Skip to content

Kemajuan Hilirisasi Minyak Sawit Indonesia

Kemajuan hilirisasi yang terjadi dalam periode 2011-2016 tercermin dari konsumsi CPO domestik dari 7,8 juta ton menjadi 13,5 juta ton, untuk industri olein (minyak goreng dan margarin, dan lainnya), industri oleokimia dan detergen, serta industri biodiesel. Selain tercermin dari konsumsi CPO domestik, hilirisasi minyak sawit domestik juga ditunjukkan oleh produksi industri hilir.

Tahun 2016 produksi olein (RBD olein, minyak goreng, margarin, dan lainnya) sebesar 25 juta ton, produksi oleokimia (oleokimi dasar, detergen dan sabun) sebesar 3,4 juta ton dan produksi biodiesel sebesar 2,9 juta ton. Keberhasilan hilirisasi minyak sawit di dalam negeri tersebut telah berhasil memperbaiki komposisi ekspor minyak sawit Indonesia dari dominasi minyak sawit mentah menjadi dominasi minyak sawit olahan.

Jika tahun 2008 ekspor minyak sawit Indonesia sekitar 55 persen berupa minyak sawit mentah (CPO), pada tahun 2016 sekitar 78 persen ekspor minyak sawit Indonesia sudah dalam bentuk minyak sawit olahan.

PENDAHULUAN

Setelah Indonesia berhasil menjadi produsen CPO terbesar dunia tahun 2006, tantangan berikutnya adalah merubah Indonesia dari “raja” CPO dunia menjadi “raja” produk hilir minyak sawit dunia seperti produk oleofood, produk oleokimia dan biofuel. Mempertahankan apalagi terlena sebagai “raja” CPO dunia sangat merugikan Indonesia khususnya dalam jangka panjang. Ketergantungan Indonesia pada pasar CPO dunia akan membuat industri minyak sawit Indonesia mudah dipermainkan pasar CPO dunia karena industri hilir minyak sawit berada dan dikuasai negara-negara lain. Selain itu, nilai tambah industri hilir juga tidak dinikmati Indonesia. Dalam kaitan hal ini kebijakan percepatan hilirisasi minyak sawit di dalam negeri yang dilakukan pemerintah sejak tahun 2011 merupakan kebijakan yang tepat.

Strategi dan kebijakan hilirisasi minyak sawit di dalam negeri telah dibahas pada Jurnal Monitor Vol. III (18) : p 779-788. Hilirisasi minyak sawit yang sedang berlangsung di Indonesia terdiri atas tiga jalur hilirasasi yakni (1) Jalur Hilirisasi Oleopangan (oleofood complex) yakni industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk antara oleopangan sampai pada produk jadi oleopangan. (2) Jalur Hilirisasi Oleokimia (oleochemical complex) yakni industri-industri yang mengolah mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara oleokimia/oleokimia dasar sampai pada produk jadi seperti produk biosurfaktan dan (3) Jalur Hilirisasi Biofuel (biofuel complex) yakni industri-industri yang mengolah mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara biofuel sampai pada produk jadi biofuel.

Strategi hilirisasi minyak sawit didalam negeri bukan berarti merubah regim dari melihat keluar (outward looking) menjadi melihat kedalam (inward looking). Hilirisasi minyak sawit didalam negeri yang dimaksudkan merupakan perpaduan strategi promosi ekspor (export promotion) dengan subsitusi impor (import substitution). Intinya melalui hilirisasi domestik kita mengolah CPO menjadi produk-produk bernilai tambah lebih tinggi baik untuk tujuan eskpor maupun untuk pengganti produk yang diimpor selama ini seperti solar, avtur, premium, plastik, pelumas, dan sebagainya. Dalam tulisan ini didiskusikan bagaimana kemajuan hilirisasi minyak sawit di Indonesia.

PENYERAPAN CPO INDUSTRI DOMESTIK

Untuk mendukung hilirisasi di dalam negeri, investasi pada industri hilir minyak sawit sudah berkembang sebelumnya. Hal ini tercermin dari kapasitas produksi industri hilir minyak sawit (Gambar 1). Kapasitas produksi minyak goreng mencapai 15,3 juta ton, biodiesel 11,4 juta ton, sabun dan detergen 3,6 juta ton, oleokimia dasar 1,7 ton dan margarin/shortening sebesar 0,8 juta ton. Dengan kapasitas industri hilir yang demikian, industri hilir minyak sawit domestik sebetulnya sudah mampu mengolah sekitar 32 juta ton CPO.

Tentu saja pemanfaatan kapasitas produksi tersebut tergantung banyak variabel baik variabel kebijakan di dalam negeri maupun di Negara tujuan ekspor. Kebijakan pajak ekspor Indonesia (Bea Keluar dan Pungutan), mandatori biodiesel, kemudahan investasi, pengembangan infrastruktur dan kawasan industri hilir serta pelabuhan merupakan variabel yang mempercepat hilirisasi di dalam negeri termasuk pemanfaatan kapasitas terpasang. Sebaliknya kebijakan negara tujuan ekspor yang memberlakukan pajak impor olahan minyak sawit yang lebih tinggi dibanding dengan pajak impor CPO seperti yang diberlakukan India, China dan Eropa, justru memindahkan hilirisasi minyak sawit Indonesia ke negara tujuan ekspor sehingga juga menghambat hilirisasi minyak sawit di dalam negeri. Oleh karena itu daya saing kebijakan hilirisasi minyak sawit domestik Indonesia dengan kebijakan hilirisasi di negara tujuan ekspor perlu menjadi perhatian pemerintah.

Gambar 1. Kapasitas Produki Industri Hilir Minyak Sawit

Sebagaimana dikemukakan di atas, sejak tahun 2011 Indonesia telah mendorong hilirisasi minyak sawit di dalam negeri melalui tiga jalur hilirisasi yakni jalur hilirisasi industri oleofood, jalur hilirisasi industri oleokimia dan jalur hilirisasi biofuel. Konsumsi domestik minyak sawit yakni untuk industri oleofood, oleokimia, detergen/sabun dan biodiesel (Gambar 2) menunjukkan peningkatan yang relatif cepat khususnya setelah tahun 2011. Tahun 2011 konsumsi bahan baku (CPO) untuk industri hilir domestik adalah 7,8 juta ton yakni untuk minyak goreng dan margarin sebesar 6,2 juta ton, oleokimia dan detergen 1,2 juta ton dan biodiesel 0,4 juta ton. Konsumsi domestik meningkat cepat pada tahun 2016 yakni sebesar 13,5 juta ton yakni minyak goreng dan margarin sebesar 7,8 juta ton, oleokimia dan detergen 1,7 juta ton dan biodiesel 4 juta ton.

Percepatan hilirisasi minyak sawit domestik dalam periode 2011-2016 tercermin dari meningkatnya penggunaan CPO untuk industri dalam negeri hampir dua kali lipat. Selain itu yang juga fantastis adalah pengunaan CPO untuk biodiesel di dalam negeri yang meningkat dari 0,4 juta ton menjadi 4 juta ton atau meningkat sepuluh kali lipat.

Gambar 2. Konsumsi CPO Menurut Industri Pengguna Domestik (Hilir)

DAMPAK PRODUK HILIR MINYAK SAWIT

Selain tercermin dari konsumsi CPO domestik, hilirisasi minyak sawit domestik juga dapat dilihat dari produksi industri hilir (Gambar 3). Produksi olein (RBD olein, minyak goreng, margarin, dan lainnya) tahun 2016 sebesar 25 juta ton, produksi oleokimia (oleokimi dasar, detergen dan sabun) sebesar 3,4 juta ton dan produksi biodiesel sebesar 2,9 juta ton.

Dari produksi tersebut sebagian di konsumsi di dalam negeri dan sisanya di ekspor. Untuk olein konsumsi domestik sebesar 7,8 juta ton dan sisanya di ekspor sebesar 18 juta ton. Demikian juga oleokimia dikonsumsi sebesar 0,6 juta ton dan di eskpor sebesar 2,8 juta ton.

Jalur hilirisasi biofuel dikaitkan dengan kebijakan mandatori biodiesel dari B-5 (2010), B-10 (2012), B-15 (2014) dan B-20 (2016). Menurut data Kementerian ESDM 2016, kapasitas produksi biodiesel domestik meningkat dari 5,8 juta ton (2011) menjadi 11,36 juta ton (2016). Sementara realisasi produksi biodiesel domestik (Gambar 4) meningkat dari 0,4 juta ton (2011) menjadi 2,8 juta ton (2016). Konsumsi biodiesel domestik meningkat dari 0,35 juta ton (2011) menjadi 3 juta ton (2016). Hal yang menarik adalah ekspor biodiesel makin menurun akibat kebijakan subsitusi solar dengan biodiesel didalam negeri tersebut.

Gambar 3. Produksi, Konsumsi Domestik dan Ekpor Produk Hilir Minyak Sawit Indonesia Tahun 2016

Gambar 4. Produksi, Konsumsi dan Ekspor Biodiesel Indonesia

Berdasarkan realisasi kebijakan mandatori biodiesel tahun 2014-2016 di Indonesia menghasilkan akumulasi penghematan solar, emisi CO2 dan devisa impor solar (Gambar 5). Secara akumulasi, impor solar yang berhasil dihemat adalah 5 juta ton dengan penghematan devisa untuk impor solar sebesar USD 2,3 miliar. Selain itu juga menghemat emisi CO2 sebesar 12,4 juta ton CO2.

Dengan demikian kebijakan mandatori biodiesel memberi manfaat ganda bagi Indonesia yakni membangun kedaulatan energi nasional melalui penghematan solar impor dan devisa impor solar. Selain itu kebijakan tersebut mengurangi emisi CO2 nasional.

Kebijakan hilirisasi minyak sawit di dalam negeri telah berhasil memperbaiki komposisi ekspor minyak sawit Indonesia dari dominasi minyak sawit mentah menjadi dominasi minyak sawit olahan. Jika tahun 2008 ekspor minyak sawit Indonesia sekitar 55 persen masih berupa minyak sawit mentah (CPO), sejak tahun 2011 telah beralih kepada dominasi olahan. Pada tahun 2016 sekitar 78 persen ekspor minyak sawit Indonesia sudah dalam bentuk minyak sawit olahan (Gambar 6).

Gambar 5. Penghematan Solar Impor, Emisi CO2 & Devisa Berdasarkan Realisasi Mandatori Biodiesel di Indonesia

Gambar 6. Komposisi Ekspor Minyak Sawit Indonesia

KESIMPULAN

Kapasitas industri hilir minyak sawit domestik telah berkembang dan mendukung percepatan hilirisasi. Kapasitas produksi minyak goreng mencapai 15,3 juta ton, biodiesel 11,4 juta ton, sabun dan detergen 3,6 juta ton, oleokimia dasar 1,7 ton dan margarin/shortening sebesar 0,8 juta ton. Dengan kapasitas industri hilir yang demikian, industri hilir minyak sawit domestik sebetulnya sudah mampu mengolah sekitar 32 juta ton CPO.

Kemajuan hilirisasi yang terjadi dalam periode 2011-2016 tercermin dari hal-hal berikut : Pertama, Konsumsi domestik minyak sawit yakni untuk industri oleofood, oleokimia, detergen/sabun dan biodiesel menunjukkan peningkatan yang relatif cepat khususnya setelah tahun 2011. Tahun 2011 konsumsi bahan baku (CPO) untuk industri hilir domestik adalah 7,8 juta ton yakni untuk minyak goreng dan margarin sebesar 6,2 juta ton, oleokimia dan detergen 1,2 juta ton dan biodiesel 0,4 juta ton. Konsumsi domestik meningkat cepat pada tahun 2016 yakni sebesar 13,5 juta ton yakni minyak goreng dan margarin sebesar 7,8 juta ton, oleokimia dan detergen 1,7 juta ton dan biodiesel 4 juta ton.

Kedua, Selain tercermin dari konsumsi CPO domestik, hilirisasi minyak sawit domestik juga dapat dilihat dari produksi industri hilir. Produksi olein (RBD olein, minyak goreng, margarin, dan lainnya) tahun 2016 sebesar 25 juta ton, produksi oleokimia (oleokimi dasar, detergen dan sabun) sebesar 3,4 juta ton dan produksi biodiesel sebesar 2,9 juta ton.

Ketiga, Kebijakan hilirisasi minyak sawit di dalam negeri telah berhasil memperbaiki komposisi ekspor minyak sawit Indonesia dari dominasi minyak sawit mentah menjadi dominasi minyak sawit olahan. Jika tahun 2008 ekspor minyak sawit Indonesia sekitar 55 persen masih berupa minyak sawit mentah (CPO), sejak tahun 2011 telah beralih kepada dominasi olahan. Pada tahun 2016 sekitar 78 persen ekspor minyak sawit Indonesia sudah dalam bentuk minyak sawit olahan.

Source : paspimonitor.or.id

Post View : 3049
EnglishIndonesia