
Harga CPO Diproyeksi Lebih Tinggi Tahun Depan
NUSA DUA – Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) internasional diperkirakan berada pada kisaran USD 710-720 per ton tahun depan. Perbaikan nilai jual itu, menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), datang dari sisi permintaan, karena tren konsumsi yang meningkat.
Proyeksi USD 710-720 per ton itu, ditujukan untuk harga lelang CPO di bursa CIF Rotterdam. Proyeksi ini lebih tinggi dibandingkan ramalan harga rerata CPO sepanjang tahun ini yang tertahan di kisaran USD 680-690 per ton.
Meski diprediksi lebih rendah, rerata harga CPO sepanjang Januari sampai awal November tahun ini mampu mencapai USD 716 per ton. Capaian itu lebih tinggi dari rata-rata harga CPO tahun lalu yang tercatat USD 700 per ton.
Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan mengatakan, ada beberapa faktor yang memengaruhi proyeksi harga tersebut. Pertama, melambatnya pertumbuhan produksi dari negara produsen utama CPO, yaitu Indonesia dan Malaysia.
“Secara keseluruhan, kami mengestimasi bahwa produksi di Indonesia akan melambat hanya sekitar 3 persen per tahun untuk kurun waktu 2015-2020,” ujar Fadhil saat perhelatan the 13th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) and 2018 Price Outlook di Nusa Dua, Bali, Jumat (3/11).
Dia menyebut, kondisi ini merupakan dampak karena kebijakan peremajaan perkebunan (replanting) kelapa sawit bagi petani kecil yang digagas pemerintah. Selain itu, pemerintah menunda atau melakukan mandatory terhadap penggunaan biodiesel dengan kadar 20 persen (B20).
“Ada pula kebijakan yang dibuat pemerintah mengenai moratorium izin pembukaan lahan perkebunan baru. Ini berhasil memperlambat pertumbuhan perkebunan kelapa sawit, sehingga memelankan laju produksi,” terangnya.
Perlambatan produksi tercermin dari angka produksi CPO yang diperkirakan hanya finis di angka 36,5 juta ton, dan penjualan benih yang menurun ke angka 72 juta benih pada tahun ini. Padahal, 2012 lalu, penjualan menembus angka 171 juta benih.
Begitu pula dengan produksi di Malaysia. Fadhil memperkirakan, pertumbuhan produksi CPO sesama negara produsen terbesar itu hanya tumbuh angka 0,7 persen tahun depan.
“Beberapa hal yang memengaruhi produksi Malaysia antara lain program replanting, kurangnya tenaga kerja, hingga fakta bahwa ketersediaan lahan juga sangat terbatas,” katanya.
Faktor kedua, dari sisi konsumsi diperkirakan akan tetap meningkat. Pasalnya, ada pertambahan populasi penduduk di seluruh belahan dunia, peningkatan besaran pendapatan masyarakat, meningkatnya daya saing, hingga penggunaan biofuel yang turut terkerek.
“Konsumsi negara-negara seperti India dan Tiongkok yang menjadi konsumen terbesar dan tujuan ekspor, diperkirakan meningkat. Bahkan, Indonesia saat ini tak hanya sebagai produsen dan eksportir terbesar, namun juga konsumen terbesar,” jelasnya.
Ketiga, ada pengaruh dari pergerakan harga sesama minyak nabati lain. Seperti minyak kedelai (soybean oil), minyak bunga matahari (sunflower oil), minyak rapeseed (rapeseed oil), dan lainnya. Bahkan, menurutnya, harga CPO juga akan dipengaruhi harga minyak mentah dunia.
Keempat, harga CPO turut dipengaruhi pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang dan kebijakan dari negara-negara tujuan ekspor. Khususnya Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS).
“Kami harap harga CPO pada 2018 bisa lebih stabil dan mencapai rata-rata USD 710-720 per ton, dengan ekspor dan konsumsi domestik yang turut meningkat,” pungkasnya. (man2/k15)
Source : Kaltim.prokal.co