
GAPKI : Berharap INPRES Jadi Momentum Pengelolaan Perkebunan Yang Lebih Baik
Gapki menilai Inpres moratorium selama tiga tahun ke depan tidak berdampak signifikan pada produksi kelapa sawit
JAKARTA. Terbitnya Inshruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan sefta Peningkatkan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit ditanggapi hatihati para pelaku usaha kelapa sawit. Mereka berharap beleid ini tidak multitafsir sehingga merugikan pengusaha.
Sebagai pihak yang menjadi sasaran Inpres, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengaku belum mengeluarkan sikap resmi. “Dalam penyusunan maupun pelaksanaan di lapangan, jangan multitafsir dan tidak memberikan disinsentif bagi pengusahaan kelapa sawit,” ujar Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono kepada KONTAN, Ahad, (23/9).
Gapki berharap terbitnya Inpres ini menjadi momentum untuk pengelolaan perkebunan yang lebih baik. Gapki juga berharap beleid ini memberikan kepastian berusaha di bidang kelapa sawit. Dia menilai, Inpres ini tidak akan berdampak signifikan pada produksi kelapa sawit dalam tiga tahun ke depan. “Karena produksi sawit tiga tahun mendatang adalah tanaman yang berumur lebih dari empat tahun,” ucapnya.
Direktur Corporate Affairs Asian Agri Fadhil Hasan menolak berkomentar panjang soal Inpres ini. Ia mengatakan pihaknya masih akan menunggu sikap resmi yang diputuskan asosiasi dalam waktu dekat. “Kami akan menunggu keputusan dari Gapki, karena sampai sekarang masih dibahas,” ujarnya singkat.
Evaluasi izin
Seperti diketahui Inpres 8 Tahun 2018 diteken Presiden Jokowi pada 19 September 2018. Inpres ini berlaku selama tiga tahun sejak tanggal diterbitkan. Dalam Inpres ini, pemerintah akan mengevaluasi dan menata kembali perizinan perkebunan sawit. Salah satu tujuannya adalah memastikan kelestarian lingkungan tetap terjaga.
Jokowi memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian melakukan koordinasi penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan sawit, serta peningkatan produktivitas kelapa sawit. Lalu Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diminta menunda pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan sawit. KLHK juga diminta mengidentifikasi perkebunan kelapa sawit yang terindikasi berada dalam kawasan hutan dan memastikan alokasi 20% lahan sawit rakyat, dijalankan perusahaan.
Menteri Pertanian harus menyusun dan verifikasi data dan peta izin usaha perkebunan sawit, sekaligus Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan Kelapa sawit. Lalu Menteri Agraria dan Tata Ruang bertugas untuk mengevaluasi HGU kebun sawit. Jokowi juga meminta Gubernur menunda penerbitan rekomendasi atau izin usaha perkebunan kelapa sawit dan izin membuka lahan baru di kawasan hutan.
Atas instruksi ini, Kemtan mengaku siap mengevaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini. Dirjen Perkebunan Kemtan Bambang mengatakan, penundaan perluasan bukan berarti menghentikan total kegiatan perkebunan. “Jadi kita mengevaluasi izin yang diberikan, karena belum semua yang mendapat izin melaksanakan ketentuan. Ada yang sudah mendapatkan izin, namun penanaman masih sebagian sehingga perlu dipercepat, ada yang sudah mendapatkan izin tetapi ditetapkan sebagai kawasan dan lainnya,” ucapnya.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemko Perekonomian Musdalifah Mahmud berharap moratorium ini membuat tata kelola perkebunan kelapa sawit Indonesia meniadi lebih baik. Sedang Arie Rompas, Team Leader Juru kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, menilai Inpres tersebut penuh ceiah dan tidak konsisten. “Tidak ada sanksi bagi pihak yang melanggar,” ucapnya.
Kontan | Senin, 24 September 2018 | Moratorium Sawit Jangan Multitafsir