
Catatan di Balik Gempa Lombok : Saat Santap Sambal Plecing, Meja Makan Berguncang
Oleh Tofan Mahdi*
Kunjungan saya ke Lombok, NTB, kali ini dijadwalkan hanya sehari. Dengan penerbangan pertama GA 434, saya bersama dua pengurus pusat Gapki.
Bersama Pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia dan dua staf, mendarat tadi pagi di Praya pukul 8 Wita. Kunjungan sehari ini adalah untuk menyerahkan bantuan dari Gapki kepada para korban gempa Lombok Tengah beberapa waktu lalu.
Kami menyerahkan bantuan di tiga desa: Desa Obel-Obel, Belanting, dan Kukuk Putik. Dari tiga desa tersebut, kerusakan akibat gempa di Desa Kukuk Putik yang tampak paling parah. Banyak bangunan rumah, sekolah, dan musala yang roboh. Tenda-tenda penampungan sementara didirikan sepanjang jalan provinsi yang menembus kaki Gunung Rinjani.
Pukul 19.00 kami tiba di Kota Praya dan langsung menuju rumah makan ayam taliwang khas NTB. Sajian ayam goreng dan sambal plecing memang membuat siapa pun ketagihan. Nasi kedua siap saya taruh di piring sebelum tiba-tiba meja makan kami berguncang keras. Atap rumah makan yang terbuat dari seng juga bergerak keras.
Saya belum sadar dengan apa yang terjadi hingga saya mendengar teriakan, “Gempa, Pak. Gempa, Pak,” kata Arie, staf saya. Para pengunjung juga tampak semburat keluar. Tak berpikir panjang, HP yang saya charge saya tarik dan langsung lari tunggang langgang. Belum juga sampai di halaman rumah makan, lampu tiba-tiba padam. Beberapa perempuan yang panik terdengar beristigfar. Sebagian lainnya juga menyebut asma Allah. “Ada gempa lagi, Pak, katanya lebih besar,” kata seorang pelayan rumah makan. “Ada tsunami juga infonya,” imbuh dia.
Suasana panik menyelimuti kami. Mobil dan motor berlalu lalang seraya membunyikan klakson. Sekitar 15 menit, situasi mulai tenang meski informasi telah terjadi tsunami sudah didengar banyak orang.
Kami pun bergegas menuju hotel. Ahmad tancap gas, sesekali menenangkan kami. “Kalau tsunami di sini aman Pak, jauh dari langit. Keluarga kami yang sudah diminta mengungsi.”
Tiba di Hotel D Max Praya, halaman sudah sangat ramai. Para pengunjung berhamburan keluar, sebagian berdiri di lobi hotel. Beberapa petugas hotel tampak membersihkan bekas-bekas reruntuhan. Ada tembok atau batu bata yang runtuh.
Di tengah kepanikan itu, HP saya terus berdering. Ada dari teman, wartawan, juga tentu saja istri dan anak-anak di Jakarta. Saya berusaha menguasai diri sendiri dulu sebelum benar-benar menganalisis situasi yang terjadi. Beberapa wisatawan asing tampak check out dan memilih meninggalkan hotel. Entah mereka pergi ke mana, toh semua di Lombok terdampak gempa.
“Kawan surfing saya tadi, sekarang belum bisa dihubungi,” kata Hanna, turis dari Belanda. Beberapa tamu hotel tampak sibuk dengan telepon menghubungi sanak saudara.
Kondisi benar-benar tidak stabil selama hampir dua jam. Ada saat kami lagi asyik duduk di lobi, tiba-tiba ada guncangan lagi. Hingga akhirnya sekitar pukul 22.00 Wita, BMKG mencabut peringatan tsunami dan menyatakan tidak terlihat potensi gempa susulan lagi.
Meski demikian, saya dan sebagian besar tamu hotel memilih tidur di lobi. Ada yang di kursi sofa, di lantai, juga di kursi restoran hotel. Kami, saya, dan tiga kolega dari Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) bersyukur memutuskan segera turun ke Praya segera setelah acara penyerahan bantuan kepada korban gempa di Lombok Timur usai sekitar pukul 16.00. Tidak bisa kami bayangkan seandainya kami bertahan lebih lama di sana.
Source : Jawapos.com