Skip to content

Direktur Eksekutif GAPKI : Perlu Ada Aturan Peralihan Pascaputusan MK

Tiga tahun pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah syarat legalitas lahan perkebunan, pelaku usaha kelapa sawit masih menantikan kepastian hukum yang bisa memayungi investasi yang sudah berjalan.

Legalitas kebun sawit di Indonesia memerlukan penyesuaian setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 138 Tahun 2015 yang merevisi ulang UU No. 39/2014 tentang Perkebunan khususnya Pasal 42.

Pascaterbitnya putusan tersebut, pembangunan perkebunan sawit hanya boleh dilakukan jika investor telah mengantongi sertifikat hak guna usaha (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP), tidak boleh hanya salah satu.

Padahal, pelaku usaha dan petani yang sudah menjalankan usahanya lebih banyak mengacu pada UU No.39/2014 Pasal 42 yakni pengembangan kebun sawit atau pengolahan CPO dapat dilakukan jika investor telah memiliki salah satu sertifikat itu.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono mengatakan perlu ada peraturan peralihan setelah pascaputusan MK. Menurutnya, kalau tidak ada kepastian aturan dapat menjadi bumerang bagi industri dalam negeri.

“Makanya kita mengusulkan ada aturan peralihan bahwa investasi yang sudah kita tanam itu masih bisa berlanjut. Kalau kita berinvestasi kan tidak asal-asalan, mesti ada izin usaha perkebunan kalau tidak ada tidak mungkin kita melakukan investasi,” tegasnya pada Rabu (5/9).

Mukti menyampaikan meskipun keputusan MK belum secara efektif dijalankan dalam kurun waktu tiga tahun belakangan, tapi pemerintah tetap perlu menyediakan peraturan lain yang memastikan peluang penyelesaian masalah kepemilikan HGU. Jangan sampai investasi yang sudah ditanamkan oleh pelaku usaha langsung diputuskan menjadi tidak berlaku karena tidak memiliki HGU.

Selain itu, pelaku usaha, kata Mukti, menginginkan kepastian kapan waktu penyelesaian HGU, baik lahan bekas area penggunaan lain maupun bekas hutan produksi konversi. “Perlu dipertimbangkan [agar] pemerintah menyediakan lahan yang sudah clean and clear sehingga proses perolehan lahan tidak lagi dilakukan oleh pengusaha atau investor.”

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian Dedi Junaedi mengatakan salah satu putusan MK terkait Pasal 42 UU 39/2014 tentang Perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan sawit harus menyelesaikan dulu HGU dan IUP sebelum memulai usaha perkebunan.

“Bagi kami Ditjen Perkebunan, justru dengan adanya putusan MK tersebut mendorong perusahaan segera memproses perizinan, IUP dan HGU, sehingga bisa mendorong juga percepatan sertifikasi ISPO [Indonesia Sustainable Palm Oil],” katanya.

Menurutnya, HGU adalah salah satu prasyarat untuk mendapatkan sertifikasi ISPO. Nah, selama ini yang menjadi hambatan utama adalah aspek legalitas lahan karena banyak perusahaan setelah mendapatkan IUP tidak segera mengurus HGU.

SERTIFIKASI

Sementara itu, Direktur Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Indonesia Tiur Rumondang mengatakan karena keputusan MK itu memicu diskusi lebih lanjut di Dewan Gubernur (Board of Governor) RSPO.

Menurutnya, Dewan Gubernur RSPO kemudian memutuskan untuk merevisi persyaratan RSPO terutama terkait ketentuan bagi unit kelola yang sudah mendapatkan sertifikat RSPO.

Bagi perusahaan perkebunan anggota RSPO yang belum bersertifikat dan ingin mengajukan sertifikasi RSPO, maka perusahaan tersebut harus menunjukkan bukti kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk unit yang akan disertifikasi.

“Sementara itu, bagi perusahaan perkebunan yang saat ini sudah bersertifikat RSPO tetapi belum memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) maka sertifikat tetap berlaku dan dapat melanjutkan ke proses resertifikasi,” katanya.

Ketentuan tersebut berlaku sejak 13 Juli 2018 atau sejak dikeluarkannya pemberitahuan sampai dengan akhir 2019. Tiur mengatakan, Dewan Gubernur RSPO akan meninjau kembali penerapan keputusan tersebut dan akan memberikan panduan lebih lanjut terkait hal ini kemudian.

Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK) Bahrul Ilmi Yakup mengatakan persoalan putusan MK No.138/2015 sebetulnya bukan pada hak atas tanah, melainkan pada penyatuan unit hak atas tanah dengan izin perkebunan, dan pada pembukaan penguasaan perkebunan oleh anggota masyarakat adat secara semena-mena yang mengancam eksistensi dan kepentingan perusahaan perkebunan.

“Maka itu putusan tersebut bisa ditinjau ulang dengan perspektif yang lain, dalam hal ini kepentingan perusahaan perkebunan. Pelaksanaan putusan tersebut bisa ditindaklanjuti dengan peraturan oleh lembaga terkait apakah Peraturan Menteri atau daerah,” katanya.

Bungaran Saragih, Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), mengatakan berdasarkan putusan itu, legalitas perkebunan sawit didapat hanya jika lahan tersebut memiliki status HGU.

“Dulu bahkan bukan IUP, malah bukan HGU juga, petani disuruh tanam dulu. Pekerjaan rumah kita sangat besar sekali. Pasalnya 12 juta hektare [kebun sawit Indonesia], [belum jelas] berapa persen yang HGU. Menurut [hukum] legalitas kita, [kebun] itu tidak legal,” katanya.

Menurutnya, butuh waktu untuk menindaklanjuti keputusan MK, tapi harus ada yang menjembatani. Pemerintah, katanya, harus cari jalan secepat mungkin agar status legalitas ini tidak dipersoalkan sebelum keputusan tersebut dijalankan secara riil.

Bisnis Indonesia | Kamis, 6 September 2018 | LEGALITAS LAHAN PERKEBUNAN : Penantian Pengusaha Sawit

Post View : 885
EnglishIndonesia