Skip to content

Refleksi Industri Kelapa Sawit 2016 & Prospek 2017

web logo

SIARAN PERS
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)

REFLEKSI INDUSTRI KELAPA SAWIT 2016 DAN PROSPEK 2017

Refleksi 2016

Geliat industri sawit Indonesia tidak pernah memudar dari tahun ke tahun. Meskipun pada tahun 2015 industri sawit Indonesia menghadapi tantangan yang berat karena isu kebakaran lahan, industri ini terus meningkatkan kinerjanya dalam berbagai aspek termasuk pencegahan kebakaran lahan sehingga pada tahun 2016 kasus kebakaran lahan di perkebunan sawit sangat minim.

El Nino panjang yang terjadi di Indonesia pada tahun 2015 membawa dampak menurunnya produksi minyak sawit minyak sawit Indonesia pada tahun 2016. Berdasarkan data yang diolah GAPKI, produksi CPO tahun 2016 hanya mampu mencapai 31,5 juta ton dan PKO sebesar 3 juta ton sehingga total keseluruhan produksi minyak sawit Indonesia adalah 34,5 juta ton. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 3% jika dibandingkan dengan produksi tahun 2015 yaitu 35,5 juta ton yang terdiri dari CPO 32,5 juta ton dan PKO 3 juta ton.

Di sisi lain harga CPO global menemukan ritmenya kembali. Harga CPO global rata-rata bulanan pada awal tahun yang sangat lesu di angka US$ 557 per metrik ton terus menunjukkan geliat positif dimana harga terus menanjak hingga menyentuh angka ambang batas bawah pengenaan bea keluar US$ 750 per metrik ton pada Mei lalu, untuk pertama kalinya CPO dikenakan bea keluar sejak Agustus 2015 dimana bea keluar nol. Harga CPO terus bereaksi di pasar seiring dengan permintaan yang mulai bergairah dan dipicu oleh stok yang menipis terutama pada penutupan tahun 2016 harga rata-rata telah menyentuh US$ 790 per metrik ton.

Sementara itu, harga rata-rata sepanjang tahun 2016 tercatat sebesar US$ 700 per metrik ton atau naik 14% dibandingkan dengan harga rata-rata tahun 2015 yang hanya mampu mencapai US$ 614 per metrik ton.

Masih berdasarkan data yang diolah GAPKI dari berbagai sumber, ekspor minyak sawit Indonesia (CPO dan turunannya) pada tahun 2016 mengalami penurunan sebesar 5% atau dari 26,4 juta ton pada tahun 2015 tergerus menjadi 25,1 juta ton di tahun 2016. Penurunan ekspor terjadi karena permintaan pasar global yang melemah hampir di semua negara tujuan ekspor dan penggunaan CPO untuk program mandatori bahan bakar nabati (B-20) yang telah berjalan secara konsisten. Secara nilai, tahun 2016 industri sawit menyumbangkan devisa sebesar 18,1 miliar dollar AS. Nilai ini mengalami penurunan sebesar 3% jika dibandingkan dengan nilai ekspor minyak sawit 2015 sebesar 18,67 miliar dollar AS.

Pada tahun 2016, hampir semua negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan kecuali Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa. Amerika Serikat mencatatkan peningkatan impor minyak sawit dari Indonesia yang signifikan yaitu sebesar 43% atau dari 758,55 ribu ton pada 2015 menjadi 1,08 juta ton di 2016.

Peningkatan permintaan minyak sawit oleh negara Paman Sam karena adanya perubahan pola penggunaan minyak nabati sejak diterapkannya larangan penggunaan trans fat (lemak trans) dalam produk makanan oleh Badan Administrasi Obat dan Makanan AS (FDA) sejak Juni 2015. Minyak sawit menjadi pilihan sebagai minyak pengganti karena tidak mengandung lemak trans.

Peningkatan impor minyak sawit dari Indonesia juga datang dari negara-negara Uni Eropa dengan mencatatkan kenaikan 3% atau dari 4,2 juta pada tahun 2015 meningkat menjadi 4,4 juta ton di 2016. Negara-negara Uni Eropa terus mengkampanyekan minyak sawit tidak sehat akan tetapi ironisnya permintaan terus meningkat tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan kebutuhan akan minyak sawit tidak terelakkan sehingga kampanye yang digencarkan hanya karena persaingan dagang saja.

Sebaliknya negara utama pengimpor minyak sawit asal Indonesia yaitu India, China dan Pakistan mencatatkan penurunan permintaan. China mencatatkan penurunan yang cukup signifikan yaitu sebesar 19% atau dari 3,99 juta ton turun menjadi 3,23 juta ton. Penurunan permintaan dari Negeri Tirai Bambu ini karena adanya program penggalakan peternakan sehingga China lebih banyak mengimpor kedelai untuk pakan ternak dan mendapatkan suplai minyak dari proses crushing kedelai.

Pakistan membukukan penurunan permintaan minyak sawit di 2016 sebesar 5,5% atau dari 2,19 juta ton turun menjadi 2,07 juta ton di 2016. Sementara itu India hanya membukukan penurunan yang sangat tipis yaitu 0,3% atau dari 5,8 juta ton di 2015 tergerus menjadi 5,78 juta ton di 2016.

Di tahun 2016 sejumlah masalah dalam dan luar negeri yang dihadapi industri sawit nasional adalah sebagai berikut:

  1. Wacana pemerintah untuk memoratorium pananaman sawit menjadi ancaman perkembangan industri minyak sawit Indonesia.
  2. Kepastian Hukum menyangkut lahan/tata ruang masih tetap menjadi momok bagi industri kelapa sawit. Permasalahan tumpang tindih lahan masih banyak yang belum terselesaikan. Penetapan RT-RW beberapa provinsi telah mengindikasikan pengurangan kawasan APL sehingga kebun-kebun yang telah memiliki HGU terindikasi masuk dalam kawasan hutan.
  3. Meskipun pemerintah telah melakukan deregulasi beberapa peraturan yang menghambat perkembangan industri, industri sawit masih belum mendapatkan dampak yang signifikan dari program deregulasi ini karena belum ada deregulasi secara konkret untuk industri kelapa sawit.
  4. Peraturan daerah (Perda) yang kontraproduktif masih bermunculan di daerah-daerah.
  5. Kampanye negatif dari dalam dan luar negeri semakin gencar dilaksanakan LSM/NGO lokal dan asing terutama pada saat terjadi kebakaran lahan di Indonesia. Kampanye juga sekarang mulai diarahkan kepada hal terkait hak asasi manusia seperti child labour dan perampasan hak masyarakat adat.
  6. Kasus kebakaran lahan masih menjadi “ancaman” karena masalah kebakaran lahan diproses hukum dianggap sebagai masalah pidana.

Tahun 2017

Industri sawit nasional masih tetap menjadi andalan sebagai mesin devisa dan motor penggerak perekonomian nasional.

Prospek industri minyak sawit di tahun 2017 diperkirakan masih cukup cerah karena terus digalakkannya mandatori BBN di dalam negeri dan negeri jiran, Malaysia juga sudah mulai meningkatkan mandatori BBN. Jika mandatori BBN di Indonesia dan Malaysia berjalan dengan konsisten maka penggunaan minyak sawit di dalam negeri kedua negara penghasil minyak sawit ini akan tinggi dan pasokan kepada pasar global akan berkurang apalagi jika produksi sawit tidak meningkat dengan signifikan. Hal ini tentu saja akan mendongkrak harga sawit di pasar global.

Sebagai prioritas pada tahun 2017, sebagai berikut :

  1. Promosi minyak sawit Indonesia di pasar India, Pakistan dan negara-negara Timur Tengah.
  2. Penanganan isu-isu negatif seperti :
    • Isu super tax Perancis ada kemungkinan akan digulirkan kembali di waktu mendatang.
    • Isu 3-MCPD (kandungan karsinogenik pada minyak nabati) sudah muncul di Italia dan diperkirakan akan semakin marak meskipun belum ada pembuktian secara scientific yang kuat.
    • Sawit dituding sebagai penyebab utama deforestasi masih akan tetap ada terutama di Uni Eropa.
    • Persepsi negatif terhadap minyak sawit sebagai minyak nabati less healthier dan low quality di beberapa negara masih terus dibicarakan hampir di semua negara-negara pengimpor.
    • Daya saing minyak sawit akan semakin lemah dibandingkan dengan minyak nabati lainnya terutama minyak bunga matahari.
    • Peningkatan standar REDD+ untuk ambang batas CPO sebagai biomassa energi terbarukan dan pengurangan mandatori biodiesel yang berasal dari first generation.
  3. Penanganan isu-isu domestik seperti :
    • Penanganan lahan gambut dan pecegahan kebakaran lahan.
    • Sosialisasi kepada stakeholders tentang strategis dan pentingnya industri sawit.

Jakarta, 31 Januari 2017
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)

Informasi lebih lanjut, hubungi:

Fadhil Hasan
Direktur Eksekutif GAPKI
Tel. 021-57943871
Fax. 021-57943872

 

Post View : 694
EnglishIndonesia