Pasar Biodiesel 11 Juta Ton di Indonesia

Dengan menggunakan 11 juta ton biodiesel di Indonesia, akan mengurangi emisi karbon, menghemat devisa 10 miliar dollar dan makin perkuat kedaulatan energi berkelanjutan

Negara Cina memang salah satu pasar biodiesel yang potensial. Dengan konsumsi solar sekitar 180 juta ton, jika 5 persen saja dicampurkan dengan biodiesel (B-5), Cina butuh 9 juta ton biodiesel setiap tahun. Tentu pasar biodiesel Cina tersebut menarik untuk direbut kedepan. Jauh-jauh ke Cina, sesungguhnya di dalam negeri kita juga pasar biodiesel cukup besar jika pemerintah serius menggerakkan ekonomi dalam negeri, membangun kedaulatan energi dan membersihkan lingkungan.

Pasar Biodiesel 11 Juta Ton di Indonesia

Konsumsi solar Indonesia setiap tahun bertumbuh terus seiring meningkatnya perekonomian dan jumlah penduduk. Dengan menggunakan data tahun 2016 saja, konsumsi solar diperkirakan sekitar 37 juta kilo liter, dimana sekitar 50 persen merupakan solar subsidi (PSO) dan 50 persen sisanya solar industri (Non PSO). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut sekitar 50 persen dipenuhi dari produksi domestik dan 50 persen diimpor.

Dengan mengimpor solar, sekitar 20 milliar dollar Amerika Serikat setiap tahun dihabiskan untuk mengimpor energi kotor tersebut. Akibat konsumsi solar tersebut sekitar 150 Juta ton emisi karbon mengotori udara bumi Indonesia setiap tahun. Oleh karena itu, mengurangi konsumsi solar yang dilakukan Pemerintah melalui kebijakan mandatori biodiesel sangat tepat dan perlu dipercepat. Karena selain menghemat devisa impor solar, juga menghemat sekitar 62 persen emisi karbon.

Sampai tahun 2016 mandatori biodiesel (pencampuran wajib biodiesel dalam konsumsi solar) ditargetkan 20 persen atau B-20. Artinya setiap 10 liter biosolar yang kita isi di SPBU, mengandung 2 liter biodiesel. Namun kebijakan B-20 tersebut baru diberlakukan pada solar PSO (solar subsidi) sementara solar industri yang justru memiliki kemampuan daya beli kuat belum diberlakukan. Sehingga jika dihitung dari total konsumsi solar nasional (PSO dan Non PSO), belumlah mencapai B-20, baru mencapai B-10.

Jika Indonesia dapat merealisasikan B-30 pada konsumsi solar PSO maupun non PSO, berarti ada 11 juta ton pasar biodiesel di Indonesia. Jika sebesar itu direalisasikan akan  mengurangi sekitar 11 juta kilo liter impor solar dan  mengurangi emisi karbon ke udara bumi sebesar 30 juta ton karbon dioksida setiap tahun. Pengurangan emisi tersebut sejalan dengan komitmen Indonesia dalam forum Paris Climate Change Agreement yakni berpartisipasi menurunkan emisi dari energi berkarbon tinggi (solar, batubara).

Dampak ekonominya juga akan sangat besar. Pengurangan solar impor berarti  menghemat devisa sekitar 10 miliar dollar Amerika Serikat per tahun. Selain itu, biodesel yang bahan bakunya dari CPO, peningkatan penggunaan biodisel tersebut, akan berdampak positif bagi 190 kabupaten sentra kebun sawit nasional.

Multiplier benefit penggantian solar impor dengan biodiesel didalam negeri dinikmati rakyat Indonesia utamanya pada sentra-sentra sawit nasional. Sementara jika solar impor tetap dipertahankan selain menambah polusi udara bumi Indonesia, boros devisa juga multiplier manfaatnya dinikmati rakyat negara lain bukan di Indonesia.

Untuk itu sudah saatnya Pemerintah dan DPR lebih serius untuk memberlakukan B-30 untuk solar PSO dan Non PSO. LSM lingkungan yang selama ini sangat intensif membela kelestarian lingkungan, perlu mendukung B-30 sebagai cara yang rasional untuk mengurangi polusi udara maupun bagian upaya mengatasi pemanasan global.  Perluasan mandatori biodiesel (penggantian solar dengan biodisel) perlu dijadikan agenda penting dalam forum-forum lingkungan dan perubahan iklim global.

Source : Indonesiakita.or.id

EnglishIndonesia