Skip to content

Harapkan Perdagangan Minyak Sawit Yang Adil & Tidak Diskriminatif

ROMA, KOMPAS –  Dialog antar pemangku kepentingan industri dan perdagangan minyak kelapa sawit di tingkat global, terutama di Eropa, menjadi kunci untuk mengatasi hambatan perdagangan. Lewat dialog diharapkan terjadi perdagangan minyak sawit yang adil dan tidak diskriminatif sehingga industri dapat tumbuh dan lingkungan hidup tetap terjaga.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi panel pada acara Konferensi Internasional bertema “Eradicating Poverty through the Agriculture and Plantation Industry to Empower Peace and Humanity” di Pontifical Urban University, Roma, Italia. Tampil sebagai narasumber antara lain Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Mahendra Siregar, Governor of Edo State, Nigeria Godwin Obaseki, dan Duta Besar Indonesia di Vatikan Antonius Agus Sriyono.

Saat membacakan ringkasan konferensi itu, Agus Sriyono, Selasa sore (15/5/2018), di Pontifical Urban University, mengungkapkan, para pembicara menekankan pentingnya upaya meningkatkan dialog di antara pemangku kepentingan dalam mengatasi perdebatan terkait isu pembangunan ekonomi, terutama terkait sektor perkebunan dan industri kelapa sawit dengan isu lingkungan.

Dengan demikian diharapkan tercapai keseimbangan antara aktivitas manusia dalam pembangunan ekonomi dan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Selain itu, lanjut Agus Sriyono, dalam diskusi panel dalam konferensi itu ditekankan kepentingan masyarakat global untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDG’s) yang bermuara pada keseimbangan pembangunan ekonomi dan sosial dan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Agus menambahkan, dalam konferensi tersebut, pesan yang ingin disampaikan kepada pengambil kebijakan, pelaku industri sawit, dan masyarakat adalah menumbuhkan kesadaran lebih tinggi mengenai pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.

keharmonisan antara kemajuan ekonomi dan sosial dengan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang sangat penting untuk menjamin kualitas hidup generasi mendatang.

Kerugian

Mahendra mengatakan, jika Uni Eropa melarang produk minyak sawit, yang akan mengalami kerugian tidak hanya negara produsen, melainkan juga negara-negara Uni Eropa, terutama industri pengguna produk turunan minyak sawit.

Produk minyak sawit, lanjut Mahendra, tidak hanya terkait dengan biodiesel melainkan juga banyak produk turunan dari minyak sawit yang dibutuhkan industri pengguna. Tidak mudah mencari substitusi minyak sawit yang dibutuhkan industri pengguna karena hal itu bisa menjadi kurang efisien dan mahal.

Uni Eropa diharapkan tidak menerapkan kebijakan atau aturan yang diskriminatif

Mahendra menambahkan, dari segi volume, sebenarnya ekspor minyak sawit ke Uni Eropa sudah mengalami penurunan yang signifikan saat ini dibandingkan tahun 1990-an. Produk minyak sawit lebih banyak diekspor ke negara berkembang seperti India.

Meskipun demikian, menurut Mahendra, dari sisi kebijakan dan aturan, Uni Eropa diharapkan tidak menerapkan kebijakan atau aturan yang diskriminatif terhadap produk minyak nabati termasuk minyak sawit.

Dari data yang ada, dari total ekspor produk minyak sawit dan turunannya tahun 2017 sebesar 31,05 juta ton, ekspor terbesar ke India sebanyak 7,62 juta ton, Eropa 5,02 juta ton, China 3,71 juta ton, Afrika 2,87 juta ton, Pakistan 2,21 juta ton, Timur Tengah 2,12 juta ton, Bangladesh 1,25 juta ton, dan Amerika Serikat 1,18 juta ton.

Kompas | Kamis, 17 Mei 2018

Post View : 483
EnglishIndonesia