
Merdekakan Sawit Indonesia dari Praktik Kolonial
Era kolonial sudah lama berakhir, namun praktik kolonial dari negara-negara Barat dalam perdagangan minyak sawit masih banyak terjadi dan hadapi industri sawit saat ini.
Tahun 2017 ini seluruh rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merayakan hari jadi ke 72 tahun. Juga sekaligus peringatan Proklamasi Kemerdekaan NKRI dari belenggu kolonialis yang menyengsarakan rakyat selama lebih dari 350 tahun.
Meskipun masa kolonial sudah lama berlalu di muka Bumi, praktik kolonialis masih menunjukkan penampakannya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat global termasuk terhadap Indonesia. Salah satunya adalah di bidang industri minyak sawit nasional. Praktik kolonialis masih mewarnai politik perdagangan minyak sawit dari negara-negara maju khususnya terhadap minyak sawit Indonesia. Beberapa praktik kolonialis yang dilakukan negara-negara Barat terhadap sawit Indonesia antara lain sebagai berikut.
Pertama, Perlakuan diskriminatif terhadap minyak sawit. Uni Eropa memperlakukan minyak sawit berbeda dengan minyak nabati lainnya seperti minyak rapeseed dan minyak bunga matahari. Minyak sawit dituntut sertifikasi berkelanjutan sementara untuk minyak nabati lain tidak dituntut sertifikasi berkelanjutan. Padahal menurut aturan WTO tidak boleh diskriminasi harus diperlakukan sama (Equal Treatment Princioles). Demikian juga biodiesel sawit, Uni Eropa dan USA menuduh biodiesel sawit disubsidi sehingga dikenakan kebijakan anti dumping. Padahal subsidi pertanian EU termasuk untuk tanaman biofuel dan subsidi pertanian USA begitu besar. Uni Eropa mensubsidi sekitar 70 milyar Euro setiap tahun.
Kedua, Arogansi dan mau menang sendiri. Selama ini Uni Eropa dan USA menuduh perkebunan sawit menghasilkan emisi karbon yang besar. Padahal data IEA (2016) menunjukkan bahwa emisi karbon USA (5.2 Giga ton) dan Uni Eropa( 3.2 Giga ton) merupakan top five emiter karbon terbesar dunia. Sementara di Indonesia hanya 0.4 Giga ton. Juga EU dan USA mengkritik luasnya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia seakan-akan di EU dan USA tidak terjadi. Padahal luas kebakaran hutan dan lahan di Eropa (350 ribu hektar) dan USA (2.2 juta hektar) setiap tahun dan Indonesia (64 ribu hektar).
Ketiga, Pelihara kaki tangan. Sama seperti masa kolonial dimana kolonis selalu menggunakan kaki tangan, juga terjadi pada sawit nasional. Barat mengeluarkan banyak dana untuk membiayai kaki tangan yakni LSM anti sawit yang tugasnya kampanye negatif sawit dan membuat laporan hal-hal negatif tentang sawit kepada mereka. Resolusi sawit EU baru-baru ini adalah hasil kerja kaki tangan mereka di Indonesia.
Keempat, Adu domba atau pecah belah. Pada masa kolonial dikenal dengan devide et impera, adu domba agar mudah dikuasai. Pada sawit juga terjadi praktik seperti itu. Mensponsori LSM anti sawit lokal berhadap-hadapan dengan pelaku sawit sehingga timbul ketegangan. Memprovokasi masyarakat lokal sehingga timbul konflik. Pembentukan IPOP (Indonesia Palm Oil Pledge) beberapa tahun lalu yang akhirnya bubar sendiri juga bagian skenario devide et impera yakni memecah the big five sawit dengan pelaku sawit lainya.
Hal-hal tersebut merupakan empat cara dari sekian banyak cara praktik kolonial yang masih terjadi dan menyerang sawit Indonesia selama ini. Mari kita bersama-sama membebaskan industri sawit Indonesia dari praktik kolonial tersebut.
Caranya pemerintah jangan segan-segan mengambil sikap tegas termasuk retaliasi perdagangan atas perlakukan tidak adil yang dihadapai komoditas/produk Indonesia. Perkuat kemitraan stakeholder industri sawit dan benahi tatakelola, perbaikan kultur teknis dan bangun sinergi yang simbiosis mutualisme. Anak-anak bangsa LSM anti sawit jangan mau lagi menjadi kaki tangan praktik kolonialis. Jadilah LSM yang pro-merah putih yang mengkritisi untuk memberi masukan/solusi untuk perbaikan sawit berkelanjutan. Berkibarlah Merah Putih, tetaplah berkibar sawit Indonesia.
Source : Indonesiakita.or.id