Skip to content

Proyeksi Vegetable Oil Dunia Tahun 2025 : Bagaimana Posisi Indonesia Di Masa Mendatang?

Persoalan yang paling dominan saat ini dalam minyak nabati adalah adanya perang dagang (global trade war) dan upaya me-leading pasar, dan juga persoalan proteksi komoditas domestik dengan memunculkan berbagai hambatan perdagangan global. Tulisan ini bertujuan menganalisis bagaimana kondisi Vegetabe oil di pasar dunia serta posisi Indonesia hingga 10 tahun ke depan (proyeksi tahun 2025), dengan menggunakan data OECD-FAO 2016.

Analisis data proyeksi hingga tahun 2025 memberikan gambaran dan arah perkembangan minyak nabati dunia. Growth (laju pertumbuhan) minyak nabati dunia rata-rata 2,36 persen per tahun, sedangkan CPO bertumbuh lebih pesat, yakni 2,75 persen per tahun. Hal ini menunjukkan industri minyak sawit memiliki peran penting sebagai salah satu sumber minyak nabati terbesar di dunia.

Seiring dengan berbagai kebijakan Uni Eropa, terlihat trend penurunan konsumsi nabati di Uni Eropa di masa mendatang. Dan hal ini berdampak pada penurunan konsumsi minyak nabati ke Uni Eropa. Namun impor minyak nabati Uni Eropa masih relatif tinggi, yakni 28 persen dari konsumsinya, dan perkembangan ke tahun 2005, juga tetap tinggi, yakni 30 persen dari total konsumsinya.

Hal ini menunjukkan bahwa upaya Uni Eropa untuk menghentikan CPO ke Uni Eropa adalah sulit diimplememtasikan. Indonesia memiliki peran yang lebih besar dibandingkan dengan Malaysia, dan hal ini akan mendorong industri minyak sawit Indonesia di masa mendatang.

PENDAHULUAN

Persoalan pangan dan pertanian merupakan sebuah sistem yang memiliki berbagai fungsi penting bagi kesejahteraan umat manusia. Salah satu peran pentingnya adalah untuk menyediakan pasokan makanan yang sehat, bergizi, cukup dan dapat diandalkan dalam konteks keamanan pangan global. Untuk memenuhi peran kunci tersebut, produktivitas pertanian harus meningkat secara berkelanjutan.

Selain kelompok serealia, daging dan ikan (sumber protein) dan lainnya, vegetable oil (minyak nabati) merupakan salah satu fokus perhatian dunia. Komoditi yang memiliki permasalahan yang cukup kompleks, karena mencakup beragam komoditas serta meliputi sejumlah kepentingan dari masing- masing negara produsen dan negara konsumen serta munculnya beragam persoalan.

Persoalan yang paling dominan saat ini dalam minyak nabati adalah adanya perang dagang (global trade war) dan upaya me-leading pasar, dan juga persoalan proteksi komoditas domestik dan memunculkan berbagai hambatan dalam perdagangan global.

Tahun 2006, Indonesia berhasil mengalahkan dominasi Malaysia dalam minyak sawit dunia, dan kemudian tahun 2009 CPO berhasil mengungguli dominasi minyak kedelai (soybean oil) di pasar minyak nabati dunia. Hal ini kemudian membawa posisi Indonesia menjadi negara yang sangat penting di pasar minyak nabati dunia. Namun hal ini membawa beragam konsekuensi, yakni beragam upaya yang sedang dihadapi Indonesia saat ini, muulai dari kampanye negatif yang dituduhkan dalam perang dagang antara minyak kedelai (USA) dengan minyak sawit Othman 1995, PASPI, 2017), serta beragam kebijakan negara Uni Eropa yang berupaya keras untuk memperlambat bahkan menghentikan petumbuhan minyak sawit Indonesia, baik dari sisi supply, maupun dari sisi demand hingga gerakan konsumen Eropa untuk mengentikan konsumsi CPO (PASPI, 2017).

Tulisan ini bertujuan menganalisis bagaimana kondisi Vegetabe oil di pasar dunia hingga 10 tahun ke depan (proyeksi tahun 2025), dengan menggunakan data OECD-FAO 2016.

Kebijakan Uni Eropa saat ini dihipotesakan akan berdampak pada pengurangan konsumsi minyak nabati (pengurangan CPO), lalu bagaimana posisi Indonesia dalam konteks minyak nabati global?

GLOBAL EXCESS DEMAND MINYAK NABATI DUNIA

Dalam satu dekade ke depan, produksi minyak nabati dunia akan bertambah 49.5 juta ton dari 169,4 juta ton (2014) menjadi 218,9 juta ton (2025). Sedangkan konsumsi minyak nabati dunia akan bertambah 50.8 juta ton dari 167,5 juta ton (2014) menjadi 218,3 juta ton (2025) (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan konsumsi lebih besar dibandingkan dengan pertambahan produksi.

Rata-rata laju pertumbuhan produksi adalah 2,36% per tahun, sedangkan pertambahan konsumsi memiliki laju yang lebih besar, yakni 2,45% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa di pasar minyak nabati global masih terjadi fenomena global excess demand.

Hal ini berbeda dengan sejumlah pendapat yang memperkirakan adanya kelebihan produksi (over supply) pada minyak nabati dunia, khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Namun selisih antara produksi dan konsumsi tersebut bertujuan untuk memenui permintaan untuk stok (persediaan).

Hal ini berbeda dengan sejumlah pendapat yang memperkirakan adanya kelebihan produksi (over supply) pada minyak nabati dunia, khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Namun selisih antara produksi dan konsumsi tersebut bertujuan untuk memenui permintaan untuk stok (persediaan).

Seiring dengan laju konsumsi yang memiliki trend positif, maka volume minyak nabati yang diperdagangkan (ekspor) juga bertambah 22,2 juta ton dari dari 69,9 juta ton (2014) menjadi 92,1 juta ton (2025), atau bertambah hampir sepertiga kali lipat (31,76 persen), dengan rata-rata laju pertumbuhan 2,56 % per tahun. (Gambar 2)

Konsumsi minyak nabati terdiri atas 81,2 persen untuk food, 12,5 % untuk biodiesel dan 6,31 % untuk lainnya (Tabel 1).

TREND HARGA MINYAK NABATI

Data minyak nabati dihitung dengan metode rata-rata tertimbang (weighted average price) oilseed oils dan palm oil di Pelabuhan Eropa. Harga minyak nabati memiliki trend positif. Harga minyak nabati naik 136,2 USD/ton dari tahun 698.1 USD/ton (2015) menjadi 834.3 USD/ton (2025), atau naik 19,5 persen dalam 1 dekade. Rata-rata kenaikan harga minyak nabati sebesar 1,8 % per tahun (Gambar 3).

Kenaikan harga ini mencerminkan adanya global excess demand di atas, sebagaimana disebutkan di atas.

PRODUKSI MINYAK SAWIT

Minyak sawit merupakan salah satu sumber minyak nabati yang mendapat perhatian besar dalam pasar minyak nabati global. Analisis ini juga diperlukan secara khusus terkait dengan posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit.

Pada tahun 2014, produksi CPO dunia adalah 58,4 juta ton. share CPO adalah 34,47 persen dari total minyak nabati dunia. Pada tahun 2025, minyak nabati dunia meningkat hampir 30 persen, menjadi 218.9 juta ton. Seiring dengan peningkatan minyak nabati tersebut, terlihat bahwa data minyak sawit juga meningkat sebesar 20,2 juta ton dalam periode yang sama.

Share minyak sawit meningkat dari 34,47 pesen menjadi 35,91 persen pada tahun 2025. Hal ini menunjukkan perkembangan produksi CPO relatif lebih pesat dibandingkan dengan total minyak nabati dunia.

Data proyeksi ini menunjukkan bahwa industri minyak sawit Indonesia memiliki perkembangan yang positif di masa mendatang, dimana proporsi atau share CPO dibandingkan minyak nabati di pasar global tetap menjadi sumber minyak nabati terbesar.

Growth (laju pertumbuhan) minyak nabati dunia rata-rata 2,36 persen per tahun, sedangkan CPO bertumbuh lebih pesat, yakni 2,75 persen per tahun. (Tabel 2)

PASAR MINYAK NABATI GLOBAL

Produksi dan konsumsi minyak nabati global disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4 di bawah ini. Pasar minyak nabati dunia  pada tahun 2013 mencapai 174.09 juta ton. Hingga tahun 2025, diperkirakan akan bertambah 25,72 persen menjadi 218,87 juta ton.

Pada Tabel 3 di atas, naik , disajikan data produksi beberapa negara produsen minyak nabati, antara lain USA (minyak kedelai), Uni Eropa (produsen minyak canola atau rapeseed), juga Indonesia dan Malaysia, produsen minyak sawit dunia, serta negara negara produsen lainnya Produksi minyak nabati Amerika Serikat naik 12,89 persen dari 3,8 juta ton (2015) menjadi 4,02 juta ton pada tahun 2025. Pada kurun waktu 2016- 2025, pertumbuhan produksi nabati adalah 2,08 persen per tahun, dan lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sementara, konsumsi minyak nabati USA mencapai 14,48 juta ton, dap pada tahun 2025 naik 9,3 persen menjadi 15,83 juta ton. Kekurangan poduksi minyak nabati USA dipenuhi dengan impor. Tahun 2015, pangsa impor Usa mencapai 26,43 persen dari total konsumsinya, dan tahun 2025 impor nabati USA mencapai 25,4 persen.

Uni Eropa merupakan segmen pasar penting dalam minyak sawit, karena negara ketiga terbesar konsumen minyak sawit dunia. Sekitar seperlima minyak sawit dunia 20 dikonsumsi oleh negara negara Uni eropa. Hal ini membawa perubahan baru bagi kebijakan Uni Eropa, untuk mengatasi ketergantungan yang semakin tinggi atas impor CPO (PASPI, 2017).

Produksi minyak nabati UE turun 2,3 persen dari 9,4 juta ton (2015) menjadi 8,57 juta ton pada tahun 2025. Pada kurun waktu 2016-2025, pertumbuhan produksi nabati adalah menurun 0.41 persen per tahun, dan lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sementara, konsumsi minyak nabati UE mencapai 23,09 juta ton, dap pada tahun 2025 turun 5,63 persen menjadi 21,79 juta ton. Kekurangan poduksi minyak nabati UE dipenuhi dengan impor. Tahun 2015, pangsa impor UE mencapai 41 persen dari total konsumsinya, dan seiring dengan penurunan konsumsi di atas, tahun 2025 impor nabati UE juga menurun menjadi 39 persen dari total konsumsinya.

Argentina dan Ukraina memiliki peran penting sebagai pengekspor minyak kedelai dunia, sedangkan India dan China cenderung berada pada posisi sebagai negara pengimpor, karena tingkat konsumsi lebih besar dibandingkan dengan tingkat produksi.

Tingkat ketergantungan impor India mencapai 71 persen, dan semakin besar di masa mendatang, yakni 78 persen. Berbeda dengan China, kebijakan impor China cenderung menggunakan kebijakan quota, yang jumlahnya relatif sama setiap tahun. Hal ini didukung oleh kemampuan China dalam memproduksi berbagai sumber minyak nabati.

POSISI INDONESIA DALAM PASAR MINYAK NABATI GLOBAL

Sedangkan Indonesia dan Malaysia memiliki peran penting to feed the world. Pada tahun 2015, pangsa ekspor CPO Indonesia mencapai 36,4 persen, sedangkan Malaysia adalah 25,67 persen. Dan pada tahun 2025, pangsa ekspor CPO Indonesia mencapai 33,9 persen, sedangkan Malaysia adalah 24,77 persen. Pada kurun waktu wakut yang sama Indonesia memiliki pangsa yang lebih besar dibandingkan dengan Malaysia.

Dari 37,6 juta ton produksi CPO Indonesia, total ekspor mencapai 70 persen dan pada tahun 2025, proporsi ekspor CPO Indonesia adalah 64,7. Sedangkan Malaysia memiliki kesempatan mengekspor dengan proporsi yang lebih besar.

KESIMPULAN

Analisis data proyeksi hingga tahun 2025 memberikan gambaran dan arah perkembangan minyak nabati dunia.

Growth (laju pertumbuhan) minyak nabati dunia ata-rata 2,36 persen per tahun, sedangkan CPO bertumbuh lebih pesat, yakni 2,75 persen per tahun. Hal ini menunjukkan industri minyak sawit memiliki peran penting sebagai salah satu sumber minyak nabati terbesar di dunia.

Seiring dengan berbagai kebijakan Uni Eropa, terlihat trend penurunan konsumsi nabati di Uni Eropa di masa mendatang. Dan hal ini berdampak pada penurunan konsumsi minyak nabati ke Uni Eropa. Namun impor minyak nabati Uni Eropa masih relatif tinggi, yakni 28 persen dari konsumsinya, dan perkembangan ke tahun 2005, juga tetap tinggi, yakni 30 persen dari total konsumsinya. Hal ini menunjukkan bahwa upaya Uni Eropa untuk menghentikan CPO ke Uni Eropa adalah sulit diimplementasikan.

Dalam ekspor CPO ke pasar global, Indonesia memiliki peran yang lebih besar dibandingkan dengan Malaysia, dan hal ini akan mendorong industri minyak sawit Indonesia di masa mendatang.

TIM RISET PASPI

Post View : 10173
EnglishIndonesia