Skip to content

Pajak Impor Minyak Sawit Perancis dan Embodied Deforestasi Uni Eropa

Argumen negara-negara di Uni Eropa (EU) untuk memberlakukan pajak deforestasi dan menuntut sertifikasi berkelanjutan pada minyak sawit yang masuk ke EU semakin tidak beralasan dan sangat diskriminatif. Hal ini telah dibuktikan sendiri oleh komisi Uni Eropa.

Villa-Tanjung-Nusa-Lembongan-Bali

Pajak Impor Minyak Sawit Perancis dan Embodied Deforestasi Uni Eropa

Seperti yang telah diberitakan, bahwa pemerintah Perancis merencanakan untuk menerapkan tarif impor minyak sawit yang progresif dan regresif. Semula Perancis  akan memberlakukan pungutan impor minyak sawit yakni sebesar 300 euro (2017) meningkat menjadi 500 euro (2018). Kemudian di tahun 2019 menarik pungutan yang lebih besar lagi yakni 700 euro (2019) dan 900 euro (2020) untuk setiap ton minyak sawit yang masuk ke negara tersebut. Selain itu, jika CPO digunakan untuk makanan akan dikenakan tambahan pajak ad valorem. Pungutan tersebut diberlakukan sebagai pajak lingkungan (Pigouvian tax) untuk menginternalisasi eksternalitas negatif dari proses produksi dan konsumsi minyak sawit.

Meskipun akhirnya rencana pungutan tersebut diturunkan menjadi separuhnya dari semula, tetap saja pungutan tersebut dinilai tidak beralasan dan diskriminatif. Sebab, komoditas utama impor EU yakni kedelai dan daging sapi (beef) dari hasil deforestasi  Amerika Selatan tidak diberlakukan kebijakan yang sama. Hal ini telah dibuktikan sendiri dari studi  komisi EU.

Komisi EU telah melakukan studi kaitan antara konsumsi komoditas yang diimpor EU dengan deforestasi (embodied deforestation) atau dalam terminologi ekonomi disebut eksternalitas negatif  (comsumption diseconomies).  Dalam laporan studi European Commission (2013) : The Impact of EU Consumption on Deforestation, terungkap bahwa dalam periode 1990 – 2008 untuk kebutuhan pangan masyarakat EU (feeding the EU) dipenuhi dari hasil deforestasi seluas 10 juta hektar diberbagai negara.

Rincian dari 10 juta hektar tersebut diantaranya kacang kedelai 41 persen (4.14 juta Ha) dari Brazil, Argentina, Paraguay dan 13 persen (1.3 juta Ha) berupa ranch sapi potong dari Amerika Selatan. Sedangkan minyak sawit hanya 0.8 persen ( 0.8 juta Ha) yakni dari Indonesia dan Malaysia.

Dengan hasil studi European Commission tersebut, sangat jelas bahwa hasil deforestasi terbesar yang memasok Eropa adalah kacang kedelai dan daging sapi. Jika EU memaknai deforestasi sebagai eksternalitas negatif  dan menggunakan pajak eksternalitas negatif sebagai cara internalisasi eksternalitas negatif maka seharusnya diterapkan juga pada impor kedelai dan daging sapi dari Amerika Selatan. Kedua komoditas impor EU tersebut mencapai 54 persen embodied deforestasi EU. Sedangkan minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia kontribusinya sangat kecil yakni hanya kurang dari satu persen.

Dengan data tersebut, EU termasuk Prancis yang akan memberlakukan tarif impor dan persyaratan sertifikasi sustainability hanya pada minyak sawit jelas bukan hanya tidak adil (bertentangan dengan WTO) tetapi juga melakukan pembohongan pada publik sendiri. Kontribusi minyak sawit dalam embodied deforestasi EU sangat kecil yakni kurang dari 1 persen. Sedangkan kontribusi kedelai dan daging sapi yang diimpor EU dari Amerika Selatan menyumbang 54 persen. Oleh karena itu, Indonesia dan Malaysia sebagai produsen utama minyak sawit perlu mengajukan protes tertulis atas rencana EU maupun Perancis.

ImageCredit: Nusa Lembongan, Bali via tanjungbali.com

Source Link

Post View : 889
EnglishIndonesia