Perkebunan sawit yang inklusif secara ekonomi, sosial dan ekologis memungkinkan manfaat kebun sawit tidak hanya dinikmati oleh mereka yang terlibat langsung dalam kegiatan kebun sawit tetapi juga dinikmati oleh masyarakat umum yang tidak terlibat secara langsung dengan kebun sawit.
Inklusifitas ekonomi dari kebun sawit selain kontribusinya dalam devisa juga tercermin dari peranan/kontribusinya dalam : pembangunan kawasan pedesaan, menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan dan dampak multiplier ekonomi perkebunan sawit. Demikian juga inklusifitas sosial kebun sawit tercermin dari: penyerapan tenaga kerja pedesaan, mengurangi kemiskinan.
Sedangkan inklusifitas ekologi kebun sawit antara lain ditunjukan oleh peranannya sebagai “paru-parunya” ekosistem yang menyerap dan mengurangi karbondioksida serta menghasilkan oksigen ke atmosfer bumi.
PENDAHULUAN
Sejak tahun 2015 masyarakat dunia melalui United Nations telah menetapkan platform pembangunan global 2015-2030 yakni pembangunan berkelanjutan atau disebut dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga dimensi yakni keberlanjutan secara ekonomi (economic sustainability), sosial (social sustainability) dan lingkungan (environment sustainability). Ketiga dimensi tersebut memiliki proporsi yang seimbang dalam menyumbang kualitas sustainability.
Sebagaimana dikemukakan World Bank (2013) dalam publikasinya yang berjudul : Inclusive Green Growth : The Pathway to Sustainable Development, mengungkapkan bahwa keberlanjutan tidak cukup hanya bertumbuh “hijau” (green growth) tetapi juga haruslah bersifat inklusif. Oleh karena itu, untuk mengukur sustainability memerlukan indikator inklusifitas baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi. Indikator-indikator inklusifitas masing-masing sektor mungkin berbeda-beda namun memiliki prinsip yang sama.
Dalam tulisan ini akan didiskusikan inklusifitas perkebunan sawit baik secara ekonomi, sosial maupun ekologis. Inklusifitas yang didiskusikan dalam tulisan ini masih bersifat gambaran umum dengan menggunakan berbagai indikator. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi pengantar untuk diskusi lebih lanjut dalam merumuskan indikator-indikator inklusifitas perkebunan sawit.
INKLUSIFITAS EKONOMI KEBUN SAWIT
Sejak awalnya di tahun 1980-an, pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia baik sebagai bagian dari pembangunan pertanian maupun pengembangan daerah (transmigrasi), ditujukan untuk membuka dan membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan. Daerah terbelakang, pinggiran, pelosok, terisolir, hinter land dikembangkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam konteks pembangunan kawasan pedesaan merupakan kegiatan ekonomi pioner.
Daerah pedesaan yang umumnya masih kosong, terisolasi dan terbelakang yang ditetapkan pemerintah untuk kawasan pembangunan perkebunan kelapa sawit, dikembangkan oleh perusahaan negara/BUMN dan atau perusahaan swasta sebagai inti dan masyarakat lokal sebagai plasma dalam suatu kerjasama PIR atau bentuk kemitraan yang lain. Mengingat daerah yang bersangkutan masih terisolasi, maka perkebunan swasta/BUMN harus membuka jalan/jembatan masuk (acces road), pembangunan jalan usaha tani (farm road), pembangunan kebun inti dan plasma, pembangunan perumahan karyawan, fasilitas pendidikan dan kesehatan, fasilitas sosial/umum dan pemeliharaan tanaman belum menghasilkan.
Berkembangnya perkebunan baru inti plasma menarik investasi petani lokal untuk ikut menanam kelapa sawit sebagai perkebunan rakyat mandiri. Umumnya jumlah perkebunan rakyat ini bertumbuh cepat dalam suatu wilayah sehingga luas kebun perkebunan rakyat mandiri secara total lebih luas dari kebun pola PIR. Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit baik inti, plasma maupun petani mandiri mendorong berkembangnya usaha kecil menengah-koperasi (UKMK) yang bergerak pada supplier barang/jasa industri perkotaan, maupun pedagang hasil-hasil pertanian/perikanan/peternakan untuk kebutuhan pangan masyarakat perkebunan kelapa sawit (Gambar 1). Pada tahap selanjutnya, pertumbuhan kelapa sawit khususnya setelah menghasilkan minyak sawit (CPO) di kawasan tersebut berkembang pusatpusat pemukiman, perkantoran, pasar, dan lain-lain sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan menjadi suatu agropolitan (kota-kota baru pertanian).
Menurut Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja (2014), sampai tahun 2013 setidaknya 50 kawasan pedesaan terbelakang/terisolir telah berkembang menjadi kawasan pertumbuhan baru dengan basis sentra produksi CPO. Antara lain Sungai Bahar (Jambi), Pematang Panggang dan Peninjauan (Sumatera Selatan), Arga Makmur (Bengkulu), Sungai Pasar dan Lipat Kain (Riau), Paranggean (Kalimantan Tengah) dan kawasan lain. Sebagian besar dari kawasan sentra produksi CPO tersebut telah berkembang menjadi kota kecamatan dan kabupaten baru di kawasan pedesaan.
Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah akibat pembangunan perkebunan sawit yakni sebagai berikut ini : (1) Provinsi Sumatera Utara (Stabat, Belarang, Sei Rampah, Limapuluh, Perdagangan, Rantau Prapat, Aek Kanopan, Aek Nabara, Kota Pinang, Sosa, Sibuhuan, Panyabungan dan lainnya), (2) Provinsi Riau (Pasir Pengaraian, Bangkinang, Siak Sri Indrapura, Rengat, Tembilahan, Bengkalis, Bagan Siapi-api, Teluk Kuantan, Dumai, Pekanbaru dan lainnya), (3) Provinsi Sumatera Selatan (Kota-kota seperti seperti Sungai Lilin, Tugumulyo, Pematang Panggang, Bayung Lencir, Musi Rawas, Peninjauan dan beberapa kota menuju kawasan barat Sumatera Selatan, antara lain dari Kota Muara Enim ke Kota Lahat), (4) Provinsi Jambi (Sarolangun, Sungai Bahar, Sengeti, Kuala Tungkal dan lainnya), (5) Provinsi Kalimantan Tengah (Sampit, Kuala Pembuang, Pangkalan Bun, Kasongan dan lainnya), (6) Provinsi Kalimantan Timur (Sangatta, Tenggarong, Tana Pase, Tanjung Redeb, Nunukan, Sendawar dan lainnya), (7) Provinsi Kalimantan Selatan (Batulicin, Kotabaru, Pelaihari dan lainnya), (8) Provinsi Sulawesi (Mamuju, Donggala, Bungku, Luwu, Pasangkayu dan lainnya).
Hasil studi PASPI, misalnya nilai transaksi (sales) produk-produk yang dihasilkan di perkotaan dan di pasarkan kepada masyarakat kebun sawit (petani sawit, karyawan perkebunan sawit) mencapai Rp. 336 triliun/tahun. Sementara transaksi (sales) antara produk-produk pertanian pedesaan (yang dihasilkan oleh petani pangan/peternak/nelayan) yang dipasarkan ke masyarakat kebun sawit mencapai Rp. 92 triliun/tahun. Hal ini terdiri dari sales petani pangan Rp. 54,6 triliun/tahun, sales peternak Rp. 24,1 triliun/tahun, dan sales nelayan Rp. 13,7 triliun/tahun. Dalam bahasa ekonomi kemitraan sawit tersebut menciptakan multiplier effect baik output, nilai tambah, pendapatan maupun kesempatan kerja.
Kemitraan perkebunan kelapa sawit di daerah pedesaan yang sebelumnya hanya antara perkebunan sawit swasta dan BUMN dengan perkebunan sawit rakyat (plasma dan mandiri) telah menarik perkembangan sektor-sektor lain di pedesaan. Hal ini secara evolusioner mengubah daerah yang sebelumnya terbelakang menjadi pusat pertumbuhan baru di pedesaan. Pernyataan ini juga terkonfirmasi oleh studi World Growth (2011) yang mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia bagian penting dari pembangunan pedesaan.
Dengan demikian perkebunan kelapa sawit yang pada masa kolonial bersifat eksklusif baik secara ekonomi maupun secara sosial, melalui pengembangan kemitraan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit yang inklusif. Manfaat ekonomi yang tercipta di sentra perkebunan kelapa sawit tidak hanya dinikmati oleh mereka yang memiliki kebun sawit tetapi juga dinikmati oleh mereka yang menjadikan masyarakat masyarakat kebun sawit sebagai pasar produknya. World Bank (2012) menyebut hal ini sebagai pembangunan/pertumbuhan inklusif (inclusive growth) yang dalam konteks ini perkebunan kelapa sawit yang inklusif.
INKLUSIFITAS SOSIAL KEBUN SAWIT
Indikator inklusif yang umum digunakan untuk mengukur social sustainability antara lain adalah dampaknya pada pembangunan pedesaan (rural development) dan pengurangan kemiskinan (poverty eradication). Dua indikator sosial yang inklusif tersebut sangat penting khususnya pada negara-negara yang sedang bertumbuh seperti Indonesia.
Dua indikator sosial eksklusif dalam perkebunan kelapa sawit yang penting adalah : (1) Berapa besar penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraanya yang tercipta dalam perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan (2) Berapa besar petani sawit berkembang akibat berkembangnya perusahaan perkebunan sawit baik dalam bentuk kemitraan (inti-plasma) maupun bentuk kemitraan kordinasi (kepastian pemasaran hasil maupun akses teknologi dan manajamen usaha).
Untuk kedua indikator tersebut sudah banyak studi-studi emperis yang mengungkapkannya. Teknologi perkebunan kelapa sawit yang padat karya (labor intensive) tentu saja menyerap banyak tenaga kerja dengan berbagai latar belakang keahlian. Studi PASPI (2015) menemukan bahwa jumlah tenaga kerja yang terserap pada perusahaan perkebunan sawit sekitar 67 persen merupakan tenaga kerja berpendidikan SLTP kebawah dan sisanya merupakan lulusan SLTA ke atas. Secara umum pendapatan yang diterima karyawan (uang tunai dan non tunai) telah diatas UMR bahkan diatas rataan propinsi pendapatan karyawan usaha sejenis dan lama bekerja, pendidikan yang sama.
Industri sawit berkontribusi pada penciptaan kesempatan kerja dan berusaha yang luas dan besar (Gambar 2). Sekitar 3 juta usaha keluarga (petani sawit), ribuan usaha menengah dan besar, ribuan suplier jasa/barang ikut terlibat dalam industri sawit. Jutaan penduduk yang berhasil keluar dari kemiskinan. Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada industri sawit mencapai sekitar 8,2 juta orang tahun 2016.
Untuk indikator sosial inklusif berbagai studi juga membuktikan bahwa dampak multiplier pertumbuhan perkebunan kelapa sawit juga cukup besar bagi pembangunan wilayah pedesaan maupun pengurangan kemiskinan. Jumlah supplier barang dan jasa yang diperlukan perkebunan kelapa sawit bertumbuh seiring pertumbuhan
kebun sawit. Demikian juga pertumbuhan kebun sawit juga menarik pertumbuhan usaha produksi bahan pangan (tanaman pangan, peternakan, perikanan) di sekitarnya.
Karena itu dampak multiplier (output, nilai tambah, pendapatan, penyerapan tenaga kerja) dari pertumbuhan perkebunan kelapa sawit menarik perkembangan (khususnya pendapatan dan penyerapan tenaga kerja) banyak sektor-sektor pembangunan pedesaan.
INKLUSIFITAS EKOLOGIS KEBUN SAWIT
Secara ekofisiologi kebun sawit seperti halnya hutan, juga bagian dari pada “paru-parunya” ekosistem. Paruparu memiliki peran yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia yang berfungsi untuk menyerap oksigen (O2) dan mengeluarkan karbondioksida (CO2). Karbondioksida merupakan sampah beracun dari metabolisme tubuh yang jika tidak dibuang akan meracuni tubuh kita. Sementara oksigen diperlukan untuk metabolisme di dalam tubuh supaya kita bisa hidup dan bertumbuh. Tanpa adanya oksigen kita semua akan mati.
Dalam atmosfir planet bumi, hal yang sama juga terjadi pada tubuh manusia. Setiap detik atmosfir bumi dijejali karbondioksida dari kegiatan manusia. Setiap detiknya, manusia, hewan, kendaraan bermotor serta pabrik-pabrik di seluruh dunia membuang (emisi) karbondioksida ke atmosfir bumi yang kita kenal saat ini sebagai gas rumah kaca.
Menurut laporan lembaga dunia, pembuang sampah karbondioksida terbesar (70 persen) adalah kegiatankegiatan yang menggunakan bahan bakar minyak bumi seperti kendaraan bermotor, pabrik-pabrik dan lainnya. Pembuang terbesar karbondioksida ke atmosfir bumi adalah negaranegara maju yang menggunakan bahan bakar minyak bumi terbesar serta negara-negara yang memiliki jumlah penduduk tinggi. Akibatnya, udara bumi menjadi semakin panas yang kita kenal dengan istilah pemanasan global (global warming). Hal ini yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim dunia (global climate change) seperti kekeringan, badai, banjir dan lain-lain.
Oleh karena itu dalam konteks ekosistem dunia, peranan suatu sektor pembangunan dalam mengurangi emisi dan menyerap emisi karbon dari atmosfer bumi merupakan indikator yang sangat penting dalam inklusifitas ekologi. Suatu kegiatan ekonomi yang mampu menyerap karbondioksida dari atmosfer bumi dan atau mengurangi emisi karbondioksida ke atmosfer bumi, lebih inklusif dari segi ekologi dibandingkan dengan sektor-sektor yang mengeluarkan emisi karbon ke atmosfer bumi.
Tuhan Yang Maha Esa menciptakan tanaman kelapa sawit (termasuk semua tumbuhan) di bumi sebagai paru-paru ekosistem (Gambar 4). Melalui fotosintesa yang dilakukan kelapa sawit, karbondioksida yang ada di atmosfir bumi diserap tanaman kelapa sawit. Lewat metabolisme tanaman tersebut, karbondioksida dipecah menjadi karbon dan oksigen. Karbon kemudian diproses dan dirubah menjadi tubuh tanaman kelapa sawit (akar, batang, daun) dan minyak sawit untuk kebutuhan manusia. Sedangkan oksigen untuk kehidupan manusia, yang kita hirup saat menarik nafas.
Setiap hektar kebun sawit menyerap sekitar 161 ton karbondioksida setiap tahun dan menghasilkan oksigen sekitar 18,7 ton. Semakin besar produksi kebun sawit semakin banyak karbondioksida yang diserap kelapa sawit dari udara bumi dan semakin banyak pula oksigen yang dihasilkan ke udara bumi untuk manusia.
Minyak sawit dari kelapa sawit juga sudah digunakan untuk bahan bakar (biodiesel) agar dapat mengurangi penggunaan bahan bakar minyak bumi yang mengotori udara bumi. Dengan mengganti solar dengan biodiesel, telah terbukti mengurangi 62 persen karbondioksida yang dibuang ke udara bumi (European Commission, 2012).
KESIMPULAN
Inklusifitas ekonomi dari kebun sawit selain kontribusinya dalam devisa juga tercermin dari peranan/kontribusinya dalam : pembangunan kawasan pedesaan, menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan dan dampak multiplier ekonomi perkebunan sawit. Demikian juga inklusifitas sosial kebun sawit tercermin dari: penyerapan tenaga kerja pedesaan, mengurangi kemiskinan. Sedangkan inklusifitas ekologi kebun sawit antara lain ditunjukan oleh peranannya sebagai “paru-parunya” ekosistem yang menyerap dan mengurangi karbondioksida serta menghasilkan oksigen ke atmosfer bumi.
Dengan inklusifitas ekonomi, sosial dan ekologis perkebunan sawit maka manfaat ekonomi, sosial, dan ekologi kebun sawit tidak hanya dinikmati oleh mereka yang terlibat langsung dalam kegiatan kebun sawit tetapi juga dinikmati oleh masyarakat umum yang tidak terlibat secara langsung dengan kebun sawit.
Tim Riset PASPI | Monitor Vol. III. No. 47