5 Wujud Perubahan Revolusioner Pembangunan Kelapa Sawit Indonesia

Dalam sejarah pembangunan ekonomi dunia, revolusi hijau (green revolution) telah membawa masyarakat dunia terlepas dari bencana kekurangan pangan. Di Indonesia revolusi hijau terjadi pada pertanian padi yang telah membawa Indonesia dari negara importir beras terbesar dunia menjadi negara berswasembada beras pada tahun 1984. Produksi beras Indonesia meningkat dari hanya sekitar 2.4 juta ton tahun 1970 meningkat menjadi 25 juta ton tahun 1984 dan menjadi 33 juta ton tahun 1995 atau meningkat hampir 14 kali lipat dalam 25 tahun.

Barangkali luput dari perhatian para ahli pembangunan, perkebunan sawit Indonesia juga mengalami perkembangan yang cepat dan dapat dikategorikan sebagai suatu revolusi sawit. Produksi CPO Indonesia meningkat cepat dari sekitar 2.4 juta ton tahun 1990 menjadi sekitar 37 juta ton tahun 2017 atau dalam 27 tahun meningkat 16 kali lipat. Berbeda dengan revolusi padi di Indonesia yang dibiayai dan digerakkan oleh Pemerintah, revolusi sawit tersebut digerakkan dan dibiayai pelaku usaha yakni investasi swasta dan rakyat (smallholder).

Bigpush strategy tampaknya dapat menjelaskan revolusi pembangunan perkebunan kelapa sawit Indonesia. Kombinasi investasi korporasi (BUMN dan swasta) dengan pola kemitraan korporasi dengan petani dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah terbelakang dapat dikategorikan sebagai bigpush investmentBigpush strategy tersebut melahirkan revolusi luas areal dan produksi, revolusi sawit rakyat, revolusi pertumbuhan pusat-pusat ekonomi baru, revolusi pangsa Indonesia dalam minyak sawit dunia dan revolusi ekspor minyak sawit Indonesia. Setidaknya terdapat 5 wujud perubahan revolusioner pada pembangunan perkebunan kelapa sawit Indonesia.

Pertama, Revolusi Luas Areal dan Produksi. Perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat dari 4.1 juta hektar (2000) menjadi 14 juta hektar (2017). Kedua, Revolusi Sawit Rakyat. Pesatnya perkembangan pola kemitraan perkebunan kelapa sawit antara korporasi dengan petani, melahirkan percepatan perkebunan sawit rakyat sebagai salah satu pelaku usaha penting. Percepatan pertumbuhan kelapa sawit rakyat telah merubah komposisi pengusahaan perkebunan kelapa sawit nasional yang revolusioner tahun 1980 pangsa sawit rakyat hanya 2 persen meningkat menjadi 26 persen tahun 1990 dan pada tahun 2017 pangsa sawit rakyat telah mencapai sekitar 40 persen.

Ketiga, Revolusi Pertumbuhan Pusat-Pusat Ekonomi Baru. Perkebunan kelapa sawit di daerah pedesaan merupakan lokomotif pembangunan ekonomi pedesaan. Melalui pengembangan perkebunan kelapa sawit investasi baru meningkat cepat sedemikian rupa sehingga dapat mengubah daerah terbelakang menjadi pusat pertumbuhan baru di pedesaan.

Keempat, Revolusi Pangsa Indonesia dalam Minyak Sawit Dunia. Percepatan peningkatan produksi CPO Indonesia masih berlanjut terus, pada tahun 2006 pangsa Indonesia berhasil mengungguli Malaysia yang sebelumnya menjadi produsen minyak sawit terbesar dunia. Dan saat ini tahun 2017 pangsa Indonesia 58 persen sedangkan pangsa Malaysia hanya 29 persen dari produksi minyak sawit dunia.

Kelima, Revolusi Ekspor Minyak Sawit Indonesia. Nilai ekspor CPO dan produk turunannya mengalami peningkatan dari USD 1.08 miliar (2000) meningkat menjadi USD 21,6 miliar (2011) kemudian menjadi USD 23 miliar (2017). Besarnya nilai ekspor minyak sawit tersebut merupakan suatu net ekspor yang terbesar untuk ukuran satu kelompok komoditi dalam perekonomian Indonesia.

Devisa hasil ekspor minyak sawit tersebut dari sudut pandang pembangunan juga lebih berkualitas dan berkelanjutan karena (1) dihasilkan dari kebun-kebun sawit pada 190 kabupaten di Indonesia, (2) sekitar 40 persen disumbang oleh sawit rakyat, (3) komposisi produk olahan hasil hilirisasi domestik makin besar dan (4) dihasilkan dengan kreatifitas pelaku perkebunan dan tidak menggunakan subsidi dari pemerintah.

Source : Sawit.or.id

EnglishIndonesia