pada periode sebelum 1978 industri minyak sawit Indonesia lebih berorientasi pada pasar ekspor (export orientation), kemudian berubah pada orientasi pasar domestik (domestic market orientation) yang menyebabkan pasangsurut hilirisasi pasar domestik (Tomic dan Mawardi 1995; Sato, 1997; Sipayung, 2012). Dua regim kebijakan mempengaruhi industri minyak sawit dalam periode 1973-2011 yakni kebijakan alokasi dan harga maksimum CPO domestik (1973-1990), pajak ekspor minyak sawit dengan berbagai variasi (1991-2011). Untuk mempercepat hilirisasi minyak sawit didalam negeri, pemerintah mengeluarkan rangkaian berbagai kebijakan/instrument juga dikeluarkan untuk mempercepat hilirisasi seperti: (1) Pengurangan pajak penghasilan (tax allowance) untuk industri hilir kelapa sawit yang mengacu pada PP 52 tahun 2011 jo PP 62 tahun 2008 jo PP 1 tahun 2007; (2) Insentif Pajak (tax holiday) untuk industri hilir kelapa sawit perintis dengan mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan Pajak Penghasilan Badan; (3) Pembebasan Bea Masuk atas impor mesin serta barang dan bahan untuk pembangunan atau pengembangan industri dalam rangka penanaman modal (PMK 76 tahun 2012) dan (4) Pengembangan Kawasan Industri Integrasi Industri Hilir Sawit dengan Fasilitas/Jasa Pelabuhan seperti Sei Mangkei (Sumatera Utara), Dumai-Kuala Enok (Riau), Tanjung Api-api (Sumatera Selatan) dan Maloy (Kalimantan Timur).
Kebijakan Bea Keluar. Kebijakan dengan fokus hilirisasi minyak sawit dimulai pada tahun 2011, dengan merubah kebijakan pajak ekspor menjadi kebijakan Bea Keluar CPO dan produk turunannya (PMK No. 128/2011 dan PMK No. 75/2012). Tujuannya adalah (1) menjamin ketersediaan bahan baku minyak sawit bagi industri domestik; (2) mengamankan pasokan serta harga minyak goreng didalam negeri; dan (3) mendukung Program Nasional Hilirisasi Industri Kelapa Sawit.
Kebijakan Bea Keluar (BK) tersebut pada prinsipnya memuat lima hal berikut : (1) Bea Keluar CPO dan atau CPKO dikenakan setelah produsen CPO memperoleh keuntungan, (2) Batas bawah harga CPO yang dikenakan BK CPO adalah jika harga CPO lebih besar dari US$750/ton; (3) Tarif BK produk hilir lebih rendah daripada produk hulunya dengan maksud mendorong hilirisasi didalam negeri; (4) Tarif BK minyak goreng kemasan lebih rendah daripada minyak goreng curah, untuk mendukung program National Branding dan (5) cakupan produk yang dikenakan BK diperluas seperti produk-produk hydrogenated, bungkil, PFAD yang merupakan bahan baku penting industri domestik. Dengan demikian kebijakan BK sebagai pajak ekspor diberlakukan secara progresif. Bea keluar baru diterapkan jika harga CPO dunia lebih besar dari USD 750 per ton dengan tarif 7.5 persen. Dengan penetapan BK secara ad valorem tax maka dengan meningkatnya harga CPO dunia, besaran tarif makin meningkat antara 7.5 persen sampai 22.5 persen. Pada harga CPO dunia lebih dari USD 1250 besarnya tarif BK maksimum 22.5 persen.
Pada tahun 2015 kebijakan BK tersebut dirubah menjadi BK yang baru (PMK 136/2015) dan dikombinasikan dengan kebijakan pungutan ekspor (PMK 114/2015). Kebijakan pungutan ekspor (levy) diberlakukan sebesar USD 50/ton CPO untuk setiap harga CPO dunia. Selain itu juga memberlakukan pungutan ekspor dengan tarif yang lebih rendah dengan makin ke hilir pada produk turunan CPO. Berbeda dengan BK lama yang menggunakan tarif relatif ad valorem, untuk mempermudah administrasi (unifikasi) pemungutan BK dan pungutan ekspor (levy) di pabean, instrumen BK baru menggunakan nilai absolut ad valorem yang dimulai pada harga CPO dunia di atas USD 750 per ton dengan tarif USD 3 per ton. Sehingga dengan tarif pungutan ekspor yang tetap sebesar USD 50 per ton maka secara total menjadi USD 53 per ton (Tabel 1) atau setara dengan pajak ekspor CPO 6.8 persen (Tim Riset PASPI, 2015).
Jika harga CPO dunia meningkat dari USD 750 menjadi USD 1000 per ton, tarif BK juga mengalami peningkatan dari USD 3 menjadi USD 93 per ton. Tarif BK terbesar yakni sebesar USD 200 per ton dipungut jika harga CPO dunia mencapai di atas USD 1250 per ton. Sementara itu, pungutan ekspor CPO secara absolut tetap sebesar USD 50 per ton untuk setiap tingkatan harga CPO dunia. Dengan demikian, kombinasi instrumen BK dan pungutan ekspor CPO menghasilkan pajak ekspor sebesar USD 50-250 per ton atau 6.7-20 persen. Jika dihitung rataan untuk setiap tingkatan harga CPO dunia (kecuali di bawah USD 750) pajak ekspor CPO baru adalah 13.85 persen. Dengan demikian, pajak ekspor CPO yang baru tersebut lebih rendah dari pajak ekspor CPO sebelumnya. Pajak ekspor CPO baru ratarata 7.7 persen di bawah pajak ekspor CPO lama (Tim Riset PASPI, 2015).
Tabel 1. Tarif Pajak Ekspor (kombinasi BK dan Pungutan Ekspor) Minyak Sawit dan Produk Turunannya Setelah PMK 136/2015 dan PMK 114/2015

Dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya (PMK No. 128/2011 dan PMK No. 75/2012) kombinasi kebijakan BK dan pungutan ekspor tersebut (PMK No. 136/2015 dan PMK No. 114/2015) memberikan insentif hilirisasi sebagai berikut (1) kebijakan pajak ekspor RBD Palm Olein yang baru lebih tinggi dibandingkan dengan pajak ekspor sebelumnya, (2) pajak ekspor RBD Palm Olein Kemasan lebih rendah dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. (3) pajak ekspor biodiesel lebih rendah dari kebijakan sebelumnya. Kebijakan baru tersebut secara umum dapat mendukung program hilirisasi minyak sawit. Pajak ekspor bahan mentah (CPO) yang lebih tinggi daripada pajak ekspor produk turunannya dapat mendorong hilirisasi melalui tiga jalur hilirisasi tersebut di atas. Demikian juga pajak ekspor produk yang makin ke hilir (misalnya RBD Palm Olein Kemasan) yang lebih rendah dari produk hulunya (RBD Palm Olein) juga dapat mendorong hilirisasi tersebut.
Pajak ekspor RBD Palm Olein Kemasan yang lebih rendah dari Biodiesel dapat dipandang sebagai bagian dari instrumen kebijakan untuk mengurangi masalah tradeoff fuel food. Kebijakan mandatori biodiesel dikhawatirkan akan menarik CPO ke industri biodiesel sehingga dikhawatirkan industri oleofood akan kehilangan dayasaingnya. Dengan menerapkan pajak ekspor yang lebih rendah pada industri oleofood (RBD Palm Olein Kemasan) dibandingkan produk di industri biodiesel diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara mendorong implementasi kebijakan mandatori biodiesel dan mendorong ekspor produk-produk hilir oleofood. Selain itu tarif ekspor biodiesel yang lebih tinggi tersebut merupakan instrumen untuk menahan sebagian produksi biodiesel didalam negeri sehingga implementasi mandatori biodiesel dapat kondusif dilaksanakan.
Kebijakan Mandatori Biodiesel. Kebijakan subsitusi solar dengan biodiesel sawit (FAME) merupakan bagian dari hilirisasi minyak sawit dalam negeri. Selain meningkatkan nilai tambah, memperluas pasar domestik, kebijakan mandatory biodiesel juga merupakan strategi subsitusi impor (EO2SI2). Pengembangan biodiesel disetiap negara termasuk di Indonesia, ditujukan pada tiga hal pokok yakni (1) Mengurangi ketergantungan pada fosil-fuel (energy security); (2) Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca (GHG) khususnya CO2 kontributor utama pemanasan global (global climate changef mitigation) dan (3) Menciptakan/memperluas pasar komoditas pertanian untuk mendorong pembangunan pedesaan (rural development).
Kebijakan pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2004 (Tabel 2) yakni Pertama, kebijakan pramandatori (persiapan) pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi (2004-2008). Kedua, kebijakan mandatori biodiesel B-1 (2008), B-2,5 (2010-2013), B-10 (2014), B-15 (2015), B-20 (2016). Dan direncanakan akan menjadi B-30 (2020, 2025).
Tabel 2. Landasan Kebijakan Mandatori di Indonesia

KESIMPULAN
Hilirisasi minyak sawit yang sedang berlangsung di Indonesia terdiri atas tiga jalur hilirasasi yakni (1) Jalur Hilirisasi Oleopangan (oleofood complex) yakni industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk antara oleopangan sampai pada produk jadi oleopangan. (2) Jalur Hilirisasi Oleokimia (oleochemical complex) yakni industri-industri yang mengolah mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara oleokimia/oleokimia dasar sampai pada produk jadi seperti produk biosurfaktan dan (3) Jalur Hilirisasi Biofuel (biofuel complex) yakni industri-industri yang mengolah mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara biofuel sampai pada produk jadi biofuel. Hilirisasi minyak sawit tersebut merupakan kombinasi strategi promosi ekspor (export promotion) dan subsitusi impor (import substitution). Kebijakan hilirisasi yang ditempuh mencakup Pertama, Kebijakan Insentif Pajak (tax allowance, tax holiday, pembebasan impor atas mesin serta barang dan bahan). Kedua, Pengembangan Kawasan Industri Integrasi Industri Hilir Sawit dengan Fasilitas/Jasa Pelabuhan seperti Sei Mangkei (Sumatera Utara), Dumai-Kuala Enok (Riau), Tanjung Api-api (Sumatera Selatan) dan Maloy (Kalimantan Timur). Ketiga, kebijakan Bea Keluar (duty) dan pungutan ekspor (levy) dan Keempat, kebijakan mandatory biodiesel untuk subsitusi solar impor.
Source : Paspimonitor.or.id